Bangsa
yang Tak Pernah Kampanye
Effendi Gazali ;
Peneliti Komunikasi Politik; Visiting Professor
pada Faculty of Economic & Commerce, Jeju National University
|
KOMPAS,
06 Maret 2014
APAKAH
selama ini partai politik di Indonesia, caleg, atau para bakal capres telah
melakukan kampanye? Jika ya, sebagaimana Anda yakini sering melihatnya di
media massa, kenapa mereka tidak pernah dijatuhi sanksi?
Pekan
lalu ada dua peristiwa yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,
berupa kesepakatan moratorium iklan kampanye dan iklan politik di media
massa. Ada gugus tugas yang mengawasinya terdiri dari Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan
Komisi Informasi Pusat (KIP). Hal ini jatuh pada ranah Komisi I DPR yang
berurusan dengan komunikasi dan informatika.
Kedua,
dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok terfokus tentang
pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu. Bawaslu yang terus menerima pengaduan
masyarakat mengambil inisiatif menyelenggarakannya. Hadir pada acara itu
unsur penegakan hukum terpadu (gakumdu) pemilu, seperti kepolisian dan
kejaksaan. Bawaslu juga mengundang perwakilan semua partai politik, pakar
terkait, dan pimpinan Komisi II DPR yang menangani pemilu.
Jebakan UU
Semangat
moratorium iklan kampanye dan iklan politik jelas mengacu pada ketidakadilan
akses bagi parpol, caleg, dan bakal capres. Jelas ketidakadilan itu terkait
sumber daya, terutama berapa banyak dana tersedia atau penayangan sesuka hati
di media milik sendiri. Secara lebih khusus, sorotan tertuju pada media yang
menggunakan ranah publik seperti televisi dan radio. Sebagian pihak
memperluasnya sampai ke konsep ruang publik sehingga juga menjangkau media
lain dan materi kampanye di jalan atau sudut-sudut kota.
Termasuk
dalam moratorium ini adalah masyarakat yang mengalirkan laporan-laporan
pelanggaran kampanye kepada Bawaslu yang selanjutnya meneruskan kepada
gakumdu pemilu, seperti mencuri start kampanye atau kampanye di luar jadwal.
Ada juga yang melapor ke KPI. Materi aduan bisa berbagai macam, sampai ke
bentuk kuis kebangsaan dan sebagainya.
Jelas,
dengan mata yang paling awam sekalipun terlihat amat kasat ketidakadilan itu.
Lalu bagaimana dengan para pemasang iklan atau bahkan media yang menyiarkan?
Mereka malah bisa menyatakan apa yang dilakukan bagian dari ”pendidikan
politik masyarakat”, yang jelas tertera pada Pasal 76 UU Pemilu Legislatif
dan Pasal 33 UU Pemilu Presiden. Masyarakat harus dicegah dari ”membeli
kucing dalam karung”. Segera pula disampaikan acuan mengenai negara-negara
yang kampanyenya dapat berlangsung sepanjang masa.
Lepas
dari alasan—yang untuk sebagian ada benarnya—itu, apakah mereka tidak takut
dijatuhi sanksi? Kalau melihat UU-nya, ya, mereka harus tidak gentar sama
sekali! UU Pileg kita mendefinisikan kampanye sebagai ”kegiatan peserta
pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program peserta pemilu”. Pada UU Pilpres hanya diganti ujungnya dengan ”visi,
misi, dan program pasangan calon”. Semua ini diperkuat pada pasal-pasal
mengenai materi kampanye.
Apa
artinya? Setiap orang atau kelompok atau parpol baru disebut kampanye kalau
menyampaikan sekaligus visi, misi, dan program. Definisi ini selain tidak
cerdas juga amat menjebak untuk penindakan. Contoh iklan politik atau
kampanye yang hanya menyebut visi atau misi saja, atau program saja, tidak
digolongkan ”kampanye”. Bahkan, visi dan misi saja tanpa program juga bukan
termasuk ”kampanye”. Apalagi kalau hanya mengiklankan para bakal capres dan
cawapres tanpa menyebut sama sekali visi, misi, dan program. Atau cuma
menyebut visi dan misi yang sengaja dibedakan sedikit dari apa yang pernah
dilontarkan ke publik atau KPU sebelumnya.
Kepribadian ganda
Yang
paling menderita dari semua kenyataan ini adalah rakyat! Seluruh logika
mereka tentang iklan politik dan kampanye mengalami pembodohan total.
Selanjutnya tentu Bawaslu, KPI, dan KPU. Apa pun yang dilaporkan ke Bawaslu
justru tidak bisa ditindaklanjuti gakumdu pemilu gara-gara bunyi UU. Begitu
juga jika KPI memakai delik pengelola penyiaran tidak memberikan
ketidakadilan akses. Jika materinya tak dapat digolongkan ”kampanye”, toh
jadi tidak bermasalah!
Maka,
tentu jadi menarik untuk mendengar apa kata DPR yang menghasilkan UU. Wakil
Ketua Komisi II yang hadir pada acara diskusi kelompok terfokus itu kembali
menekankan: memang demikianlah kehendak asli pembuat undang-undang, yakni
ketiga unsur tersebut harus terpenuhi sebagai kumulatif!
Tentu
publik bisa melihatnya sebagai ”akal-akalan”. Artinya DPR membuat UU yang
nanti justru tidak bisa digunakan untuk melakukan penegakan, yang akan
mengenai parpol dan anggota DPR serta sekutunya. Jika demikian, kenapa
sekarang Komisi I dengan satgas moratoriumnya berteriak? Ini juga menggelikan
bagi publik menyaksikan kepribadian ganda DPR!
Seharusnya
DPR membuat UU yang mendefinisikan kampanye sebagai ”kegiatan penyampaian pesan yang dilakukan setiap orang atau kelompok
atau peserta pemilu dengan berbagai bentuk dan media yang bertujuan untuk
memperkenalkan atau mempromosikan atau meyakinkan pemilih dalam konteks
pemilihan umum”.
Akhirnya,
apa yang masih bisa kita lakukan? Mungkin uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Jika berhasil, tentu dapat dikeluarkan peraturan baru. Namun, waktunya sangat
mepet menjelang jadwal resmi kampanye pileg yang segera akan dimulai.
Atau
harus dicari formula membiarkan kampanye sepanjang masa demi pendidikan
politik publik, tetapi dengan pemeriksaan jumlah, asal dana, dan pembayaran pajak
yang teramat ketat! Beberapa negara memilih upaya memberikan jam tayang
gratis dan adil kepada seluruh peserta pemilu. Uji coba televisi digital
secara simulcast dengan dekoder
termurah (sekitar Rp 50.000), yang membagi kanal kepada semua parpol, dapat
pula jadi alternatif keadilan akses.
Di sisi lain, rakyat harus tetap melaporkan pelanggaran menurut
versinya ke pihak terkait. Demikian pula Bawaslu dan KPI mestinya tetap
menindaklanjuti sebisa yang dimungkinkan. Setidaknya ini akan melatih
kewarasan publik melawan logika DPR yang membuat UU Pemilu! Jika tidak,
bangsa ini mungkin akan masuk rekor dunia sebagai bangsa yang ”tidak pernah berkampanye pemilu”
mengacu pada definisi yang dibuat Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar