Jumat, 07 Maret 2014

Bangsa yang Tak Pernah Kampanye

Bangsa yang Tak Pernah Kampanye

Effendi Gazali  ;   Peneliti Komunikasi Politik; Visiting Professor pada Faculty of Economic & Commerce, Jeju National University
KOMPAS,  06 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
APAKAH selama ini partai politik di Indonesia, caleg, atau para bakal capres telah melakukan kampanye? Jika ya, sebagaimana Anda yakini sering melihatnya di media massa, kenapa mereka tidak pernah dijatuhi sanksi?

Pekan lalu ada dua peristiwa yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, berupa kesepakatan moratorium iklan kampanye dan iklan politik di media massa. Ada gugus tugas yang mengawasinya terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Informasi Pusat (KIP). Hal ini jatuh pada ranah Komisi I DPR yang berurusan dengan komunikasi dan informatika.

Kedua, dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok terfokus tentang pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu. Bawaslu yang terus menerima pengaduan masyarakat mengambil inisiatif menyelenggarakannya. Hadir pada acara itu unsur penegakan hukum terpadu (gakumdu) pemilu, seperti kepolisian dan kejaksaan. Bawaslu juga mengundang perwakilan semua partai politik, pakar terkait, dan pimpinan Komisi II DPR yang menangani pemilu.

Jebakan UU

Semangat moratorium iklan kampanye dan iklan politik jelas mengacu pada ketidakadilan akses bagi parpol, caleg, dan bakal capres. Jelas ketidakadilan itu terkait sumber daya, terutama berapa banyak dana tersedia atau penayangan sesuka hati di media milik sendiri. Secara lebih khusus, sorotan tertuju pada media yang menggunakan ranah publik seperti televisi dan radio. Sebagian pihak memperluasnya sampai ke konsep ruang publik sehingga juga menjangkau media lain dan materi kampanye di jalan atau sudut-sudut kota.

Termasuk dalam moratorium ini adalah masyarakat yang mengalirkan laporan-laporan pelanggaran kampanye kepada Bawaslu yang selanjutnya meneruskan kepada gakumdu pemilu, seperti mencuri start kampanye atau kampanye di luar jadwal. Ada juga yang melapor ke KPI. Materi aduan bisa berbagai macam, sampai ke bentuk kuis kebangsaan dan sebagainya.

Jelas, dengan mata yang paling awam sekalipun terlihat amat kasat ketidakadilan itu. Lalu bagaimana dengan para pemasang iklan atau bahkan media yang menyiarkan? Mereka malah bisa menyatakan apa yang dilakukan bagian dari ”pendidikan politik masyarakat”, yang jelas tertera pada Pasal 76 UU Pemilu Legislatif dan Pasal 33 UU Pemilu Presiden. Masyarakat harus dicegah dari ”membeli kucing dalam karung”. Segera pula disampaikan acuan mengenai negara-negara yang kampanyenya dapat berlangsung sepanjang masa.

Lepas dari alasan—yang untuk sebagian ada benarnya—itu, apakah mereka tidak takut dijatuhi sanksi? Kalau melihat UU-nya, ya, mereka harus tidak gentar sama sekali! UU Pileg kita mendefinisikan kampanye sebagai ”kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu”. Pada UU Pilpres hanya diganti ujungnya dengan ”visi, misi, dan program pasangan calon”. Semua ini diperkuat pada pasal-pasal mengenai materi kampanye.

Apa artinya? Setiap orang atau kelompok atau parpol baru disebut kampanye kalau menyampaikan sekaligus visi, misi, dan program. Definisi ini selain tidak cerdas juga amat menjebak untuk penindakan. Contoh iklan politik atau kampanye yang hanya menyebut visi atau misi saja, atau program saja, tidak digolongkan ”kampanye”. Bahkan, visi dan misi saja tanpa program juga bukan termasuk ”kampanye”. Apalagi kalau hanya mengiklankan para bakal capres dan cawapres tanpa menyebut sama sekali visi, misi, dan program. Atau cuma menyebut visi dan misi yang sengaja dibedakan sedikit dari apa yang pernah dilontarkan ke publik atau KPU sebelumnya.

Kepribadian ganda

Yang paling menderita dari semua kenyataan ini adalah rakyat! Seluruh logika mereka tentang iklan politik dan kampanye mengalami pembodohan total. Selanjutnya tentu Bawaslu, KPI, dan KPU. Apa pun yang dilaporkan ke Bawaslu justru tidak bisa ditindaklanjuti gakumdu pemilu gara-gara bunyi UU. Begitu juga jika KPI memakai delik pengelola penyiaran tidak memberikan ketidakadilan akses. Jika materinya tak dapat digolongkan ”kampanye”, toh jadi tidak bermasalah!

Maka, tentu jadi menarik untuk mendengar apa kata DPR yang menghasilkan UU. Wakil Ketua Komisi II yang hadir pada acara diskusi kelompok terfokus itu kembali menekankan: memang demikianlah kehendak asli pembuat undang-undang, yakni ketiga unsur tersebut harus terpenuhi sebagai kumulatif!

Tentu publik bisa melihatnya sebagai ”akal-akalan”. Artinya DPR membuat UU yang nanti justru tidak bisa digunakan untuk melakukan penegakan, yang akan mengenai parpol dan anggota DPR serta sekutunya. Jika demikian, kenapa sekarang Komisi I dengan satgas moratoriumnya berteriak? Ini juga menggelikan bagi publik menyaksikan kepribadian ganda DPR!

Seharusnya DPR membuat UU yang mendefinisikan kampanye sebagai ”kegiatan penyampaian pesan yang dilakukan setiap orang atau kelompok atau peserta pemilu dengan berbagai bentuk dan media yang bertujuan untuk memperkenalkan atau mempromosikan atau meyakinkan pemilih dalam konteks pemilihan umum”.

Akhirnya, apa yang masih bisa kita lakukan? Mungkin uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Jika berhasil, tentu dapat dikeluarkan peraturan baru. Namun, waktunya sangat mepet menjelang jadwal resmi kampanye pileg yang segera akan dimulai.

Atau harus dicari formula membiarkan kampanye sepanjang masa demi pendidikan politik publik, tetapi dengan pemeriksaan jumlah, asal dana, dan pembayaran pajak yang teramat ketat! Beberapa negara memilih upaya memberikan jam tayang gratis dan adil kepada seluruh peserta pemilu. Uji coba televisi digital secara simulcast dengan dekoder termurah (sekitar Rp 50.000), yang membagi kanal kepada semua parpol, dapat pula jadi alternatif keadilan akses.

Di sisi lain, rakyat harus tetap melaporkan pelanggaran menurut versinya ke pihak terkait. Demikian pula Bawaslu dan KPI mestinya tetap menindaklanjuti sebisa yang dimungkinkan. Setidaknya ini akan melatih kewarasan publik melawan logika DPR yang membuat UU Pemilu! Jika tidak, bangsa ini mungkin akan masuk rekor dunia sebagai bangsa yang ”tidak pernah berkampanye pemilu” mengacu pada definisi yang dibuat Senayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar