Bencana
dan Pendidikan yang Memberdayakan
Khairil Azhar ;
Konsultan Sekolah di Jakarta,
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Yayasan Paramadina
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2014
PADA suatu pagi Jumat
bergerimis, seiring dengan kedatangan siswa satu demi satu, tumpukan
kantong-kantong dan kardus berisi makanan dan minuman instan serta barang-barang
lainnya mulai meninggi di halaman musala kecil sekolah kami. Dengan
berlindung di bawah payung atau jas hujan warna-warni, para siswa SD tersebut
bergerak dalam antrean menyerahkan sumbangan mereka, disambut beberapa
orangtua murid yang bertindak sebagai panitia lapangan.
Setelah menyaksikan pemandangan
yang mengharukan tersebut, dari teras sebuah ruang kelas bersama beberapa
guru, saya menyampaikan kepada mereka bahwa secara pedagogis pagi itu ialah
pagi yang tak ternilai harganya. Karena itu, jika para guru bersedia, mereka
bisa menjadikan kegiatan di pagi itu sebagai starting point untuk rangkaian
pembelajaran yang tidak saja berisi nilai-nilai kemanusiaan dan religius,
tetapi juga bernilai akademis dan kreatif--bukan sebaliknya, selesai begitu
saja ketika semua sumbangan terdistribusikan.
Sampai kepulangan siswa setelah
salat asar, baik di kelaskelas maupun dalam pembicaraan informal sesama guru,
ternyata seperti yang sudah diduga: tidak ada kegiatan atau pembahasan
terkait dengan bencana bersama siswa maupun rencana follow-up atau pembicaraan lanjutan di antara guru. Kegiatan
`peduli bencana' tersebut terlihat sekali terpisah dari kegiatan pembelajaran
sehari-hari, bersifat insidental, dan dipandang sambil lalu se bagai
`kegiatan biasa'.
Secara pedagogis, kegiatan
pengumpulan sumbangan di pagi bergerimis tersebut pertama-tama menjadi sangat
bernilai karena sangat berbeda dari berbagai jenis kegiatan rutin yang
mengawali proses belajar-mengajar di hampir semua sekolah.
Bandingkan,
umpamanya kegiatan tersebut dengan rutinitas seperti persiapan upacara setiap
Senin pagi, apel dengan baris-berbaris sebelum masuk kelas, atau yang paling
`menyedihkan' siswa datang ke sekolah tanpa disambut siapa pun atau tanpa
kegiatan apa pun selain masuk ke kelas. Duduk mengobrol atau bermain dan
duduk tertib ketika bel berbunyi. Bahkan di banyak sekolah, sering kali siswa
memulai pagi mereka tanpa ada guru yang mendampingi di kelas karena absen
atau memilih mengerjakan urusan lain atau mengobrol di ruang guru atau
kantor.
Singkat kata, jarang sekali ada
kegiatan yang menarik-yang akan membuat siswa merindukan saat-saat kedatangan
di sekolah mereka karena merasa `beda', tetapi sekaligus `terbelajarkan'.
Karena itu, jika dikemas secara edukatif, kegiatan seperti pengumpulan
sumbangan `peduli bencana' akan menjadi pembuka seluruh rangkaian proses
pembelajaran yang menginspirasi, sekaligus membentuk sikap dan melatih
perilaku. Kedua, bagi para guru, kegiatan peduli bencana di pagi itu
merupakan salah satu `pintu masuk' sekaligus `bahan' yang sangat efektif
untuk memfasilitasi pembelajaran, yakni dengan membawa `dunia nyata' masuk ke
kelaskelas. Dengan kegiatan yang melibatkan dunia nyata dan `perasaan' siswa
itu, tidak hanya kapasitas psikososial siswa bisa berkembang lebih baik,
tetapi dengan fasilitasi pembelajaran yang tepat juga akan menjembatani
perkembangan daya analitis dan akademis siswa dalam berbagai bidang
pengetahuan yang bisa diintegrasikan guru-guru.
Berbeda dari pendekatan
pembelajaran deduktif yang secara umum dipraktikkan guru-guru--dengan para
siswa belajar dari `konsep sebelum fakta' (from concepts to facts) dan diselesaikan dengan cara evaluasi
berbentuk ujian-jika dikelola secara benar, kegiatan peduli bencana
sebaliknya mestilah meru pakan implementasi dari pendekatan facts-abstraction-action learning--pembelajaran
ber basis pada penampakan fakta, abstraksi dan penyusunan serta aktualisasi
tindakan--dengan evaluasi sebagai tahap akhir dari satu siklus pembelajaran
lebih bersandar pada portofolio sebagai salah satu bentuk penilaian yang
autentik.
Jadilah, oleh karena itu, banjir,
gempa bumi, atau gunung meletus serta semua dampak dan akibatnya bagi alam
dan umat manusia sebagai hal-hal konkret yang mesti dilihat dan dipersepsi
para siswa, dipelajari dan diteliti, yang selanjutnya melahirkan sikap dan
tindakan aktual.
Dalam proses kognitif yang jauh
lebih menginspirasi ketimbang pendekatan pembelajaran konvensional ini,
ketika guruguru ber hasil mengonstruk si suatu model integrasi, siswa akan
belajar tentang apa, kenapa, dan bagaimana bencana ter jadi secara ilmiah
-sebagai bagian dari pembelajaran rumpun sains.
Dengan melihat dan mempelajari
dampak dan akibat berbagai bencana secara lebih langsung--berbeda dari
kebiasaan men dengarkan ceramah guru, membaca buku teks, atau mengerjakan
lembar kerja siswa (LKS) yang sudah terdistorsi kadar realitasnya--para siswa
akan terbelajarkan secara langsung oleh aspek-aspek sosiologis, ekonomi, dan
tentu saja agama dalam makna generiknya. Khusus terkait dengan agama, perlu
dicatat bahwa pendekatan faktual itu meru akan antitesis dari pemahaman dan
pembe lajaran agama yang keliru ketika dalil-dalilnya secara arbitrer teramat
sering digunakan untuk menjustifikasi `blaming'
terhadap para korban bencana dengan menyatakan bahwa bencana terkait dengan
dosa-dosa mereka.
Setelah proses kognitif itu, fasilitasi
dialogis dan interaktif atau berbagai kegiatan yang melibatkan nalar
sekaligus perasaan lainnya akan menajamkan pemahaman para siswa supaya tumbuh
sikap-sikap positif seperti empati dan welas
asih. Ini merupakan bagian dari apa yang disebut Martha Nussbaum (2003)
sebagai upaya supaya para siswa belajar men-decode penderitaan orang lain--berusaha memahami sampai menemukan
maknanya--sehingga decoding tersebut secara nyata membawa mereka hidup dalam
kebersamaan, baik bersama manusia lain yang dekat maupun jauh maupun bersama
isi alam semesta lainnya.
Pada akhirnya, setelah proses
kognitif dan pengasahan kualitas afeksi, jika dua proses pertama dari
pendekatan dan model pembelajaran faktual tersebut berhasil, mestilah para
siswa terinspirasi untuk mengambil sikap moral dan bertindak. Pada tahap ini,
jika menggunakan konsep Paulo Freire mengenai `conscientization' atau proses pendidikan yang menyadarkan, para
siswa harus sampai pada aksi, setelah melihat penderitaan para korban ben
cana, mereka secara sadar bergerak tidak saja untuk membantu sebagai tindakan
ad hoc, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki kondisi dan situasi secara
terencana.
Para guru, sebagai contoh, dalam
tahap ini bisa memfasilitasi gerakan-gerakan peduli lingkungan hidup atau
amal kemanusiaan di kalangan para siswa, yang pada kenyataannya akan jauh
lebih edukatif ketimbang kegiatan-kegiatan akademis `kering' yang membuat
siswa menjadi robot penghafal rumus atau korban indoktrinasi.
Bagi para siswa yang hidup di
wilayah-wilayah rawan bencana, pendidikan semacam itu bisa dilakukan dalam
bentuk yang berbeda, tetapi berlandaskan pada prinsip yang sama. Bahkan
prosesnya bisa diandaikan akan lebih efektif karena mereka merupakan subjek
yang secara langsung mengalami bencana, merasakan dampak dan akibatnya.
Pertama, mengingat dampak
psikologis, sosiologis, dan ekonomi dari bencana, pedagogi yang diterapkan
mestilah menekankan upaya konsientisasi bagaimana supaya para siswa berusaha
secepat mungkin untuk hidup mandiri--memanfaatkan seefektif mungkin semua
bentuk bantuan dan donasi, tetapi di saat bersamaan menyadarkan mereka supaya
secara berangsurangsur melepaskan diri dari ketergantungan pada donasi dan
bantuan tersebut.
Kedua, dalam praktiknya,
sebagaimana dalam pembelajaran bagi para siswa yang tidak mengalami bencana,
prinsip `fakta-abstraksi-aksi' pada ranah kognitif diterapkan sebagai cara
untuk melihat dan memahami fenomena yang terjadi secara ilmiah sesuai dengan
tingkat kematangan psikologis dan modal pengetahuan siswa. Intinya, para siswa
difasilitasi untuk melihat dan menyadari bahwa fenomena yang mereka alami dan
rasakan akibatnya bukanlah sebagai `sesuatu yang biasa', tetapi merupa kan
`sesuatu yang menarik dan perlu dipelajari' melalui observasi, penelitian,
dan refleksi.
Secara afektif, terutama
berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari proses pembelajaran kognitif,
para siswa difasilitasi supaya melihat bahwa mereka merupakan survivors, orang-orang yang selamat
dari bencana dan mesti mengambil sikap secara tepat tidak saja dalam rangka
melakukan segala macam perbaikan bagi kehidupan mereka, tetapi juga berbagai
hal yang mungkin untuk mengantisipasi atau katakanlah tindakan-tindakan
preventif.
Sebagai survivors, mereka sangat memerlukan nilai-nilai
kemandirian--terutama rasa harga diri, percaya diri, keberanian untuk berbuat
dan `para pemenang' yang terbiasa menyelesaikan pekerjaan. Demikian juga,
para siswa mesti difasilitasi sampai mereka mampu melihat bahwa mereka ialah
orang-orang yang potensial, yang mampu melakukan banyak hal bagi pribadi,
keluarga dan lingkungan mereka.
Bagaimana caranya? Sebagai
contoh, daripada menggunakan pendekatan atau cara konvensional--para siswa
biasanya dipaksa untuk menghafal berbagai nilai, definisi serta
ciri-cirinya--seorang guru dalam konteks ini jauh lebih baik menyibukkan diri
dengan `ekskavasi' berbagai potensi tersembunyi yang dimiliki siswa-siswanya.
`Ekskavasi' itu bisa dilakukan dengan memfasilitasi mereka dengan berbagai
aktivitas konkret dan membuat mereka seolah-olah `hidup' dalam kegiatan-kegiatan
tersebut. Jika diperlukan, belajar dalam hal ini mungkin akan lebih banyak
bersama `benda-benda' konkret ketimbang melulu di tengah buku teks atau LKS.
Prinsipnya, seperti dinyatakan Confusius `I
do Iunderstand'-saya mengerti karena saya melakukan.
Dengan mengikuti konsep
pembelajaran faktual ini, pembelajaran juga akan lebih banyak terjadi di luar
ruang kelas, di dunia nyata yang lebih membuat para siswa belajar secara
langsung. Jadi, seperti di daerah
perdesaan, pembelajaran semestinya lebih banyak menggunakan cangkul dan arit
sebagai cara untuk membuat siswa lebih menyadari keberadaan serta lingkungan
hidupnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar