|
Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) kembali membuat
masalah di Indonesia. Awal semester II tahun ini nilai tukar mata uang
Indonesia pernah jatuh sampai Rp 12.000 per dolar AS lebih dan terus mencari
ekuilibrium baru. Indonesia mendapatkan akumulasi dampak eksternal yang menekan
mata uang rupiah, dari defisit transaksi ekspor-impor, kenaikan harga minyak
mentah dunia, krisis politik Timur Tengah, jatuh tempo pembayaran utang valuta
asing dan dampak krisis zona Eropa yang belum juga selesai sejak 2007.
Indonesia kini harus menelan pil pahit dari implementasi
rezim devisa bebas sejak 14 Agustus 1999 itu. Pandangan bahwa mata uang
beberapa negara juga mengalami nasib sama hanya sekedar menyenangkan, padahal
penurunan nilai mata uang rupiah menjadi yang terburuk di kawasan yang sama
dihitung sejak 4 tahun lalu. Artinya, ada yang salah dengan sistem rezim
moneter yang dipilih oleh Indonesia dan secepatnya harus dievaluasi.
Persoalan moneter Indonesia adalah head-to-head dengan
moneter AS. Padahal, kapitalisasi mata uang negeri Paman Sam ini 19,4 persen di
dunia (Hewitt, M, 2009) atau sekitar
862,3 miliar dolar AS. Nilai akumulasi uang seluruh dunia tahun 2009 dalam
dolar AS adalah 4,5 triliun dolar AS dengan volume penambahan 9,09 persen per
tahun. Jadi, pada 2012 lalu, jumlah mata uang seluruh dunia adalah 5,84 triliun
dolar AS, artinya volume uang AS sendiri sudah mencapai 1.133,36 miliar dolar
AS.
Sementara itu, jumlah uang Indonesia yang beredar sekarang
ini adalah Rp 403 triliun per Juni 2013 dengan pertumbuhan 15-16 persen per
tahun. Kalau melihat kapitalisasinya, Indonesia per tahun defisit neraca
perdagangan ekspor-impor sebesar 6,383 miliar dolar AS maka kocek Indonesia
akan semakin menyusut dari hari ke hari.
Artinya, rezim devisa bebas yang dianut Pemerintah
Indonesia benar-benar dalam risiko tinggi. Ekonomi Indonesia hanya 3,59 persen
terhadap AS namun membiarkan mekanisme pasar menentukan sendiri ekuilibrium
nilai tukar rupiah. Padahal titik ekuilibrium itu bukan hasil perhitungan
matematis yang pasti.
Berbahayanya apabila uang dolar AS tersebut kembali ke
negaranya jika, misalnya, The Fed memutuskan menaikkan tingkat suku bunganya.
Sudah 4 tahun sejak 2009 Bank Sentral AS mematok suku bunga 0,25 persen dan
kini mulai ancang-ancang hendak dinaikkan. Ini terutama Bank Sentral Eropa
(ECB) akan menaikkan suku bunganya dari 0,5 persen saat ini setelah 2 Mei 2013
menurunkan 0,25 basis poin dari 0,75 persen.
Tidak ada rumus yang pasti bagaimana mekanisme pembentukan
nilai tukar mata uang di pasar. Nilai tukar itu merupakan kombinasi nilai
akumulasi intrinsik dan ekstrinsik, hukum normatif supply-demand, gabungan unsur rasional dan irasional termasuk
adanya pengaruh para makelar uang. Karena itu, kendati secara volume mata uang
Indonesia 3,59 persen terhadap mata uang dolar AS yang seharusnya Rp 4 per
dolar AS secara normal, namun kini menyentuh Rp 10.800 per dolar AS dan terus
meningkat. Nilai riil mata uang Indonesia hanya 0,01 persen saat ini terhadap
mata uang dolar AS. Titik ekuilibriumnya selalu berubah dengan cepat tergantung
situasi.
Dengan demikian aplikasi rezim devisa bebas itu sendiri
adalah pengakuan sikap irasional nilai tukar mata uang dari pemerintah sendiri.
Konsekuensinya sangat mahal, jika spekulan kaya seperti George Soros berulah
untuk tujuan tertentu sampai hendak mengganti pemerintahan, cukup dengan
menguasai sejumlah dolar AS maka jatuhlah rupiah.
Pasar Potensial
Mata uang negara kini sudah berubah menjadi kekuatan rezim
yang berpengaruh. Saat ini ada 4 mata uang berpengaruh dunia, yakni dolar AS
itu sendiri, yen Jepang, Euro dan yuan China. Negara ASEAN pernah menggagas
hendak membuat mata uang bersama untuk menaikkan martabat ekonomi kawasan.
Kalau melihat kondisi sekarang, penyatuan mata uang bersama ASEAN sudah harus
menjadi urgensi utama.
Kapitalisasi ekonomi 10 negara dalam ASEAN jika digabungkan
memang cukup besar dan akan menjadi sangat diperhitungkan AS. Pada akhir tahun
lalu, nilai PDB ASEAN adalah 2,15 triliun dolar AS. Jika enam negara yang kini
menjadi mitra dagang erat dengan ASEAN, yakni Korea Selatan, Selandia Baru,
Jepang, India, China dan Australia digandeng bersama maka kekuatan PDB ASEAN
ditambah enam negara tersebut adalah 19,81 triliun dolar AS.
Dengan pembentukan uang bersama maka kawasan ASEAN akan
menjadi small open economy (Purwono,
R, 2008) atau wilayah baru yang mandiri secara ekonomi. Dapat menentukan harga
CPO sendiri, memutuskan harga tembakau yang kini ditentukan pasar Bremen,
Jerman, mematok harga gas, harga minyak, harga batu bara sampai harga emas
sendiri. Bahkan, harga kedelai kini ditentukan pasar kartel yang dibentuk oleh
USDA (United States Department of
Agriculture). Kemandirian harga-harga akan diperoleh dibanding sekarang
yang ironisnya setiap harga-harga dikontrol oleh negara lain yang justru tidak
memiliki kapasitas memproduksi.
Dengan keuntungan demografinya, negara-negara ASEAN yang
berjumlah 602,8 juta jiwa adalah pasar bagi negara maju seperti AS dan Eropa.
Jika enam negara mitra dagang ASEAN dapat bergabung maka demografinya melesat
menjadi 3,39 miliar jiwa. Ketika mayoritas barang dan jasa dapat dipenuhi dari
negara sekawasan zona penyatuan mata uang bersama, maka produk AS akhirnya
berangsur-angsur dapat ditinggalkan. Konsekuensinya adalah kebutuhan dolar AS
lambat laun akan berkurang sehingga nilai tukarnya kembali pada tingkat
realistis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar