Selasa, 11 Maret 2014

PK Berkali-kali, Langkah Menguntungkan atau Merugikan?

PK Berkali-kali,

Langkah Menguntungkan atau Merugikan?

Andi Hamzah  ;   Dosen Hukum Acara Pidana 1971 sampai kini
MEDIA INDONESIA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
“Di Indonesia, cenderung setiap hari, setiap putusan kasasi baik perdata maupun pidana dimintakan peninjauan kembali, kadang-kadang malah sehari setelah menerima putusan kasasi (yang tidak mungkin ada novum). Anehnya, Mahkamah Agung mau menerima dan memeriksa.”

PENINJAUAN kembali (PK) tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atas ide Prof Oemar Seno Adji, yang dipicu atas peristiwa Sengkong-Karta, yang dipidana. Ketika itu pada 1974, Sengkon dan Karta, yang merupakan petani asal Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat, dijatuhi hukuman 7 dan 12 tahun penjara atas tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya. Padahal ada petunjuk bukan mereka yang melakukan pembunuhan.

Prof Oemar Seno Adji merupakan sarjana hukum (meester in de rechten) didikan Belanda. Jelas, ketentuan dalam KUHAP mengenai peninjauan kembali merupakan tiruan dari Strafvordering (KUHAP) Belanda. Sebanyak 95% ketentuan tentang peninjauan kembali yang tercantum dalam KUHAP sama dengan ketentuan Strafvordering Belanda.

Peninjauan kembali diatur juga dalam beberapa KUHAP di dunia, antara lain KUHAP Prancis (Pasal 623 CCP) dan Belgia, yang mirip dengan ketentuan Strafvordering Belanda. Ada negara yang tidak mengatur peninjauan kembali dalam KUHAP mereka, seperti Thailand. Jika ada orang dipidana ternyata kemudian orang itu tidak bersalah, akan dimintakan grasi kepada raja.

Perbedaan antara ketentuan peninjauan kembali di dalam KUHAP Indonesia dan Strafvordering Belanda (juga Prancis dan Belgia) yaitu yang memutus peninjauan kembali di Indonesia ialah Mahkamah Agung, sedangkan di negara-negara tersebut, Mahkamah Agung (Belanda: Hoge Raad) hanya menentukan PK diterima karena ada novum atau putusan saling bertentangan. Apa pun bentuk putusannya dikembalikan ke pengadilan di bawah untuk retrial (sidang kembali). Jadi, saksi-saksi dan terpidana (terdakwa) diperiksa lagi.

Setiap hari PK

Dengan demikian, diperiksa lagi judex facti. Di Prancis dan Belanda, rata-rata 10 tahun baru ada PK karena bagaimana mungkin sembilan hakim (3 pengadilan negeri, 3 pengadilan tinggi, dan 3 Hakim Agung) keliru semua.

Di Indonesia, cenderung setiap hari setiap putusan kasasi baik perdata maupun pidana dimintakan peninjauan kembali, kadang-kadang malah sehari setelah menerima putusan kasasi (yang tidak mungkin ada novum). Anehnya, Mahkamah Agung mau menerima dan memeriksa.

Putusan peninjauan kembali limitatif alternatif hanya empat, baik di Belanda maupun Indonesia (Pasal 266 KUHAP), yaitu bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan jaksa tidak dapat diterima, dan dipidana lebih ringan dari semula. Jadi, tidak mungkin orang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, lalu melalui peninjauan kembali, dia dipidana.

Putusan bebas yaitu jika ada novum dia tidak terbukti melakukan perbuatan seperti didakwakan dulu. Prancis memberi contoh ekstrem. Dulu dia dipidana membunuh, kemudian ternyata orang `yang dibunuh' masih hidup.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum jika dulu dia dipidana, padahal ada novum dasar pembenar (tidak melawan hukum) atau ada alasan pemaaf (tidak ada kesalahan).

Putusan tuntutan jaksa tidak dapat diterima terjadi jika ada novum, dulu dia dipidana padahal perkara sudah verjaard waktu itu, perkara itu ne bis in idem, delik aduan tidak ada pengaduan, anak di bawah umur, atau hukum pidana Indonesia tidak berlaku.

Adapun dipidana lebih ringan dari semula jika ada novum, putusan salah kualifikasi. Dipidana pembunuhan yang dipikirkan lebih dulu 18 tahun penjara, ada novum pembunuhan spontan yang maksimumnya 15 tahun (Pasal 338 KUHP), jadi harus dikembalikan ke 15 tahun ke bawah.

Yang berhak meminta peninjauan kembali di Indonesia ialah terpidana atau ahli warisnya (maksudnya, jika terpidana telah meninggal dunia). Di Belanda sama, terpidana atau ahli warisnya, tetapi ditambah lagi Procureur Generaal (Jaksa Agung) jika terpidana telah meninggal dunia dan tidak ada ahli waris.

Hal itu diatur dalam RUU KUHAP juga. Jadi, di Belanda, Jaksa Agung tidak hanya berfungsi untuk menghukum orang, tetapi juga membebaskan orang yang tidak bersalah. Dalam keadaan yang sama, di Prancis dan Belgia yang meminta peninjauan kembali ialah menteri kehakiman.

Dalam sidang peninjauan kembali di Prancis, majelis terdiri dari lima orang yang dipilih seluruh hakim agung, dan yang menjadi ketua harus hakim dari kamar pidana. Sidang peninjauan kembali di Prancis dihadiri Jaksa Agung.

Agar peninjauan kembali di Indonesia tidak dimainkan seperti sekarang, diterima ada novum atau putusan saling bertentangan, dalam RUU KUHAP sudah diatur harus dihadiri oleh seluruh hakim agung dan dipimpin oleh ketua MA. Putusan akhir berupa retrial di pengadilan di bawah.

Beri kesempatan

Andai kata RUU KUHAP ini sudah berlaku (yang sayangnya ada yang salah paham dikira melemahkan KPK), kasus Antasari sedianya tidak terjadi karena putusan akhir PK harus berupa retrial (diperiksa ulang saksi-saksi dan Antasari).

Jadi, diperiksa ulang judex facti. Berbeda dengan putusan peninjauan kembali terhadap Antasari yang diputus oleh Mahkamah Agung berdasarkan berkas semata, yang berkas putusan pengadilan negeri itu berdasarkan BAP, yang saksi utama, yaitu si eksekutor justru tidak dihadirkan di sidang.

Dengan sendirinya majelis PK Antasari menolak karena terbukti dia menyuruh membunuh berdasarkan berkas perkara. Jadi, andai kata Mahkamah Konstitusi membaca RUU KUHAP yang menentukan, bahwa putusan akhir peninjauan kembali berdasarkan retrial, mungkin tidak memutus seperti sekarang peninjauan kembali boleh dilakukan berkali-kali, yang merusak seluruh proses acara pidana.

Jika putusan peninjauan kembali diambil berdasarkan retrial (sidang ulang), tentu tidak ada alasan untuk minta peninjauan kembali lagi karena dia (Antasari) diperiksa lagi dan diberi kesempatan membela diri dengan segala amunisi yang dia miliki, bahwa dia tidak bersalah.

Jadi, jika dia tidak sanggup membuktikan bahwa dia tidak bersalah, dan permohonannya ditolak, tidak ada alasan dia minta peninjauan kembali lagi. KUHAP Jepang (Pasal 435 sampai Pasal 453) mengatur secara rinci retrial (sidang ulang) ini yang putusannya diumumkan dalam lembaran negara dan surat kabar.

Demikian pula KUHAP RRC (Pasal 204 sampai 207). Semuanya berarti memeriksa judex facti lagi, bukan hanya judex juris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar