Manajemen
Pertahanan
Fahmi Alfansi P Pane ;
Tenaga Ahli DPR RI
|
REPUBLIKA,
11 Maret 2014
|
Musibah ledakan gudang amunisi
TNI di Pondok Dayung, Jakarta adalah momentum perbaikan manajemen pertahanan
Indonesia. Perbaikan tersebut perlu dimulai dengan penerapan system thinking,
yang berarti melihat adanya hubungan saling terkait antara insiden arus
pendek listrik, gudang tua, kekurangan pendingin udara, padatnya fasilitas TNI
pada ruang yang terbatas dan berdekatan dengan kawasan strategis perekonomian,
jumlah korban, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut juga terpengaruh
kondisi lingkungan di luar TNI, dan hanya bisa dipahami sekaligus diselesaikan
sebagai suatu sistem daripada diselesaikan secara terpisah dan sektoral.
Bila
program perbaikan masih bersifat atomistik dan sektoral, misalnya memperbaiki
instalasi listrik dan memperbarui fasilitas perbekalan amunisi, tetapi tidak
membenahi seluruh komponen sistem, maka musibah serupa akan timbul dan
berkonsekuensi lebih besar.
Bangsa ini memang mengakui pandangan
holistik, tetapi tidak konsisten dalam implementasinya. Pertahanan negara
misalnya, dinyatakan sebagai sistem pertahanan semesta (Pasal 1 UU Pertahanan
Negara). Namun, konsepsi, strategi dan postur operasional dari sifat
kesemestaan itu belum terumuskan.
Apakah konsep perang gerilya era
revolusi kemerdekaan masih relevan pada era globalisasi, teknologi informasi
dan senjata strategis? Bagaimana formula dan strategi pertahanan nirmiliter
mengatasi ancaman nonmiliter, seperti liberalisasi pikiran generasi muda,
pemakaian bahan sintetik dalam makanan dan pangan impor, segregasi
antarsektor dan antarlembaga, juga tidak dipedulikan.
Situasi serupa juga terlihat
pada penataan ruang, termasuk wilayah pertahanan. Dari Pasal 1 UU Penataan
Ruang tertera wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara, termasuk kawasan strategis nasional. Tetapi, jangankan
percepatan penetapan wilayah pertahanan dan keamanan secara definitif,
peraturan pelaksanaannya juga belum tertuntaskan, sedangkan seluruh sektor
lainnya relatif lebih maju.
Dampaknya adalah beberapa wilayah
pertahanan yang seharusnya permanen seperti telah dialihfungsikan, misalnya
Bandara Halim. Sebagian yang lain berjalan tumpang tindih, seperti pada
banyak pelabuhan laut dan udara, dan terutama di Kawasan Pelabuhan Tanjung
Priok dan sekitarnya, termasuk di Pangkalan Pondok Dayung.
Pengembangan
kapabilitas setiap sektor dan lembaga di sana akan terhambat, dan biasanya
pertahanan adalah urutan ter akhir untuk diperhatikan. Selain itu, manajemen
keamanan fisik setiap institusi tidak akan optimal karena keterbatasan ruang
dan relasi satu sama lain yang bukan komplementer. Relasinya saling menggantikan,
seperti halnya model "gun vs butter" pada konsep ekonomi.
Bila kepentingan pertahanan
dikalahkan oleh program pengentasan kemiskinan, kelaparan, pembangunan kantor
pemda, dan sejenisnya, itu mungkin dapat didiskusikan. Di sekitar landasan
pacu bandara misalnya, petani setempat dibolehkan menanami lahan. Tetapi,
ketika kepentingan pertahanan juga dikalahkan oleh kepentingan komersial,
usaha besar, apalagi investor asing, maka pembiaran situasi ini pasti
menggerus kapabilitas pertahanan kita. Terlebih, jika pengalihan fungsi
dilakukan untuk areal yang luas dan permanen, maka kehilangan kawasan
strategis tersebut tidak akan tergantikan. Penyebabnya bukan sekadar
komersialisasi, tetapi juga komitmen perawatan yang rendah.
Adanya pandangan sektoral, atau
bahkan tidak peduli pada pertahanan, juga terlihat dari realisasi anggaran
percepatan pembangunan alat utama sistem senjata (alutsista) untuk pemenuhan
kekuatan pokok minimal (MEF) TNI. Presiden sudah menerbitkan Keppres No
35/2011 yang mengalokasikan tambahan anggaran (on top) sebesar-besarnya Rp 57 triliun pada periode 2010-2014. Untuk
tahun ini, masih ada pagu sekitar Rp 27 triliun, yang seharusnya bisa digunakan
untuk pelunasan pembelian alutsista strategis. Namun, Menkeu Chatib Basri
menegaskan uang Rp 27 triliun itu tidak ada (detik.com, 27/2).
Di satu sisi, anggaran
pendapatan negara terbatas, dan sejak beberapa tahun fiskal terakhir
realisasinya meleset karena realisasi lifting
(produksi siap jual) jauh di bawah asumsi APBN, depresiasi rupiah, dan belum
optimalnya pendapatan sumber daya alam. Pada sisi lain, anggaran pengeluaran
meningkat tajam. Menurut Kementerian Keuangan (2013) dalam Dasar-Dasar
Praktek Penyusunan APBN di Indonesia, terdapat belanja wajib selain anggaran
pendidikan, seperti pembayaran bunga utang, subsidi, transfer ke daerah, dan
lain-lain.
Dalam perkembangannya, belanja
wajib itu bertambah karena pembentukan lembaga-lembaga baru adhoc, pemekaran wilayah,
transfer ke daerah otonom yang berpendapatan asli daerah minim tetapi belanja
pegawai dan barangnya sangat besar, subsidi energi dan pangan yang tidak
produktif.
Muncul pertanyaan, bila
pembayaran bunga utang adalah wajib, mengapa belanja pertahanan untuk menjaga
negara dan keselamatan bangsa dianggap bukan wajib? Apakah dinamika di Ukraina,
Suriah, Libya, Laut China Selatan, aliansi pertahanan di Asia Tenggara, dan
ancaman nyata perang siber (cyber
warfare) belum cukup mewajibkannya?
Kesenjangan perspektif inilah
yang perlu dijembatani dengan pola system thinkingoleh para pengambil
keputusan strategis. Mereka pun perlu mengubah proses pengambilan keputusan
pembangunan pertahanan, sebagaimana bidang strategis lainnya, dari berjenjang
dan otoritatif menjadi kolaboratif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar