Selasa, 11 Maret 2014

We are All Water

We are All Water

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
KALIMAT We are all water mengingatkan saya pada album John Lennon yang kurang dikenal di Indonesia. Dalam buku The John Lennon Letters yang disadur Hunter Davies (2012), ada ungkapan menarik tentang etika kehidupan yang bisa jadi tak berarti apa pun bagi orang lain. Namun, bagi saya pribadi, pemaknaan we are all water mengandung pesan persamaan hak luar biasa bagi setiap manusia di muka bumi ini. Dalam surat nomor 167 dengan judul yang sama, John Lennon menerakan kata-kata yang sederhana, tetapi mendalam tentang penting dan perlunya kita menghargai keragaman.

“Gaya hidup ditentukan orang lain, peluang ditentukan orang lain, peran dalam masyarakat ditentukan orang lain.... Kita tidak harus menjadi hitam untuk menjadi negro dalam masyarakat ini ... sebagian besar orang di Amerika ialah
negro.” Ungkapan sederhana itu jelas menyiratkan banyak makna, terutama karena judulnya ialah We are All Water. Jika kita adalah air, apa pun bentuk, warna, dan muasal air, tetap saja benda cair yang bersemayam sebanyak 70%
dalam tubuh kita.

Ini berarti tak ada yang lebih menyenangkan dalam hidup ini kecuali fakta bahwa
hampir seluruh hidup kita dipengaruhi dan ditentukan air. Sering kali ada ungkapan ‘air kehidupan’, bukan tanah, langit, atau udara kehidupan. Pendek kata, air adalah sumber kehidupan yang tiada duanya di muka bumi ini. Memahami air dari perspektif we are all water-nya John Lennon pasti akan memberikan kesadaran tentang persamaan kita dengan makhluk lainnya.
Mungkin hanya jin dan setan yang tak membutuhkan air, atau ada kata lain dalam dunia jin tentang air.

Dalam dunia pendidikan, membangun kesadaran persamaan ialah hal yang paling muskil dan sulit dilakukan para guru. Jika perspektifnya ialah keragaman etnik dan budaya, hampir semua teori tentang multikulturalisme pernah ditulis praktisi pendidikan. Namun, jika perspektifnya ialah persamaan atau equality, pada praktiknya sangat sulit dilakukan baik oleh para guru maupun pemangku kepentingan di bidang pendidikan.

Banyak hasil riset menunjukkan pendidikan memiliki kemampuan dan keunggulan dalam mengajarkan nilai-nilai toleransi secara tepat dan cepat.
Proses pendidikan yang menghargai keragaman, memiliki proses yang demokratis dan terbuka, serta peduli akan tumbuh kembang virtue atau mental attitude siswa ialah prasyarat yang dibutuhkan sebuah sekolah yang concern dengan persoalan intoleransi. Steven E Vinkel dalam Can Tolerance be Taught? Adult Civic Education and the Development of Democratic Values (2000) menyebutkan mengajarkan toleransi merupakan pintu masuk utama dalam
mengembangkan sekolah yang demokratis dan terbuka. Namun, riset terbaru menunjukkan mengajarkan toleransi tanpa dibarengi pemahaman tentang kesetaraan dan persamaan hak menjadi kurang afdal.

Jika kesetaraan adalah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan manusia secara keseluruhan, benar adanya jika konstitusi kita (UUD 1945) telah menyebutnya secara kasatmata. Kesalahan fundamental birokrasi pendidikan kita dalam memahami dan memaknai gagasan tentang kesetaraan yang berorientasi hanya kepada akses dan partisipasi (Lynch, 2000).

Padahal sejatinya kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari tujuan dan proses pendidikan semata, melainkan juga harus mempertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti itulah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang pro pada kebutuhan publik.

Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam equality of condition fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu sendiri, tetapi juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas dan cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan ini jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan kita untuk
merealisasikannya.

Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan
yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang memadai. Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru siswa yang semakin peduli dengan proses belajar-mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam proses
belajar. Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks ini, kesetaraan
kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pendidikan kita.

Apa efek buruk dari ketiadaan kesetaraan dalam praktik pendidikan? Kekerasan
dan diskriminasi adalah dua fakta yang kerap kita temukan dalam kehidupan kita, dan itu bersumber dari ketiadaan kebijakan proses pendidikan yang berorientasi pada filsafat air seperti digambarkan di atas. Pendek kata, jika kekekaran dan diskriminasi ingin hilang di muka bumi ini, mulailah untuk mendorong praktik kesetaraan kondisi dilakukan dengan benar melalui rancangan kebijakan pendidikan yang bersumber dari mata air kehidupan kita, yaitu keinginan dan perlakuan yang tidak pandang bulu dan selalu memberi kesempatan orang lain untuk berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar