Selasa, 11 Maret 2014

Bencana dan Pendidikan yang Memberdayakan

Bencana dan Pendidikan yang Memberdayakan

Khairil Azhar  ;   Konsultan Sekolah di Jakarta,
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina
MEDIA INDONESIA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
PADA suatu pagi Jumat bergerimis, seiring dengan kedatangan siswa satu demi satu, tumpukan kantong-kantong dan kardus berisi makanan dan minuman instan serta barang-barang lainnya mulai meninggi di halaman musala kecil sekolah kami. Dengan berlindung di bawah payung atau jas hujan warna-warni, para siswa SD tersebut bergerak dalam antrean menyerahkan sumbangan mereka, disambut beberapa orangtua murid yang bertindak sebagai panitia lapangan.

Setelah menyaksikan pemandangan yang mengharukan tersebut, dari teras sebuah ruang kelas bersama beberapa guru, saya menyampaikan kepada mereka bahwa secara pedagogis pagi itu ialah pagi yang tak ternilai harganya. Karena itu, jika para guru bersedia, mereka bisa menjadikan kegiatan di pagi itu sebagai starting point untuk rangkaian pembelajaran yang tidak saja berisi nilai-nilai kemanusiaan dan religius, tetapi juga bernilai akademis dan kreatif--bukan sebaliknya, selesai begitu saja ketika semua sumbangan terdistribusikan.

Sampai kepulangan siswa setelah salat asar, baik di kelaskelas maupun dalam pembicaraan informal sesama guru, ternyata seperti yang sudah diduga: tidak ada kegiatan atau pembahasan terkait dengan bencana bersama siswa maupun rencana follow-up atau pembicaraan lanjutan di antara guru. Kegiatan `peduli bencana' tersebut terlihat sekali terpisah dari kegiatan pembelajaran sehari-hari, bersifat insidental, dan dipandang sambil lalu se bagai `kegiatan biasa'.

Secara pedagogis, kegiatan pengumpulan sumbangan di pagi bergerimis tersebut pertama-tama menjadi sangat bernilai karena sangat berbeda dari berbagai jenis kegiatan rutin yang mengawali proses belajar-mengajar di hampir semua sekolah. 

Bandingkan, umpamanya kegiatan tersebut dengan rutinitas seperti persiapan upacara setiap Senin pagi, apel dengan baris-berbaris sebelum masuk kelas, atau yang paling `menyedihkan' siswa datang ke sekolah tanpa disambut siapa pun atau tanpa kegiatan apa pun selain masuk ke kelas. Duduk mengobrol atau bermain dan duduk tertib ketika bel berbunyi. Bahkan di banyak sekolah, sering kali siswa memulai pagi mereka tanpa ada guru yang mendampingi di kelas karena absen atau memilih mengerjakan urusan lain atau mengobrol di ruang guru atau kantor.

Singkat kata, jarang sekali ada kegiatan yang menarik-yang akan membuat siswa merindukan saat-saat kedatangan di sekolah mereka karena merasa `beda', tetapi sekaligus `terbelajarkan'. Karena itu, jika dikemas secara edukatif, kegiatan seperti pengumpulan sumbangan `peduli bencana' akan menjadi pembuka seluruh rangkaian proses pembelajaran yang menginspirasi, sekaligus membentuk sikap dan melatih perilaku. Kedua, bagi para guru, kegiatan peduli bencana di pagi itu merupakan salah satu `pintu masuk' sekaligus `bahan' yang sangat efektif untuk memfasilitasi pembelajaran, yakni dengan membawa `dunia nyata' masuk ke kelaskelas. Dengan kegiatan yang melibatkan dunia nyata dan `perasaan' siswa itu, tidak hanya kapasitas psikososial siswa bisa berkembang lebih baik, tetapi dengan fasilitasi pembelajaran yang tepat juga akan menjembatani perkembangan daya analitis dan akademis siswa dalam berbagai bidang pengetahuan yang bisa diintegrasikan guru-guru.

Berbeda dari pendekatan pembelajaran deduktif yang secara umum dipraktikkan guru-guru--dengan para siswa belajar dari `konsep sebelum fakta' (from concepts to facts) dan diselesaikan dengan cara evaluasi berbentuk ujian-jika dikelola secara benar, kegiatan peduli bencana sebaliknya mestilah meru pakan implementasi dari pendekatan facts-abstraction-action learning--pembelajaran ber basis pada penampakan fakta, abstraksi dan penyusunan serta aktualisasi tindakan--dengan evaluasi sebagai tahap akhir dari satu siklus pembelajaran lebih bersandar pada portofolio sebagai salah satu bentuk penilaian yang autentik.

Jadilah, oleh karena itu, banjir, gempa bumi, atau gunung meletus serta semua dampak dan akibatnya bagi alam dan umat manusia sebagai hal-hal konkret yang mesti dilihat dan dipersepsi para siswa, dipelajari dan diteliti, yang selanjutnya melahirkan sikap dan tindakan aktual.

Dalam proses kognitif yang jauh lebih menginspirasi ketimbang pendekatan pembelajaran konvensional ini, ketika guruguru ber hasil mengonstruk si suatu model integrasi, siswa akan belajar tentang apa, kenapa, dan bagaimana bencana ter jadi secara ilmiah -sebagai bagian dari pembelajaran rumpun sains.

Dengan melihat dan mempelajari dampak dan akibat berbagai bencana secara lebih langsung--berbeda dari kebiasaan men dengarkan ceramah guru, membaca buku teks, atau mengerjakan lembar kerja siswa (LKS) yang sudah terdistorsi kadar realitasnya--para siswa akan terbelajarkan secara langsung oleh aspek-aspek sosiologis, ekonomi, dan tentu saja agama dalam makna generiknya. Khusus terkait dengan agama, perlu dicatat bahwa pendekatan faktual itu meru akan antitesis dari pemahaman dan pembe lajaran agama yang keliru ketika dalil-dalilnya secara arbitrer teramat sering digunakan untuk menjustifikasi `blaming' terhadap para korban bencana dengan menyatakan bahwa bencana terkait dengan dosa-dosa mereka.

Setelah proses kognitif itu, fasilitasi dialogis dan interaktif atau berbagai kegiatan yang melibatkan nalar sekaligus perasaan lainnya akan menajamkan pemahaman para siswa supaya tumbuh sikap-sikap positif seperti empati dan welas asih. Ini merupakan bagian dari apa yang disebut Martha Nussbaum (2003) sebagai upaya supaya para siswa belajar men-decode penderitaan orang lain--berusaha memahami sampai menemukan maknanya--sehingga decoding tersebut secara nyata membawa mereka hidup dalam kebersamaan, baik bersama manusia lain yang dekat maupun jauh maupun bersama isi alam semesta lainnya.

Pada akhirnya, setelah proses kognitif dan pengasahan kualitas afeksi, jika dua proses pertama dari pendekatan dan model pembelajaran faktual tersebut berhasil, mestilah para siswa terinspirasi untuk mengambil sikap moral dan bertindak. Pada tahap ini, jika menggunakan konsep Paulo Freire mengenai `conscientization' atau proses pendidikan yang menyadarkan, para siswa harus sampai pada aksi, setelah melihat penderitaan para korban ben cana, mereka secara sadar bergerak tidak saja untuk membantu sebagai tindakan ad hoc, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki kondisi dan situasi secara terencana.

Para guru, sebagai contoh, dalam tahap ini bisa memfasilitasi gerakan-gerakan peduli lingkungan hidup atau amal kemanusiaan di kalangan para siswa, yang pada kenyataannya akan jauh lebih edukatif ketimbang kegiatan-kegiatan akademis `kering' yang membuat siswa menjadi robot penghafal rumus atau korban indoktrinasi.

Bagi para siswa yang hidup di wilayah-wilayah rawan bencana, pendidikan semacam itu bisa dilakukan dalam bentuk yang berbeda, tetapi berlandaskan pada prinsip yang sama. Bahkan prosesnya bisa diandaikan akan lebih efektif karena mereka merupakan subjek yang secara langsung mengalami bencana, merasakan dampak dan akibatnya.

Pertama, mengingat dampak psikologis, sosiologis, dan ekonomi dari bencana, pedagogi yang diterapkan mestilah menekankan upaya konsientisasi bagaimana supaya para siswa berusaha secepat mungkin untuk hidup mandiri--memanfaatkan seefektif mungkin semua bentuk bantuan dan donasi, tetapi di saat bersamaan menyadarkan mereka supaya secara berangsurangsur melepaskan diri dari ketergantungan pada donasi dan bantuan tersebut.

Kedua, dalam praktiknya, sebagaimana dalam pembelajaran bagi para siswa yang tidak mengalami bencana, prinsip `fakta-abstraksi-aksi' pada ranah kognitif diterapkan sebagai cara untuk melihat dan memahami fenomena yang terjadi secara ilmiah sesuai dengan tingkat kematangan psikologis dan modal pengetahuan siswa. Intinya, para siswa difasilitasi untuk melihat dan menyadari bahwa fenomena yang mereka alami dan rasakan akibatnya bukanlah sebagai `sesuatu yang biasa', tetapi merupa kan `sesuatu yang menarik dan perlu dipelajari' melalui observasi, penelitian, dan refleksi.

Secara afektif, terutama berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran kognitif, para siswa difasilitasi supaya melihat bahwa mereka merupakan survivors, orang-orang yang selamat dari bencana dan mesti mengambil sikap secara tepat tidak saja dalam rangka melakukan segala macam perbaikan bagi kehidupan mereka, tetapi juga berbagai hal yang mungkin untuk mengantisipasi atau katakanlah tindakan-tindakan preventif.

Sebagai survivors, mereka sangat memerlukan nilai-nilai kemandirian--terutama rasa harga diri, percaya diri, keberanian untuk berbuat dan `para pemenang' yang terbiasa menyelesaikan pekerjaan. Demikian juga, para siswa mesti difasilitasi sampai mereka mampu melihat bahwa mereka ialah orang-orang yang potensial, yang mampu melakukan banyak hal bagi pribadi, keluarga dan lingkungan mereka.

Bagaimana caranya? Sebagai contoh, daripada menggunakan pendekatan atau cara konvensional--para siswa biasanya dipaksa untuk menghafal berbagai nilai, definisi serta ciri-cirinya--seorang guru dalam konteks ini jauh lebih baik menyibukkan diri dengan `ekskavasi' berbagai potensi tersembunyi yang dimiliki siswa-siswanya. 

`Ekskavasi' itu bisa dilakukan dengan memfasilitasi mereka dengan berbagai aktivitas konkret dan membuat mereka seolah-olah `hidup' dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Jika diperlukan, belajar dalam hal ini mungkin akan lebih banyak bersama `benda-benda' konkret ketimbang melulu di tengah buku teks atau LKS. Prinsipnya, seperti dinyatakan Confusius `I do Iunderstand'-saya mengerti karena saya melakukan.

Dengan mengikuti konsep pembelajaran faktual ini, pembelajaran juga akan lebih banyak terjadi di luar ruang kelas, di dunia nyata yang lebih membuat para siswa belajar secara langsung. Jadi, seperti di daerah perdesaan, pembelajaran semestinya lebih banyak menggunakan cangkul dan arit sebagai cara untuk membuat siswa lebih menyadari keberadaan serta lingkungan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar