Jurus
Antikemiskinan yang Tumpul
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
(2010-2014)
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Maret 2014
|
PEMERINTAH akhirnya mengakui
gagal memangkas kemiskinan sesuai target yang ditetapkan sendiri. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 ditargetkan kemiskinan
2014 tinggal 8%-10% dari total penduduk. Namun, capaian diperkirakan mengarah
10,54%10,75%. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana, target melenceng karena realisasi
pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,8%-6%, di bawah target APBN 2014 sebesar
6%. Sebetulnya pertumbuhan itu masih cukup tinggi.
Namun, kemampuan
pertumbuhan dalam menciptakan lapangan kerja (baca: menurunkan kemiskinan)
makin menurun. Saat Orde Baru, tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan
lebih 400 ribu lapangan kerja. Namun, pada 2011 dan 2012 lapangan kerja yang
tercipta hanya 225 ribu dan 182 ribu.
Sebetulnya pemerintah memiliki
komitmen besar untuk menekan kemiskinan. Ini bisa dilihat dari komitmen
anggaran. Sejak 2005, anggaran antikemiskinan melonjak drastis. Alokasi
anggaran antikemiskinan meningkat dari Rp23,4 triliun pada 2005 menjadi
hampir Rp100 triliun pada 2012 atau naik lebih empat kali. Ironisnya,
meskipun anggaran terus meningkat, sejak 2009 terjadi gejala berupa tumpulnya
jurus-jurus antikemiskinan dalam menurunkan jumlah warga miskin. Pada 2008
untuk melepaskan satu orang dari kemiskinan membutuhkan biaya Rp30 juta,
tetapi pada 2012 biayanya Rp100 juta atau lebih dari tiga kali lipat. Ini
bisa dilihat dari anggaran Rp100 triliun pada 2012, tetapi jumlah warga yang
lepas dari kemiskinan hanya 1 juta (Prakarsa, 2012).
Pada 2012, seseorang masuk
kategori miskin apabila pengeluarannya kurang dari Rp249 ribu per bulan atau
sekitar Rp3 juta per tahun. Jika untuk melepaskan seseorang dari kemiskinan
memerlukan biaya Rp100 juta, berarti ongkos pengurangan kemiskinan nilainya
sudah lebih dari 30 kali lipat dari ukuran kemiskinan itu sendiri. Oleh
karena itu, amat relevan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi jurus
antikemiskinan. Mengapa program-program antikemiskinan makin tumpul dan tidak
mujarab?
Apa masalahnya?
Pada era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, program antikemiskinan dibagi jadi tiga cluster (gugus). Gugus
pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial pada keluarga kurang mampu,
seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), Program Keluarga Harapan, dan bantuan operasional seko lah.
Gugus kedua berupa program dan anggaran berbasis masyarakat, yang
dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM). Warga yang
miskin didampingi dan diberdayakan. Gugus ketiga dilakukan pemberdayaan UMKM,
dan penyediaan kredit usaha rakyat (KUR). SBY menyebut gugus pertama sebagai
pemberian `ikan' bagi rakyat miskin dan hampir miskin.
Gugus kedua
dianalogikan sebagai pemberian `kail' agar warga lebih mandiri. Gugus ketiga
ibarat pemberian `perahu'. Diharapkan, masyarakat kecil bisa mengembangkan
usaha sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.
Pengelompokan gugus bisa
dipahami karena kelompok miskin tidak homogen.
Pertanyaannya, jika pada gugus
pertama hanya diberi `ikan' tanpa jurus pemberdayaan, apakah itu tidak
menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Bagaimanapun
kelompok pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar `hidup
dari pemberian'. Karena itu, pada gugus pertama porsi `ikannya' lebih besar
daripada kelompok lain agar bisa survive.
Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail. Kalau tidak,
selamanya mereka miskin dan tidak berdaya.
Pada titik ini diperlukan
mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional.
Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso.
Setelah punya modal, bisa berjualan bakso dengan pendapatan se hari Rp50
ribu. Na mun, begitu ia sakit, karena si tukang bakso satu-satunya tu lang
punggung keluarga, gerobak bakso dijual karena ia tidak punya kartu sehat.
Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat
orang miskin malas dan bergan tung pada negara. Syaratnya sasaran, kriteria,
dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar
proyek yang sporadis ala BLT kompensasi penaikan harga BBM.
Persoalan lain menyangkut fokus
program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang menyebar hampir
di semua kementerian/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan
repetisi program yang ujungujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik
jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga sehingga
pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien.
Apa yang paling mengkhawatirkan
ialah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudah-sudah. Sudah tidak
terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat
miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, sejatinya jumlah warga miskin masih
banyak.
Pada titik inilah ada keperluan
mendesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh jurus dan program antikemiskinan.
DPR ada baiknya membentuk panitia khusus guna memeriksa dan mengevaluasi
kinerja anggaran penanggulangan kemiskinan. Pansus bisa saja membentuk tim
independen yang diberi tugas mengaudit dan mengevaluasi kinerja
penanggulangan kemiskinan. Audit itu bertujuan memeriksa dampak, efektivitas,
efisiensi, potensi kebocoran atau penyelewengan anggaran antikemiskinan.
Temuan tim akan jadi rekomendasi bagi pemerintah untuk merancang ulang jurus
antikemiskinan yang ampuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar