|
Tidak ada negara yang fondasi dan konstruksinya ditegakkan
tanpa pengorbanan. Tidak hanya pikiran dan harta kekayaan, bahkan banyak di
antaranya yang menuntut pengorbanan jiwa atau nyawa.
Ini terjadi terutama pada negara-negara yang pernah mengalami penjajahan dan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan negara, mereka harus merebutnya dengan perjuangan fisik yang melahirkan semangat kepahlawanan atau heroisme yang kasatmata. Dan, itulah yang terjadi pada Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan. Para pendiri bangsa Indonesia dulu membangun negara-bangsa Indonesia dengan pengorbanan yang sangat besar.
Karena keinginan untuk membangun negara yang berdaulat, adil, dan makmur, mereka tidak pernah takut oleh desingan dan terjangan peluru yang sewaktu-waktu bisa menembus dada mereka yang bisa membuat darah mereka mengalir, bahkan nyawa mereka terlepas dari raga. Di antara prinsip mereka dalam perjuangan merebut kemerdekaan adalah ”hidup mulia atau mati syahid”. Lebih baik mereka mati berkalang tanah daripada harus hidup dalam keadaan terjajah.
Dan dengan perjuangan besar itu, mereka berhasil mengusir bangsa penjajah dan mengantarkan Indonesia kepada kehidupan negara-bangsa yang terbebas, walaupun banyak di antara mereka ”tidak bisa” melihat hasil perjuangan mereka, karena mereka tewas di medan perang, mengorbankan jiwa untuk ibu pertiwi. Dalam suasana merdeka, tidak perlu lagi berjibaku dengan perjuangan fisik yang sangat melelahkan, juga tidak perlu lagi berkorban jiwa. Seharusnya para penyelenggara negara berfokus untuk bekerja mewujudkan janji yang diabadikan dalam pembukaan konstitusi negara tersebut.
Mereka yang sedang berkuasa seharusnya memosisikan diri sebagai para pejuang kemerdekaan yang merebut kekuasaan untuk merealisasikan janji. Dalam keadaan yang sudah normal dan segala bahan baku untuk membangun negara ini tersedia, sesungguhnya untuk membuat negara ini makin maju tidaklah terlalu sulit. Indonesia memiliki segala macam kekayaan alam. Ditambah lagi dengan ketersediaan SDM yang juga sangat mencukupi. Dengan begitu, pasti lebih sulit menjawab pertanyaan tentang apa yang tidak ada di Indonesia.
Yang diperlukan hanyalah keseriusan dalam memberdayakan SDA dan SDM yang ada itu. Namun, faktanya, semakin jauh dari masa kemerdekaan, mayoritas para penyelenggara negara nampaknya makin (me)lupa(kan) dengan amanat fundamental dalam pembukaan konstitusi negara tersebut. Menjadi penyelenggara negara bukan lagi dijadikan sebagai kesempatan untuk bisa berjuang guna mewujudkan janji-janji para pendahulu yang telah memberikan banyak pengorbanan, tetapi sebaliknya dijadikan sebagai kesempatan untuk mengambil kekayaan negara untuk diri sendiri dan juga sering kali kelompok.
Akibatnya, praktik korupsi terjadi di segala lini. Bahkan, lembaga-lembaga negara yang sebelumnya dikenal bersih atau terbebas dari korupsi, di antaranya MK, pun ternyata justru membuat heboh republik, karena elitenya tertangkap tangan oleh KPK sedang praktik suap. Untuk bisa melanjutkan usaha mewujudkan para pejuang dan penyelenggara negara di masa lalu, para penyelenggara negara sekarang tidak perlu melakukan pengorbanan. Kalaupun pengorbanan mereka diperlukan, itu dalam konteks untuk mendapatkan akselerasi kemajuan negara yang sangat tinggi.
Namun, kalau toh itu tidak bisa mereka berikan, Indonesia akan tetap maju dengan akselerasi yang cukup, karena Indonesia memiliki segala potensi yang diperlukan untuk membiayai kemajuan negara. Yang terpenting adalah para penyelenggara negara bekerja sesuai dengan gaji yang mereka terima. Jangan sampai mereka menerima gaji dengan besaran yang melebihi beban kerja yang mereka lakukan. Namun, justru sekarang hal itulah yang terjadi, sehingga negara mengalami defisit.
Pasalnya, negara harus membayar para pegawai dengan kinerja yang kurang dari yang seharusnya didedikasikan, karena berkinerja di bawah standar. Saat ini bisa dikatakan bahwa tidak ditemukan lagi pejabat yang mengalami penurunan jumlah harta kekayaan setelah menjabat. Yang terjadi adalah sebaliknya, semuanya mengalami peningkatan jumlah harta kekayaan setelah menjabat. Sesungguhnya ini tetap dianggap sebagai sesuatu yang wajar, asalkan jumlahnya sesuai dengan besaran gaji yang diterima setiap bulan.
Namun, tidak sedikit yang mengalami peningkatan jumlah harta kekayaan dengan besaran yang sangat fantastik. Bahkan, pejabat-pejabat di level bawah pun bisa memiliki rekening gendut. Dengan menggunakan asumsi bahwa yang terlihat hanyalah ”fenomena gunung es”, pelaku korupsi di kalangan penyelenggara negara sesungguhnya lebih banyak yang belum terekspos dan tertangani oleh para penegak hukum.
Bahkan, banyak sekali aparat penegak hukum sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari itu. Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan penyebab korupsi. Namun, satu penyebab yang pasti adalah kecenderungan untuk hidup bermewah-mewah. Kebiasaan hidup dimanjakan oleh fasilitas negara, diakui atau tidak telah mengubah gaya hidup mereka menjadi hedonis. Gaya hidup baru itu kemudian mengubah karakter sebagian mereka yang sebelumnya merupakan pribadi-pribadi yang sederhana kemudian menjadi para penumpuk harta seolah mereka akan hidup selamanya atau setidaknya seribu tahun lagi.
Harta kekayaan yang mereka dapatkan dengan cara korupsi, mereka gunakan untuk mendapatkan barang-barang mewah, juga tidak sedikit yang menggunakannya untuk kesenangan seksual. Akhirnya, diperlukan penyelenggara-penyelenggara negara yang mau menjadi penyelenggara bukan karena memburu harta kekayaan, melainkan karena ingin membangun negara, bahkan juga mau menggunakan harta kekayaan pribadi dan keluarganya untuk itu, bukan sebaliknya. Namun jika itu tidak mereka lakukan, cukuplah mereka tidak korupsi saja.
Dengan begitu pun, Indonesia pasti akan maju dengan akseleratif. Dan jika yang menjadi pemimpin dan penyelenggara negara ini adalah para pejuang yang mau dan berani mengorbankan harta dan jiwa mereka, akselerasi yang terjadi pasti akan lebih tinggi lagi. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Ini terjadi terutama pada negara-negara yang pernah mengalami penjajahan dan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatan negara, mereka harus merebutnya dengan perjuangan fisik yang melahirkan semangat kepahlawanan atau heroisme yang kasatmata. Dan, itulah yang terjadi pada Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan. Para pendiri bangsa Indonesia dulu membangun negara-bangsa Indonesia dengan pengorbanan yang sangat besar.
Karena keinginan untuk membangun negara yang berdaulat, adil, dan makmur, mereka tidak pernah takut oleh desingan dan terjangan peluru yang sewaktu-waktu bisa menembus dada mereka yang bisa membuat darah mereka mengalir, bahkan nyawa mereka terlepas dari raga. Di antara prinsip mereka dalam perjuangan merebut kemerdekaan adalah ”hidup mulia atau mati syahid”. Lebih baik mereka mati berkalang tanah daripada harus hidup dalam keadaan terjajah.
Dan dengan perjuangan besar itu, mereka berhasil mengusir bangsa penjajah dan mengantarkan Indonesia kepada kehidupan negara-bangsa yang terbebas, walaupun banyak di antara mereka ”tidak bisa” melihat hasil perjuangan mereka, karena mereka tewas di medan perang, mengorbankan jiwa untuk ibu pertiwi. Dalam suasana merdeka, tidak perlu lagi berjibaku dengan perjuangan fisik yang sangat melelahkan, juga tidak perlu lagi berkorban jiwa. Seharusnya para penyelenggara negara berfokus untuk bekerja mewujudkan janji yang diabadikan dalam pembukaan konstitusi negara tersebut.
Mereka yang sedang berkuasa seharusnya memosisikan diri sebagai para pejuang kemerdekaan yang merebut kekuasaan untuk merealisasikan janji. Dalam keadaan yang sudah normal dan segala bahan baku untuk membangun negara ini tersedia, sesungguhnya untuk membuat negara ini makin maju tidaklah terlalu sulit. Indonesia memiliki segala macam kekayaan alam. Ditambah lagi dengan ketersediaan SDM yang juga sangat mencukupi. Dengan begitu, pasti lebih sulit menjawab pertanyaan tentang apa yang tidak ada di Indonesia.
Yang diperlukan hanyalah keseriusan dalam memberdayakan SDA dan SDM yang ada itu. Namun, faktanya, semakin jauh dari masa kemerdekaan, mayoritas para penyelenggara negara nampaknya makin (me)lupa(kan) dengan amanat fundamental dalam pembukaan konstitusi negara tersebut. Menjadi penyelenggara negara bukan lagi dijadikan sebagai kesempatan untuk bisa berjuang guna mewujudkan janji-janji para pendahulu yang telah memberikan banyak pengorbanan, tetapi sebaliknya dijadikan sebagai kesempatan untuk mengambil kekayaan negara untuk diri sendiri dan juga sering kali kelompok.
Akibatnya, praktik korupsi terjadi di segala lini. Bahkan, lembaga-lembaga negara yang sebelumnya dikenal bersih atau terbebas dari korupsi, di antaranya MK, pun ternyata justru membuat heboh republik, karena elitenya tertangkap tangan oleh KPK sedang praktik suap. Untuk bisa melanjutkan usaha mewujudkan para pejuang dan penyelenggara negara di masa lalu, para penyelenggara negara sekarang tidak perlu melakukan pengorbanan. Kalaupun pengorbanan mereka diperlukan, itu dalam konteks untuk mendapatkan akselerasi kemajuan negara yang sangat tinggi.
Namun, kalau toh itu tidak bisa mereka berikan, Indonesia akan tetap maju dengan akselerasi yang cukup, karena Indonesia memiliki segala potensi yang diperlukan untuk membiayai kemajuan negara. Yang terpenting adalah para penyelenggara negara bekerja sesuai dengan gaji yang mereka terima. Jangan sampai mereka menerima gaji dengan besaran yang melebihi beban kerja yang mereka lakukan. Namun, justru sekarang hal itulah yang terjadi, sehingga negara mengalami defisit.
Pasalnya, negara harus membayar para pegawai dengan kinerja yang kurang dari yang seharusnya didedikasikan, karena berkinerja di bawah standar. Saat ini bisa dikatakan bahwa tidak ditemukan lagi pejabat yang mengalami penurunan jumlah harta kekayaan setelah menjabat. Yang terjadi adalah sebaliknya, semuanya mengalami peningkatan jumlah harta kekayaan setelah menjabat. Sesungguhnya ini tetap dianggap sebagai sesuatu yang wajar, asalkan jumlahnya sesuai dengan besaran gaji yang diterima setiap bulan.
Namun, tidak sedikit yang mengalami peningkatan jumlah harta kekayaan dengan besaran yang sangat fantastik. Bahkan, pejabat-pejabat di level bawah pun bisa memiliki rekening gendut. Dengan menggunakan asumsi bahwa yang terlihat hanyalah ”fenomena gunung es”, pelaku korupsi di kalangan penyelenggara negara sesungguhnya lebih banyak yang belum terekspos dan tertangani oleh para penegak hukum.
Bahkan, banyak sekali aparat penegak hukum sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari itu. Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan penyebab korupsi. Namun, satu penyebab yang pasti adalah kecenderungan untuk hidup bermewah-mewah. Kebiasaan hidup dimanjakan oleh fasilitas negara, diakui atau tidak telah mengubah gaya hidup mereka menjadi hedonis. Gaya hidup baru itu kemudian mengubah karakter sebagian mereka yang sebelumnya merupakan pribadi-pribadi yang sederhana kemudian menjadi para penumpuk harta seolah mereka akan hidup selamanya atau setidaknya seribu tahun lagi.
Harta kekayaan yang mereka dapatkan dengan cara korupsi, mereka gunakan untuk mendapatkan barang-barang mewah, juga tidak sedikit yang menggunakannya untuk kesenangan seksual. Akhirnya, diperlukan penyelenggara-penyelenggara negara yang mau menjadi penyelenggara bukan karena memburu harta kekayaan, melainkan karena ingin membangun negara, bahkan juga mau menggunakan harta kekayaan pribadi dan keluarganya untuk itu, bukan sebaliknya. Namun jika itu tidak mereka lakukan, cukuplah mereka tidak korupsi saja.
Dengan begitu pun, Indonesia pasti akan maju dengan akseleratif. Dan jika yang menjadi pemimpin dan penyelenggara negara ini adalah para pejuang yang mau dan berani mengorbankan harta dan jiwa mereka, akselerasi yang terjadi pasti akan lebih tinggi lagi. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar