We
are All Water
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2014
KALIMAT We are all water mengingatkan saya
pada album John Lennon yang kurang dikenal di Indonesia. Dalam buku The John Lennon Letters yang disadur
Hunter Davies (2012), ada ungkapan menarik tentang etika kehidupan yang bisa
jadi tak berarti apa pun bagi orang lain. Namun, bagi saya pribadi, pemaknaan
we are all water mengandung pesan
persamaan hak luar biasa bagi setiap manusia di muka bumi ini. Dalam surat
nomor 167 dengan judul yang sama, John Lennon menerakan kata-kata yang sederhana,
tetapi mendalam tentang penting dan perlunya kita menghargai keragaman.
“Gaya hidup ditentukan orang lain, peluang
ditentukan orang lain, peran dalam masyarakat ditentukan orang lain.... Kita
tidak harus menjadi hitam untuk menjadi negro dalam masyarakat ini ...
sebagian besar orang di Amerika ialah
negro.” Ungkapan sederhana itu jelas
menyiratkan banyak makna, terutama karena judulnya ialah We are All Water. Jika kita adalah air, apa pun bentuk, warna,
dan muasal air, tetap saja benda cair yang bersemayam sebanyak 70%
dalam
tubuh kita.
Ini
berarti tak ada yang lebih menyenangkan dalam hidup ini kecuali fakta bahwa
hampir
seluruh hidup kita dipengaruhi dan ditentukan air. Sering kali ada ungkapan ‘air
kehidupan’, bukan tanah, langit, atau udara kehidupan. Pendek kata, air
adalah sumber kehidupan yang tiada duanya di muka bumi ini. Memahami air dari
perspektif we are all water-nya
John Lennon pasti akan memberikan kesadaran tentang persamaan kita dengan
makhluk lainnya.
Mungkin
hanya jin dan setan yang tak membutuhkan air, atau ada kata lain dalam dunia jin
tentang air.
Dalam
dunia pendidikan, membangun kesadaran persamaan ialah hal yang paling muskil
dan sulit dilakukan para guru. Jika perspektifnya ialah keragaman etnik dan
budaya, hampir semua teori tentang multikulturalisme pernah ditulis praktisi
pendidikan. Namun, jika perspektifnya ialah persamaan atau equality, pada praktiknya
sangat sulit dilakukan baik oleh para guru maupun pemangku kepentingan di bidang
pendidikan.
Banyak
hasil riset menunjukkan pendidikan memiliki kemampuan dan keunggulan dalam
mengajarkan nilai-nilai toleransi secara tepat dan cepat.
Proses
pendidikan yang menghargai keragaman, memiliki proses yang demokratis dan
terbuka, serta peduli akan tumbuh kembang virtue atau mental attitude siswa
ialah prasyarat yang dibutuhkan sebuah sekolah yang concern dengan persoalan
intoleransi. Steven E Vinkel dalam Can Tolerance
be Taught? Adult Civic Education and the Development of Democratic Values
(2000) menyebutkan mengajarkan toleransi merupakan pintu masuk utama dalam
mengembangkan
sekolah yang demokratis dan terbuka. Namun, riset terbaru menunjukkan mengajarkan
toleransi tanpa dibarengi pemahaman tentang kesetaraan dan persamaan hak
menjadi kurang afdal.
Jika
kesetaraan adalah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan manusia secara
keseluruhan, benar adanya jika konstitusi kita (UUD 1945) telah menyebutnya secara
kasatmata. Kesalahan fundamental birokrasi pendidikan kita dalam memahami dan
memaknai gagasan tentang kesetaraan yang berorientasi hanya kepada akses dan partisipasi
(Lynch, 2000).
Padahal sejatinya
kesetaraan (equality) bukan saja
harus dilihat dari tujuan dan proses pendidikan semata, melainkan juga harus
mempertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Hanya
dengan cara pandang seperti itulah kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang
kesetaraan kondisi (equality of
condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang
pro pada kebutuhan publik.
Baker
(2004) dalam Equality: From Theory to
Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya,
kesetaraan kondisi (equality of
condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan
partisipasi. Dalam equality of
condition fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu
sendiri, tetapi juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam
pengakuan dan penghargaan (respect and
recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas
dan cinta (love, care and solidarity).
Semua jenis kesetaraan ini jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan
kita untuk
merealisasikannya.
Kesetaraan
sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan
yang
lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan
respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai
perbedaan, melainkan juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis
dan kurikulum yang memadai. Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat
dalam relasi guru siswa yang semakin peduli dengan proses belajar-mengajar yang
demokratis sehingga implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan
untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam proses
belajar.
Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus
diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan
perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks ini, kesetaraan
kondisi-kondisi
tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pendidikan
kita.
Apa efek
buruk dari ketiadaan kesetaraan dalam praktik pendidikan? Kekerasan
dan
diskriminasi adalah dua fakta yang kerap kita temukan dalam kehidupan kita,
dan itu bersumber dari ketiadaan kebijakan proses pendidikan yang
berorientasi pada filsafat air seperti digambarkan di atas. Pendek kata, jika
kekekaran dan diskriminasi ingin hilang di muka bumi ini, mulailah untuk mendorong
praktik kesetaraan kondisi dilakukan dengan benar melalui rancangan kebijakan
pendidikan yang bersumber dari mata air kehidupan kita, yaitu keinginan dan
perlakuan yang tidak pandang bulu dan selalu memberi kesempatan orang lain
untuk berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar