PK
Berkali-kali,
Langkah
Menguntungkan atau Merugikan?
Andi Hamzah ;
Dosen Hukum Acara Pidana 1971 sampai kini
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2014
“Di Indonesia, cenderung setiap hari, setiap
putusan kasasi baik perdata maupun pidana dimintakan peninjauan kembali,
kadang-kadang malah sehari setelah menerima putusan kasasi (yang tidak
mungkin ada novum). Anehnya, Mahkamah Agung mau menerima dan memeriksa.”
PENINJAUAN
kembali (PK) tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
atas ide Prof Oemar Seno Adji, yang dipicu atas peristiwa Sengkong-Karta,
yang dipidana. Ketika itu pada 1974, Sengkon dan Karta, yang merupakan petani
asal Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat, dijatuhi hukuman 7 dan 12 tahun penjara
atas tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya.
Padahal ada petunjuk bukan mereka yang melakukan pembunuhan.
Prof
Oemar Seno Adji merupakan sarjana hukum (meester
in de rechten) didikan Belanda. Jelas, ketentuan dalam KUHAP mengenai
peninjauan kembali merupakan tiruan dari Strafvordering
(KUHAP) Belanda. Sebanyak 95% ketentuan tentang peninjauan kembali yang
tercantum dalam KUHAP sama dengan ketentuan Strafvordering Belanda.
Peninjauan
kembali diatur juga dalam beberapa KUHAP di dunia, antara lain KUHAP Prancis
(Pasal 623 CCP) dan Belgia, yang mirip dengan ketentuan Strafvordering Belanda. Ada negara yang tidak mengatur peninjauan
kembali dalam KUHAP mereka, seperti Thailand. Jika ada orang dipidana
ternyata kemudian orang itu tidak bersalah, akan dimintakan grasi kepada
raja.
Perbedaan
antara ketentuan peninjauan kembali di dalam KUHAP Indonesia dan Strafvordering Belanda (juga Prancis
dan Belgia) yaitu yang memutus peninjauan kembali di Indonesia ialah Mahkamah
Agung, sedangkan di negara-negara tersebut, Mahkamah Agung (Belanda: Hoge Raad) hanya menentukan PK
diterima karena ada novum atau
putusan saling bertentangan. Apa pun bentuk putusannya dikembalikan ke
pengadilan di bawah untuk retrial
(sidang kembali). Jadi, saksi-saksi dan terpidana (terdakwa) diperiksa lagi.
Setiap hari PK
Dengan
demikian, diperiksa lagi judex facti. Di Prancis dan Belanda, rata-rata 10
tahun baru ada PK karena bagaimana mungkin sembilan hakim (3 pengadilan
negeri, 3 pengadilan tinggi, dan 3 Hakim Agung) keliru semua.
Di
Indonesia, cenderung setiap hari setiap putusan kasasi baik perdata maupun
pidana dimintakan peninjauan kembali, kadang-kadang malah sehari setelah
menerima putusan kasasi (yang tidak mungkin ada novum). Anehnya, Mahkamah Agung mau menerima dan memeriksa.
Putusan
peninjauan kembali limitatif alternatif hanya empat, baik di Belanda maupun
Indonesia (Pasal 266 KUHAP), yaitu bebas, lepas dari segala tuntutan hukum,
tuntutan jaksa tidak dapat diterima, dan dipidana lebih ringan dari semula. Jadi,
tidak mungkin orang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
lalu melalui peninjauan kembali, dia dipidana.
Putusan
bebas yaitu jika ada novum dia tidak terbukti melakukan perbuatan seperti
didakwakan dulu. Prancis memberi contoh ekstrem. Dulu dia dipidana membunuh,
kemudian ternyata orang `yang dibunuh' masih hidup.
Putusan
lepas dari segala tuntutan hukum jika dulu dia dipidana, padahal ada novum dasar pembenar (tidak melawan
hukum) atau ada alasan pemaaf (tidak ada kesalahan).
Putusan
tuntutan jaksa tidak dapat diterima terjadi jika ada novum, dulu dia dipidana
padahal perkara sudah verjaard waktu itu, perkara itu ne bis in idem, delik
aduan tidak ada pengaduan, anak di bawah umur, atau hukum pidana Indonesia
tidak berlaku.
Adapun
dipidana lebih ringan dari semula jika ada novum, putusan salah kualifikasi.
Dipidana pembunuhan yang dipikirkan lebih dulu 18 tahun penjara, ada novum
pembunuhan spontan yang maksimumnya 15 tahun (Pasal 338 KUHP), jadi harus
dikembalikan ke 15 tahun ke bawah.
Yang
berhak meminta peninjauan kembali di Indonesia ialah terpidana atau ahli
warisnya (maksudnya, jika terpidana telah meninggal dunia). Di Belanda sama,
terpidana atau ahli warisnya, tetapi ditambah lagi Procureur Generaal (Jaksa Agung) jika terpidana telah meninggal
dunia dan tidak ada ahli waris.
Hal itu
diatur dalam RUU KUHAP juga. Jadi, di Belanda, Jaksa Agung tidak hanya
berfungsi untuk menghukum orang, tetapi juga membebaskan orang yang tidak
bersalah. Dalam keadaan yang sama, di Prancis dan Belgia yang meminta
peninjauan kembali ialah menteri kehakiman.
Dalam
sidang peninjauan kembali di Prancis, majelis terdiri dari lima orang yang
dipilih seluruh hakim agung, dan yang menjadi ketua harus hakim dari kamar
pidana. Sidang peninjauan kembali di Prancis dihadiri Jaksa Agung.
Agar
peninjauan kembali di Indonesia tidak dimainkan seperti sekarang, diterima
ada novum atau putusan saling bertentangan, dalam RUU KUHAP sudah diatur
harus dihadiri oleh seluruh hakim agung dan dipimpin oleh ketua MA. Putusan
akhir berupa retrial di pengadilan di bawah.
Beri kesempatan
Andai
kata RUU KUHAP ini sudah berlaku (yang sayangnya ada yang salah paham dikira
melemahkan KPK), kasus Antasari sedianya tidak terjadi karena putusan akhir
PK harus berupa retrial (diperiksa
ulang saksi-saksi dan Antasari).
Jadi,
diperiksa ulang judex facti.
Berbeda dengan putusan peninjauan kembali terhadap Antasari yang diputus oleh
Mahkamah Agung berdasarkan berkas semata, yang berkas putusan pengadilan
negeri itu berdasarkan BAP, yang saksi utama, yaitu si eksekutor justru tidak
dihadirkan di sidang.
Dengan
sendirinya majelis PK Antasari menolak karena terbukti dia menyuruh membunuh
berdasarkan berkas perkara. Jadi, andai kata Mahkamah Konstitusi membaca RUU
KUHAP yang menentukan, bahwa putusan akhir peninjauan kembali berdasarkan
retrial, mungkin tidak memutus seperti sekarang peninjauan kembali boleh
dilakukan berkali-kali, yang merusak seluruh proses acara pidana.
Jika
putusan peninjauan kembali diambil berdasarkan retrial (sidang ulang), tentu tidak ada alasan untuk minta
peninjauan kembali lagi karena dia (Antasari) diperiksa lagi dan diberi
kesempatan membela diri dengan segala amunisi yang dia miliki, bahwa dia
tidak bersalah.
Jadi,
jika dia tidak sanggup membuktikan bahwa dia tidak bersalah, dan
permohonannya ditolak, tidak ada alasan dia minta peninjauan kembali lagi.
KUHAP Jepang (Pasal 435 sampai Pasal 453) mengatur secara rinci retrial
(sidang ulang) ini yang putusannya diumumkan dalam lembaran negara dan surat
kabar.
Demikian
pula KUHAP RRC (Pasal 204 sampai 207). Semuanya berarti memeriksa judex facti lagi, bukan hanya judex juris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar