Kementerian
Pendidikan Tinggi dan Ristek
Irman Gusman ;
Ketua DPD
|
KOMPAS,
06 Maret 2014
PADA
Konvensi Kampus X dan Temu Tahunan XVI Forum Rektor Indonesia di Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 30 Januari 2014, saya selaku pembicara kunci melontarkan
gagasan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) dengan Kementerian Riset dan Teknologi jadi Kementerian
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Gagasan
itu disambut Forum Rektor Indonesia (FRI) dan menjadikannya salah satu butir
rekomendasi FRI dari konvensi dan temu kampus itu (Kompas, 6/2/2014). Ia kemudian bergulir sebagai wacana yang cukup
ramai diperbincangkan pakar, pengamat, dan praktisi pendidikan tinggi di
Indonesia.
Mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menanggapinya melalui tulisan
”Misi Perguruan Tinggi Kita” (Kompas, 18/2/2014). Rektor Unika
Soegijapranata Budi Widianarko menulis ”Universitas,
Rumah Belajar” di halaman Opini (Kompas,
1/3/2014).
Pikiran
membentuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sebenarnya
sudah beberapa kali saya lontarkan pada berbagai kesempatan: menarik keluar
Ditjen Pendidikan Tinggi dari Kemdikbud lalu menggabungkannya dengan
Kementerian Ristek menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan
Teknologi.
Paling
tidak ada tiga sasaran penggabungan itu. Pertama, mengoptimalkan penggunaan
20 persen APBN untuk fungsi pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 hasil
amandemen. Setelah 10 tahun dilaksanakan, amanat itu belum menunjukkan hasil
optimal bagi kemajuan pendidikan serta penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi bangsa kita.
Kedua,
dengan dikeluarkannya Ditjen Dikti dari Kemdikbud, kementerian ini bisa lebih
fokus hanya untuk urusan pendidikan dasar dan menengah dengan sasaran utama
pembentukan karakter bangsa sebagaimana ditegaskan dalam tujuan pendidikan
nasional.
Ketiga, untuk meningkatkan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sangat perlu dilakukan sinergi antara fungsi
riset, ilmu pengetahuan, dan tek- nologi dengan fungsi pendidikan tinggi.
Pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi akan menjadi
sarana dan wahana implementasi dari sinergi itu.
Kondisi
Indonesia saat ini dalam iptek sangat memprihatinkan. Gagasan menggabungkan
fungsi pendidikan tinggi dengan riset dan teknologi bukan hal baru
sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra dalam artikelnya ”Kontroversi Kemendikti-Ristek” (Kompas, 26/2/2014).
Pada
2008-1009, tulis Azyumardi, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengumpulkan
berbagai pihak untuk membahas dan merumuskan pembentukan Kementerian
Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (KPT-Iptek). Hasilnya
adalah naskah akademis tentang pembentukan kementerian ini bagi pemerintahan
pasca Pemilu 2009. Namun, karena Jusuf Kalla tidak berhasil menang dalam
Pilpres 2009, rencana pembentukan KPT-Iptek tidak terlaksana.
Produsen teknologi
Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting bagi Indonesia agar bisa
bertransformasi dari bangsa konsumen menjadi bangsa produsen. Sebagai negara
besar dengan penduduk nomor empat terbanyak di dunia, hingga saat ini
Indonesia oleh negara-negara industri maju hanya dipandang sebagai pasar
karena kita tidak mampu memproduksi barang teknologi dan industri yang
dibutuhkan.
Indonesia
adalah salah satu konsumen terbesar perangkat telekomunikasi dan produk
otomotif, tetapi tak mampu memproduksi kedua jenis produk teknologi itu. Hal
yang kurang lebih sama terjadi pada alat-alat dan teknologi kesehatan.
Salah
satu penyebab Indonesia hanya dipandang sebagai bangsa konsumen adalah
lemahnya kita menguasai ilmu pengetahuan, riset, dan inovasi teknologi.
Masalah ini kita atasi dengan menyinergikan fungsi Kementerian Riset dan
Teknologi dengan fungsi perguruan tinggi (sesuai Tri Dharma PT: salah satunya
melaksanakan riset).
Dalam
hal penguasaan ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi, kita masih ketinggalan
jauh, bahkan dibandingkan negara di Asia Tenggara yang lebih kecil dan
memiliki jumlah perguruan tinggi lebih sedikit (tetapi menghasilkan temuan,
paten, dan publikasi ilmiah lebih banyak).
Menurut
Kementerian Ristek, dalam kurun 2001-2010 kita hanya menghasilkan 7.847 karya
ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional. Kita tertinggal jauh
dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, masing-masing menghasilkan karya
ilmiah di atas 30.000 yang dipublikasikan di jurnal internasional. Demikian
juga dalam hal paten internasional. Selama 2011, Indonesia hanya mendaftarkan
11 paten internasional, sedangkan Malaysia mengajukan 263 paten dan Thailand
67 paten.
Jumlah
karya ilmiah dan paten yang dihasilkan sebuah negara biasanya berkaitan pula
dengan alokasi anggaran riset yang disediakan. Dalam hal ini, Indonesia baru
mengalokasikan anggaran riset 0,8 persen dari PDB (sekitar Rp 15 triliun).
Thailand mengalokasikan anggaran riset empat kali lipat dan Jepang 45 kali
lipat Indonesia. Malaysia mengalokasikan 30 persen anggaran pendidikan adalah
untuk kegiatan riset.
Dalam
konteks Indonesia, secara implisit ini sudah berjalan, katakanlah melalui
Komite Inovasi Nasional (KIN). Dibentuk berdasarkan Perpres No 32/2010, KIN
sebagian besar beranggotakan para rektor universitas terkemuka. Jadi, sinergi
itu sebenarnya sudah (mulai) terjadi, tinggal mengukuhkannya secara formal
dalam struktur kementerian.
Di
banyak negara maju penggabungan kedua fungsi itu bukan hal baru. Perancis,
misalnya, memiliki Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains. Jerman mempunyai
Kementerian Federal Pendidikan dan Riset. Jepang lebih komplet lagi: berupa
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi.
Pada hemat saya, justru gagasan pembentukan Kementerian Pendidikan
Tinggi, Riset, dan Teknologi ini sudah harus diwujudkan 15 tahun lalu sehingga
saat ini kita seyogianya sudah jauh lebih maju di bidang riset dan teknologi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar