|
RITUAL
tahunan ibadah haji telah tiba. Umat Islam sedunia menyambutnya dengan perasaan
penuh sukacita. Di mana-mana berkumandanglah Labbaika Allahumma Labbaik.
Bagi umat Islam Indonesia kini,
mendapatkan kesempatan beribadah haji adalah keberuntungan yang besar. Sebab
untuk berhaji harus menunggu sekian lama giliran waktunya, bahkan hingga
puluhan tahun, belum tentu masih hidup pula. Meskipun ada uang, kesehatan dan
kemampuan, kalau belum sampai giliran waktunya, tidaklah bisa langsung
menjalankan ibadah haji.
Makna historik ibadah haji adalah
untuk mengambil hikmah peristiwa kenabian yang berpusat pada episode perjalanan
hidup Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan putra mereka, Nabi Ismail, yang kemudian
menjadi landasan spiritual bagi pembangunan kota Mekkah.
Dimulai dari saat Nabi Ibrahim
menerima firman Tuhan melalui mimpinya untuk ”menyembelih putranya”, kemudian
Nabi Ibrahim mengalami kebimbangan yang dalam untuk memahami firman Tuhan itu.
Melalui pemikiran dan perenungan yang dalam, kebimbangan itu berproses secara
dialektik dan kemudian membentuk pandangan hidup, yaitu trilogi cinta,
kebenaran, dan pengorbanan.
Cinta
dan pengorbanan
Perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim
untuk ”menyembelih” putranya, secara fundamental berlawanan dengan prinsip
kemanusiaan universal. Anak adalah buah cinta kasih dan bermakna bagi
kelangsungan hidup suatu generasi. Karena itu, diperlukan pemaknaan simbolik
dan perintah itu tak berarti harus dilakukan seperti apa adanya.
Dalam konteks mimpi Nabi Ibrahim,
maka Tuhan menggantinya dengan hewan korban seekor domba. Penyembelihan hewan
korban itulah yang sampai saat ini dilakukan sebagai bagian dari ibadah haji
dan secara simbolik seharusnya dapat mendorong peningkatan kepedulian kepada
nasib sesama, dengan bersedia berkorban atas nama cinta dan kebenaran.
Proses pemaknaan terhadap firman
Tuhan diperlukan agar pemahaman manusia terhadap firman Tuhan tidak jatuh pada
formalisme yang sempit dan berlawanan dengan kemanusiaan universal. Fenomena
sosial menunjukkan, pemahaman yang sempit terhadap doktrin keagamaan sering
kali memicu konflik kekerasan. Sejarah pun mencatat kekerasan atas nama agama
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan umat beragama. Nabi Ibrahim adalah pusat
pertemuan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi kekerasan juga terjadi
hingga sekarang dalam kehidupan antarpemeluk Yahudi, Kristen dan Islam meskipun
sama-sama berpusat pada Nabi Ibrahim.
Makna simbolik dalam kisah Nabi
Ibrahim tersebut sesungguhnya hendak menjelaskan makna trilogi cinta, kebenaran
dan pengorbanan. Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan cinta, bahkan manusia
akan mati tanpa rawatan cinta.
Dan, cinta itu harus didasarkan
pada kebenaran untuk memberikan makna pada pengorbanan yang lahir atas nama
cinta itu. Dalam konteks Nabi Ibrahim, trilogi cinta, kebenaran, dan
pengorbanan telah digambarkan secara sempurna, di mana manifestasi cinta yang
menuntut suatu pengorbanan itu didasarkan pada kebenaran Ilahi sebagai suatu
kebenaran yang mutlak dan berlaku sepanjang masa.
Dalam kehidupan yang serba materi
dan pragmatis dewasa ini, terasa semakin sulit seseorang untuk mendapatkan
cinta yang tulus. Cinta adalah sesuatu yang kodrati, yang muncul dan diterima
secara langsung apa adanya. Cinta adalah sesuatu yang otentik dan menjadi salah
satu kebutuhan emosional yang paling mendasar.
Cinta perlu pengorbanan karena
mencintai adalah memberi dan memberi pada dasarnya memerlukan landasan
kebenaran sehingga pengorbanan atas nama cinta tidak boleh melanggar moral dan
prinsip kemanusiaan universal. Atas nama cinta, pengorbanan tidak bisa
diwujudkan dengan kekerasan, perampokan, dan korupsi.
Keluar
dari krisis
Trilogi cinta, kebenaran, dan
pengorbanan yang dipetik dari hikmah perjalanan Nabi Ibrahim sebenarnya dapat
menjadi dasar untuk bisa keluar dari krisis bangsa. Sebagai bangsa yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dan salah satu rukun Islam adalah
menjalankan ibadah haji bagi yang mampu, serta sudah puluhan juta yang
melakukan ibadah haji, maka Indonesia seharusnya dapat memperoleh berkah dari
ibadah haji ini.
Karena itu, sebagai bangsa yang
sedang bergulat melawan krisis, dengan trilogi haji, yaitu cinta, kebenaran dan
pengorbanan dapat menginspirasi bangsa untuk mengatasinya. Kalau mencintai
bangsa dan negara, kita harus bersedia berkorban untuknya. Adapun pengorbanan
kita pada bangsa dan negara harus didasarkan pada kebenaran yang menjadi
landasan hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri, yaitu Pancasila. Oleh
karena itu, dialektika cinta dan Pancasila diharapkan melahirkan pengorbanan
untuk membangun peradaban bangsa lebih maju.
Tanpa dasar cinta yang otentik dan
pengorbanan untuk menghormati perbedaan, maka kebinekaan bangsa tak akan
menjadi rahmat. Ia malah bisa berbalik jadi malapetaka, dengan munculnya
konflik kekerasan yang terjadi di mana-mana. Kesediaan untuk menghargai dan
menghormati adanya perbedaan adalah suatu pengorbanan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pengorbanan itu hanya bisa ditumbuhkan oleh cinta yang otentik
sehingga perbedaan itu jadi proses pengayaan jiwa bangsa.
Bagi bangsa Indonesia, landasan
kebenaran itu adalah Pancasila yang sekarang terasa lemah gaungnya. Trilogi
cinta, kebenaran, dan pengorbanan yang diajarkan dalam ibadah haji harus
diaktualisasikan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu, kita sesungguhnya
memerlukan ”haji” kebangsaan, yaitu mewujudkan trilogi cinta, kebenaran, dan
pengorbanan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
konteks ini, kita perlu meningkatkan kepedulian untuk merawat dan memupuk cinta
pada bangsa dan negara berdasarkan atas kebenaran Pancasila. Hanya dengan cara
itu ia akan dapat melahirkan pengorbanan dan pengabdian kita mengatasi berbagai
masalah dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, untuk membangun kehidupan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang lebih adil, sejahtera dan bermartabat, lebih
berperadaban mulia. Semoga.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar