Rabu, 12 Maret 2014

Jurus Antikemiskinan yang Tumpul

Jurus Antikemiskinan yang Tumpul

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
MEDIA INDONESIA,  11 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
PEMERINTAH akhirnya mengakui gagal memangkas kemiskinan sesuai target yang ditetapkan sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 ditargetkan kemiskinan 2014 tinggal 8%-10% dari total penduduk. Namun, capaian diperkirakan mengarah 10,54%10,75%. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana, target melenceng karena realisasi pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,8%-6%, di bawah target APBN 2014 sebesar 6%. Sebetulnya pertumbuhan itu masih cukup tinggi. 

Namun, kemampuan pertumbuhan dalam menciptakan lapangan kerja (baca: menurunkan kemiskinan) makin menurun. Saat Orde Baru, tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan lebih 400 ribu lapangan kerja. Namun, pada 2011 dan 2012 lapangan kerja yang tercipta hanya 225 ribu dan 182 ribu.

Sebetulnya pemerintah memiliki komitmen besar untuk menekan kemiskinan. Ini bisa dilihat dari komitmen anggaran. Sejak 2005, anggaran antikemiskinan melonjak drastis. Alokasi anggaran antikemiskinan meningkat dari Rp23,4 triliun pada 2005 menjadi hampir Rp100 triliun pada 2012 atau naik lebih empat kali. Ironisnya, meskipun anggaran terus meningkat, sejak 2009 terjadi gejala berupa tumpulnya jurus-jurus antikemiskinan dalam menurunkan jumlah warga miskin. Pada 2008 untuk melepaskan satu orang dari kemiskinan membutuhkan biaya Rp30 juta, tetapi pada 2012 biayanya Rp100 juta atau lebih dari tiga kali lipat. Ini bisa dilihat dari anggaran Rp100 triliun pada 2012, tetapi jumlah warga yang lepas dari kemiskinan hanya 1 juta (Prakarsa, 2012).

Pada 2012, seseorang masuk kategori miskin apabila pengeluarannya kurang dari Rp249 ribu per bulan atau sekitar Rp3 juta per tahun. Jika untuk melepaskan seseorang dari kemiskinan memerlukan biaya Rp100 juta, berarti ongkos pengurangan kemiskinan nilainya sudah lebih dari 30 kali lipat dari ukuran kemiskinan itu sendiri. Oleh karena itu, amat relevan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi jurus antikemiskinan. Mengapa program-program antikemiskinan makin tumpul dan tidak mujarab?

Apa masalahnya?

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program antikemiskinan dibagi jadi tiga cluster (gugus). Gugus pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial pada keluarga kurang mampu, seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan, dan bantuan operasional seko lah. Gugus kedua berupa program dan anggaran berbasis masyarakat, yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM). Warga yang miskin didampingi dan diberdayakan. Gugus ketiga dilakukan pemberdayaan UMKM, dan penyediaan kredit usaha rakyat (KUR). SBY menyebut gugus pertama sebagai pemberian `ikan' bagi rakyat miskin dan hampir miskin. 

Gugus kedua dianalogikan sebagai pemberian `kail' agar warga lebih mandiri. Gugus ketiga ibarat pemberian `perahu'. Diharapkan, masyarakat kecil bisa mengembangkan usaha sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Pengelompokan gugus bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. 

Pertanyaannya, jika pada gugus pertama hanya diberi `ikan' tanpa jurus pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Bagaimanapun kelompok pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar `hidup dari pemberian'. Karena itu, pada gugus pertama porsi `ikannya' lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail. Kalau tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya.

Pada titik ini diperlukan mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso. Setelah punya modal, bisa berjualan bakso dengan pendapatan se hari Rp50 ribu. Na mun, begitu ia sakit, karena si tukang bakso satu-satunya tu lang punggung keluarga, gerobak bakso dijual karena ia tidak punya kartu sehat. Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin malas dan bergan tung pada negara. Syaratnya sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT kompensasi penaikan harga BBM.

Persoalan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang menyebar hampir di semua kementerian/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program yang ujungujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga sehingga pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien.

Apa yang paling mengkhawatirkan ialah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudah-sudah. Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, sejatinya jumlah warga miskin masih banyak.

Pada titik inilah ada keperluan mendesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh jurus dan program antikemiskinan. DPR ada baiknya membentuk panitia khusus guna memeriksa dan mengevaluasi kinerja anggaran penanggulangan kemiskinan. Pansus bisa saja membentuk tim independen yang diberi tugas mengaudit dan mengevaluasi kinerja penanggulangan kemiskinan. Audit itu bertujuan memeriksa dampak, efektivitas, efisiensi, potensi kebocoran atau penyelewengan anggaran antikemiskinan. Temuan tim akan jadi rekomendasi bagi pemerintah untuk merancang ulang jurus antikemiskinan yang ampuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar