Rabu, 12 Maret 2014

Manajemen Pertahanan

Manajemen Pertahanan

Fahmi Alfansi P Pane  ;   Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA,  11 Maret 2014

                                                                                         
                                                                                                             
Musibah ledakan gudang amunisi TNI di Pondok Dayung, Jakarta adalah momentum perbaikan manajemen pertahanan Indonesia. Perbaikan tersebut perlu dimulai dengan penerapan system thinking, yang berarti melihat adanya hubungan saling terkait antara insiden arus pendek listrik, gudang tua, kekurangan pendingin udara, padatnya fasilitas TNI pada ruang yang terbatas dan berdekatan dengan kawasan strategis perekonomian, jumlah korban, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut juga terpengaruh kondisi lingkungan di luar TNI, dan hanya bisa dipahami sekaligus diselesaikan sebagai suatu sistem daripada diselesaikan secara terpisah dan sektoral. 

Bila program perbaikan masih bersifat atomistik dan sektoral, misalnya memperbaiki instalasi listrik dan memperbarui fasilitas perbekalan amunisi, tetapi tidak membenahi seluruh komponen sistem, maka musibah serupa akan timbul dan berkonsekuensi lebih besar.

Bangsa ini memang mengakui pandangan holistik, tetapi tidak konsisten dalam implementasinya. Pertahanan negara misalnya, dinyatakan sebagai sistem pertahanan semesta (Pasal 1 UU Pertahanan Negara). Namun, konsepsi, strategi dan postur operasional dari sifat kesemestaan itu belum terumuskan.

Apakah konsep perang gerilya era revolusi kemerdekaan masih relevan pada era globalisasi, teknologi informasi dan senjata strategis? Bagaimana formula dan strategi pertahanan nirmiliter mengatasi ancaman nonmiliter, seperti liberalisasi pikiran generasi muda, pemakaian bahan sintetik dalam makanan dan pangan impor, segregasi antarsektor dan antarlembaga, juga tidak dipedulikan.

Situasi serupa juga terlihat pada penataan ruang, termasuk wilayah pertahanan. Dari Pasal 1 UU Penataan Ruang tertera wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, termasuk kawasan strategis nasional. Tetapi, jangankan percepatan penetapan wilayah pertahanan dan keamanan secara definitif, peraturan pelaksanaannya juga belum tertuntaskan, sedangkan seluruh sektor lainnya relatif lebih maju.

Dampaknya adalah beberapa wilayah pertahanan yang seharusnya permanen seperti telah dialihfungsikan, misalnya Bandara Halim. Sebagian yang lain berjalan tumpang tindih, seperti pada banyak pelabuhan laut dan udara, dan terutama di Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya, termasuk di Pangkalan Pondok Dayung. 

Pengembangan kapabilitas setiap sektor dan lembaga di sana akan terhambat, dan biasanya pertahanan adalah urutan ter akhir untuk diperhatikan. Selain itu, manajemen keamanan fisik setiap institusi tidak akan optimal karena keterbatasan ruang dan relasi satu sama lain yang bukan komplementer. Relasinya saling menggantikan, seperti halnya model "gun vs butter" pada konsep ekonomi.

Bila kepentingan pertahanan dikalahkan oleh program pengentasan kemiskinan, kelaparan, pembangunan kantor pemda, dan sejenisnya, itu mungkin dapat didiskusikan. Di sekitar landasan pacu bandara misalnya, petani setempat dibolehkan menanami lahan. Tetapi, ketika kepentingan pertahanan juga dikalahkan oleh kepentingan komersial, usaha besar, apalagi investor asing, maka pembiaran situasi ini pasti menggerus kapabilitas pertahanan kita. Terlebih, jika pengalihan fungsi dilakukan untuk areal yang luas dan permanen, maka kehilangan kawasan strategis tersebut tidak akan tergantikan. Penyebabnya bukan sekadar komersialisasi, tetapi juga komitmen perawatan yang rendah.

Adanya pandangan sektoral, atau bahkan tidak peduli pada pertahanan, juga terlihat dari realisasi anggaran percepatan pembangunan alat utama sistem senjata (alutsista) untuk pemenuhan kekuatan pokok minimal (MEF) TNI. Presiden sudah menerbitkan Keppres No 35/2011 yang mengalokasikan tambahan anggaran (on top) sebesar-besarnya Rp 57 triliun pada periode 2010-2014. Untuk tahun ini, masih ada pagu sekitar Rp 27 triliun, yang seharusnya bisa digunakan untuk pelunasan pembelian alutsista strategis. Namun, Menkeu Chatib Basri menegaskan uang Rp 27 triliun itu tidak ada (detik.com, 27/2).

Di satu sisi, anggaran pendapatan negara terbatas, dan sejak beberapa tahun fiskal terakhir realisasinya meleset karena realisasi lifting (produksi siap jual) jauh di bawah asumsi APBN, depresiasi rupiah, dan belum optimalnya pendapatan sumber daya alam. Pada sisi lain, anggaran pengeluaran meningkat tajam. Menurut Kementerian Keuangan (2013) dalam Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia, terdapat belanja wajib selain anggaran pendidikan, seperti pembayaran bunga utang, subsidi, transfer ke daerah, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, belanja wajib itu bertambah karena pembentukan lembaga-lembaga baru adhoc, pemekaran wilayah, transfer ke daerah otonom yang berpendapatan asli daerah minim tetapi belanja pegawai dan barangnya sangat besar, subsidi energi dan pangan yang tidak produktif.

Muncul pertanyaan, bila pembayaran bunga utang adalah wajib, mengapa belanja pertahanan untuk menjaga negara dan keselamatan bangsa dianggap bukan wajib? Apakah dinamika di Ukraina, Suriah, Libya, Laut China Selatan, aliansi pertahanan di Asia Tenggara, dan ancaman nyata perang siber (cyber warfare) belum cukup mewajibkannya?

Kesenjangan perspektif inilah yang perlu dijembatani dengan pola system thinkingoleh para pengambil keputusan strategis. Mereka pun perlu mengubah proses pengambilan keputusan pembangunan pertahanan, sebagaimana bidang strategis lainnya, dari berjenjang dan otoritatif menjadi kolaboratif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar