Keterwakilan
Pemilu 2014
Lambang Trijono ;
Dosen Fisipol UGM
|
KOMPAS,
06 Maret 2014
PEMILU
2014 sebentar lagi digelar. Sementara itu, berbagai masalah bangsa
membutuhkan solusi, di antaranya soal kemandirian ekonomi, kohesivitas
sosial, keterwakilan politik, dan keterpilihan pemimpin secara demokratis.
Hampir
semua dari kita menyadari solusi semua itu tergantung pada terselenggaranya
Pemilu 2014 secara demokratis. Namun, tak sedikit yang pesimistis.
Keterpilihan pemimpin dan keterwakilan politik yang akan datang jadi soal
paling krusial sebab hal itu jadi penentu solusi masalah lain yang dihadapi
bangsa.
Menghadapi
tantangan ini, kita perlu mempertajam solusi melalui keterwakilan politik
dalam Pemilu 2014. Keterwakilan berarti terdapat pihak yang mewakili berdiri
untuk yang diwakili. Itulah makna sesungguhnya dari keterwakilan politik
dalam lembaga perwakilan rakyat (Majelis dan Dewan), yang menurut UUD 1945
disebut penjelmaan rakyat, yang dalam UUD 1945 hasil amandemen disebut
kepemimpinan politik yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Dalam
arti ini, wakil rakyat di lembaga perwakilan dan kepala pemerintahan terpilih
sangat menentukan nasib bangsa ke depan. Mau dibawa ke mana pembangunan
bangsa ini dan bagaimana hal itu dijalankan melalui keterwakilan politik
merupakan hal paling menentukan.
Memastikan keterwakilan
Untuk
memastikan berlangsungnya keterwakilan politik itu diperlukan kejelasan
setidaknya tentang tiga hal: siapa yang akan mewakili, apa (agenda siapa)
yang diwakili, dan bagaimana keterwakilan itu dilangsungkan. Pesimisme dan
apatisme terhadap pemilu sering kali muncul karena ketidakjelasan soal ini.
Kita
tentu berharap masalah ini akan makin terang dalam Pemilu 2014. Selama ini,
muncul keraguan banyak kalangan akan ketepatan dari sistem perwakilan
dijalankan, yang perlu segera mendapat solusi. Banyak dikeluhkan partai
politik atau wakil rakyat hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan
keterwakilan kepentingan luas di masyarakat.
Ketika
krisis keterwakilan partai itu berlangsung, sering muncul gagasan kembali ke
sistem keterwakilan golongan atau kelompok fungsional sebagaimana di era Orde
Baru. Namun, banyak pihak meragukan sistem itu karena pengalaman di masa lalu
menunjukkan hal itu menciptakan problem politik kooptasi: cenderung
meminggirkan keterwakilan rakyat yang tersebar luas di masyarakat.
Selain
itu, sering muncul gagasan kembali ke sistem keterwakilan langsung melalui
partai berbasis massa, seperti pada 1945-1947 ketika PNI masih menjadi
satu-satunya partai politik. Juga hal itu dipraktikkan pada 1948-1959 ketika
partai politik berbasis aliran, yaitu nasionalis, agama, komunis, dan
sosialis, mengemuka dalam politik, yang kemudian dilanjutkan Orde Baru dengan
melakukan fusi partai menjadi tiga partai berbasis kekaryaan atau dwi-fungsi
ABRI, nasionalis, dan agama.
Namun,
keterwakilan partai berbasis massa itu dinilai institusionalis akan
mengganggu stabilitas pembangunan. Karena itu, di era reformasi muncul
gagasan alternatif perlunya keterwakilan substansial nilai seperti diyakini
banyak kalangan selama ini.
Keterwakilan strategis
Semua
lontaran ide dan gagasan itu merupakan ikhtiar untuk memastikan
berlangsungnya sistem perwakilan. Namun, semua itu tampaknya belum sepenuhnya
mampu menjawab krisis keterwakilan politik yang sedang berlangsung. Termasuk
keterwakilan substansial nilai karena tidak mudahnya hal itu dijalankan
secara deliberatif di tengah berkembangnya beragam pandangan nilai, ideologi,
dan kepentingan yang begitu plural.
Pandangan
terkini tentang perlunya keterwakilan strategis mungkin bisa dipertimbangkan.
Sistem keterwakilan akan semakin sempurna bila yang mewakili semakin dekat
dan berdiri atas nama yang diwakili. Dan, ketika berbagai pandangan nilai,
ideologi, dan kepentingan yang begitu plural itu makin mengemuka menjadi
tuntutan demokratis, maka diperlukan kemampuan strategikal untuk menggalang
tuntutan itu menjadi kehendak umum atau kepentingan publik.
Dalam
bekerjanya politik keterwakilan strategis ini, ke depan pengarusutamaan
berbagai pandangan itu penting dilakukan. Masalahnya, apakah kita akan tetap
menjalankan politik aliran lama ataukah lebih menyederhanakannya jadi dua
partai utama dengan aliran politik demokratis yang jelas? Misalnya, dengan
menjadikan partai yang memiliki akar sejarah kemerdekaan, seperti PNI yang
kini dilanjutkan PDI-P, dan partai yang memiliki akar politik reformasi,
seperti dimiliki Partai Demokrat.
Menghadapi permasalahan ini, partai politik merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menjawab tuntutan itu. Kemampuan keterwakilan
strategikal partai menggalang kehendak umum dan mengartikulasikan serta
merepresentasikannya dalam pengambilan kebijakan demokratis merupakan suatu
hal yang didamba republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar