Dua
RUU Tak Layak Dibahas
Bambang Soesatyo ;
Anggota Komisi III DPR
|
KORAN
JAKARTA, 10 Maret 2014
Persiapan
penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 yang bersih dan jujur bisa berantakan
jika kontroversi seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dibiarkan berlanjut.
Kontroversi
harus diakhiri dulu agar semua elemen bisa berkonsentrasi pada Pemilu 2014.
Apalagi, pemerintah sendiri belum satu kata. Maka, RUU itu tidak layak
dibahas dan harus ditarik lagi oleh pemerintah.
Pemungutan
suara pemilihan anggota legislatif (pileg) 2014 tinggal menghitung hari.
Tetapi, konsentrasi bisa buyar karena kontroversi dua RUU itu.
Setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah elemen masyarakat mendesak
DPR menunda pembahasannya, bisa dipastikan bahwa kontroversi akan meluas.
Tambah lagi, sejumlah institusi negara juga keberatan terhadap muatan kedua
RUU. Situasi ini sungguh tidak ideal untuk menyongsong agenda politik 2014
yang strategis.
Mahkamah
Agung (MA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Narkotika Nasional
(BNN), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyatakan
keberatan atas sejumlah isi RUU. Misalnya, RUU KUHAP dapat mengurangi atau
melemahkan kekuasaan penegak hukum menangkap koruptor, termasuk pelaku
kejahatan narkotika dan terorisme. Bahkan, ketentuan dalam RUU KUHAP
berpotensi meringankan hukuman penjahat korupsi, narkotika, dan terorisme.
Muatan
dua RUU terkesan eksperimental dengan dua target. Pertama, kalau lolos dan
diundangkan, keduanya akan menyediakan jalan dan ruang aman bagi koruptor dan
sel-sel sindikat kejahatan narkotika di dalam negeri. Tahun-tahun mendatang
pasca perubahan rezim, komunitas koruptor dan bandar narkoba tidak akan
menghadapi sanksi hukum yang keras. Bahkan, mereka berpotensi lolos dari
jerat pidana karena adanya peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan seturut RUU
KUHAP itu.
Kedua,
kalau proses pembahasan di DPR tidak mulus, suasana akan hiruk-pikuk.
Kontroversi muatan dua RUU akan membelokkan konsentrasi publik dari persiapan
pelaksanaan Pileg 2014 ke isu seputar silang pendapat RUU. Dengan kata lain,
ada yang ingin berperilaku tidak jujur atau curang dalam Pileg 2014.
Nyatanya, rekayasa mengalihkan perhatian nyaris berhasil.
Kontroversi
makin menjadi-jadi ketika publik menyimak pernyataan Wakil Menteri Hukum dan
HAM, Denny Indrayana. "Dapat
dipastikan bahwa satu, tidak ada draf untuk melemahkan KPK. Kedua, kalau
arahnya ke sana (melemahkan KPK), ya kita hentikan," kata Denny.
Pembahasan RUU penting agar bisa dikritisi siapa pun. Dia pun yakin
pembahasan Panitia Kerja (Panja) DPR tidak akan selesai periode 2009-2014.
Tak hanya
memicu kontroversi, pernyataan Denny justru lebih mempertegas adanya semangat
eksperimental dari pengajuan dua RUU. Karena eksperimental, tidak heran jika
MA, KPK, Polri, PPATK, dan BNN menyatakan keberatan atas dua RUU. Dua RUU
tersebut praktis tak layak dibahas DPR.
Kemauan Politik
Kini,
pemerintah harus menunjukkan kemauan politiknya untuk menarik dua RUU itu.
Kalau ingin merevisi KUHP dan KUHAP, pemerintah sebaiknya mendengar aspirasi
atau pandangan semua pemangku kepentingan. Penolakan MA, KPK, Polri, PPATK,
serta BNN menjadi bukti bahwa RUU itu abnormal karena belum mengakomodasi
kepentingan dari semua institusi penegakan hukum.
Bagaimanapun,
muatan kedua RUU terbilang sensitif bagi rakyat yang konsisten memerangi
korupsi, kejahatan narkotika, dan terorisme. Rakyat sudah menuntut perlakuan
hukum ekstrakeras terhadap pelaku tiga kejahatan luar biasa itu. Dalam
argumen keberatannya, KPK menegaskan RUU KUHAP dan KUHP mencerminkan
pengingkaran pemerintah atas komitmen pemberantasan korupsi.
Ketika
RUU KUHAP mempreteli wewenang Hakim Agung dalam memutus perkara di tingkat
kasasi, publik yang awam hukum sekalipun tentu akan mengaitkan ketetapan itu
dengan kasus korupsi dan narkotika. Tentu menyayat rasa keadilan rakyat jika
koruptor dan bandar narkoba divonis ringan oleh pengadilan di bawah MA sebab
Hakim Agung tak boleh mengoreksi. Dengan ketetapan RUU seperti itu, posisi
pemerintah dalam menyikapi kejahatan luar biasa menjadi sangat tidak jelas.
Apalagi
ketika RUU KUHAP juga menetapkan penyadapan harus melalui penetapan hakim.
Rakyat yang militan memerangi korupsi sudah pasti keberatan dengan ketetapan
ini. Rakyat mencatat bahwa banyak kasus korupsi terungkap dari penyadapan
oleh penegak hukum.
Dengan
begitu, keefektifan penyadapan akan hilang jika penegak hukum harus minta
restu hakim. Masalahnya, tidak ada jaminan hakim bersih dalam konteks ini.
Keharusan minta restu menyebabkan informasi penyadapan mudah diperdagangkan
atau dibocorkan. Maka, peluang penegak hukum menangkap koruptor justru dipersulit.
Pasal-pasal
aneh yang dipersoalkan berbagai elemen masyarakat telah banyak dibahas,
termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan, serta beberapa pembatasan dalam
penanganan kasus terorisme dan narkotika. Tentang peran Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, misalnya, penyusun ketetapan ini sepertinya orang asing yang
sama sekali tak paham geografi Indonesia.
Penyelundupan
narkotika dan senjata, akhir-akhir ini, banyak terjadi di daerah-daerah
terpencil. Menurut RUU KUHAP, tersangka penyelundup tidak bisa ditahan tanpa
ketetapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang posisinya mungkin di ibu kota
kabupaten. Kemudian, membatasi penyelidikan dan penyidikan kasus terorisme
juga membuktikan bahwa penyusun RUU KUHAP sepertinya tidak tahu geliat
terorisme sehingga mereka awam dengan mekanisme dan metode penanganan kasus
terorisme.
Mempertimbangkan
keberatan dari sejumlah institusi negara dan masyarakat, DPR hampir pasti
tidak akan melanjutkan pembahasan kedua RUU itu. Dengan alasan tak layak
dibahas, DPR bisa saja berinisiatif mengembalikan ke pemerintah.
DPR berani menjamin kepada segenap warga
bahwa KPK tidak bisa dilemahkan siapa pun. DPR mendengar dan menghayati
aspirasi rakyat tentang urgensi menguatkan peran KPK dari waktu ke waktu.
Maka, jika ada pasal atau ketentuan RUU itu mengarah pada upaya melemahkan
atau mempreteli wewenang KPK, DPR pasti tak akan mau bersepakat menjadikan
dua RUU sebagai undang-undang.
DPR
sepenuhnya menyadari bahwa Indonesia darurat korupsi, darurat narkotika, dan
juga bertekad mengikis sel-sel terorisme. Dalam menyikapi tiga kejahatan luar
biasa itu, Indonesia memerlukan pendekatan hukum yang sangat spesial,
ekstrakeras, tanpa kompromi.
Lalu,
adakah jaminan DPR periode sekarang bisa efektif membahas dua RUU? Sangat
meragukan! Sebab hampir semua anggota DPR tengah berkonsentrasi untuk
konsolidasi dan mempersiapkan kampanye guna memenangi pemilihan anggota
legislatif. Bagi para peserta pileg, Maret dan April 2014 menjadi bulan
pertarungan yang menuntut konsentrasi penuh. Bukan hanya kegiatan kampanye,
tapi juga aktif mengikuti dan mengawasi perhitungan perolehan suara.
Artinya,
terhitung sejak Maret dan bulan-bulan berikutnya, sebagian besar anggota DPR
lebih disibukkan agenda dan kerja politik di luar jadwal rapat atau sidang
parlemen. Bahkan, setelah pileg, banyak anggota DPR masih harus berkontribusi
waktu dan tenaga guna mengamankan calon presiden atau wakil presiden yang
diusung partai masing-masing. Jadi, pasca Pileg 2014, praktis tidak ada waktu
yang efektif bagi DPR untuk membahas dua RUU tersebut. Sekali lagi,
pemerintah harus segera menariknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar