|
HEADLINE Jawa Pos edisi kemarin (21/10) bertajuk
Menkeu: Impor Penting menarik dicermati. Lanjutan statemen Menkeu Chatib Basri
adalah defisit transaksi berjalan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Mungkin statemen itu bisa membingungkan. Defisit kok untuk menjaga pertumbuhan
ekonomi.
Sebagaimana diketahui, defisit transaksi berjalan (current account deficit) adalah kondisi ketika sebuah negara mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada mengekspor. Surplus transaksi berjalan adalah sebaliknya. Tentu suatu negara lebih bagus mengekspor banyak barang dan jasa daripada mengimpornya.
Jadi, Menkeu salah? Belum tentu.
Inti pertumbuhan ekonomi adalah mengukur persentase pertumbuhan tahunan produk domestik bruto (PDB) yang hampir selalu disesuaikan dengan efek inflasi. Ada dua bentuk PDB, yakni riil dan nominal.
PDB riil adalah nilai total semua barang dan jasa yang diproduksi dalam batas-batas ekonomi-politik selama periode waktu tertentu, biasanya setahun, yang diukur menurut harga pada tahun lain (disebut harga dasar atau harga konstan). PDB riil juga disebut produk domestik bruto konstan atau produk domestik bruto yang disesuaikan inflasi.
Sementara itu, PDB nominal adalah PDB yang diukur dalam rupiah saat ini. Bandingkan, misalnya, harga 1 kilogram gula pasir pada 1991 dengan harga sekarang tentu sangat berbeda. Sebab, harga sekarang terkena dampak inflasi. Itulah kira-kira perbandingannya.
Lalu, apa hubungan defisit transaksi berjalan dengan pertumbuhan ekonomi? Intinya, Menkeu menyatakan bisa membuat pajak yang lebih tinggi untuk barang impor sehingga harapan impor turun dan transaksi berjalan positif. Di sisi lain, dengan tidak mengenakan bea impor barang dasar modal dan barang dasar, industri akan tetap bergerak. Kalau industri tetap bergerak, pertumbuhan terus berlangung.
Jadi, logika Menkeu dapat diterima. Fakta membuktikan, kebutuhan industri untuk pendorong ekspor juga tinggi.
Namun, perlu diselidiki lebih jauh apa sebenarnya yang membuat ''nilai impor sangat tinggi''. Defisit harus dilihat dari sumbernya, yakni ''masalah'' yang lebih serius.
Masalah berbeda dengan risiko. Masalah adalah sesuatu yang telah terjadi. Risiko merupakan suatu kemungkinan yang akan terjadi dan berdampak negatif. Menaikkan bea masuk impor itu masih merupakan risiko. Sebab, bisa saja menaikkan bea impor, tapi hasilnya ekspor masih lebih baik.
Masalah itu pasti menjadi penyakit menahun, yang semakin hari semakin besar dan membebani anak cucu di kemudian hari. Menurut pendapat saya, impor BBM dan subsidinya adalah masalah. Dapat dilihat, harga BBM naik pun, masyarakat masih (terpaksa) membeli. Sebab, transportasi umum tidak memadai. Infrastruktur masih sangat kurang.
Repotnya, kenaikan harga BBM terlambat pula dilakukan. Semestinya sejak akhir 2011 atau awal 2012 harga BBM dinaikkan untuk mengimbangi defisit transaksi berjalan. Sebab, nilai ekspor Indonesia mulai turun dengan menurunnya harga komoditas ekspor. Volume ekspor ditambah pun tidak akan menutup kelebihan impor.
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan memiliki kebutuhan belanja sebulan Rp 15.000.000 atau setara USD 1.500. Untuk menutup kebutuhannya, perusahaan itu biasa menjual satu ton komoditas berharga USD 1,6/kg yang akan mendapat USD 1.600. Kurs yang berlaku saat itu Rp 10.000 per USD sehingga surplus transaksi berjalan perusahaan tersebut USD 100.
Saat harga komoditas menurun menjadi USD 1/kg, yang didapat USD 1.000 atau Rp 10.000.000 saja. Untuk mendapat USD 1.600, dibutuhkan penjualan 1,6 ton. Masalahnya, pada saat yang sama, permintaan bukannya naik, namun justru turun. Misalnya, tinggal 0,8 ton sehingga yang didapat hanya 0,8 ton dikalikan USD 1 atau USD 800. Kondisi itu mengakibatkan transaksi berjalan minus USD 800.
Masalah belum akan berakhir karena nilai rupiah menurun dari Rp 10.000 menjadi Rp 11.000 per USD ditambah kenaikan gaji karyawan (mirip subsidi BBM). Namun, agar perusahaan berjalan dan ada pertumbuhan, semua harus dijaga. Lengkap sudah penderitaan perusahaan ini.
Biasanya, mengatasinya adalah dengan utang. Pinjaman dalam kondisi perusahaan seperti itu membuat bunga tinggi. Pinjaman tersebut perlu dilakukan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan dan menjaga kestabilan perusahaan. Itulah gambaran sederhana hubungan defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan.
Masalah lain yang menjadi hantu semua negara adalah melemahnya perekonomian dunia. Sumbernya Amerika Serikat. Ada sebagian pihak yang berpendapat secara umum, ''USA exports USD, not commodities''. Perekonomian AS sedang goyah karena hasil ekspornya juga lebih rendah daripada impor. Untuk menggerakkan perekonomian, AS membuat kebijakan seperti quantitative easing senilai USD 85 miliar per bulan. Ternyata, uang mengalir ke negara lain, termasuk emerging market.
Akhirnya, dilanjutkan tapering dengan mengurangi menjadi USD 60 miliar per bulan. Uang dari emerging market, termasuk Indonesia, tersedot. Akibatnya, cadangan devisa Indonesia menyusut karena hot money keluar, rupiah pun melemah.
Yang terbaru, AS sempat melakukan shutdown layanan publik karena konflik anggaran. Kekurangan anggaran AS pasti ditutup dengan utang. Hampir semua negara di dunia meriang gemetar karena kondisi AS. Kalau sampai deadlock, demand AS sebagai pasar ekspor akan turun tajam.
Dalam dunia keuangan riil, seandainya perusahaan, AS itu sudah defisit, tapi ditutup utang. Sayangnya, dunia keuangan ''konvensional'' berpendapat, perusahaan yang banyak utangnya justru bernilai lebih tinggi. Struktur keuangan yang mengandalkan utang akan membuat nilai perusahaan lebih tinggi. Namun, dengan asumsi, sampai titik tertentu akan menjadi bangkrut setelah masuk perangkap financial distress. Masalahnya, hal tersebut tidak akan berlaku bagi AS. Lihat saja bagaimana kuatnya USD.
Tetapi, akan berbeda bagi negara lain, apalagi Indonesia. Struktur keuangan dan struktur modal pemerintah Indonesia akan rapuh dalam jangka panjang kalau tidak mampu menyelesaikan ''sumber masalah defisit transaksi berjalan''. Utang dan cicilan pemerintah akan semakin besar kalau tetap mempertahan ''sumber masalah defisit transaksi berjalan'' itu. ●
Sebagaimana diketahui, defisit transaksi berjalan (current account deficit) adalah kondisi ketika sebuah negara mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada mengekspor. Surplus transaksi berjalan adalah sebaliknya. Tentu suatu negara lebih bagus mengekspor banyak barang dan jasa daripada mengimpornya.
Jadi, Menkeu salah? Belum tentu.
Inti pertumbuhan ekonomi adalah mengukur persentase pertumbuhan tahunan produk domestik bruto (PDB) yang hampir selalu disesuaikan dengan efek inflasi. Ada dua bentuk PDB, yakni riil dan nominal.
PDB riil adalah nilai total semua barang dan jasa yang diproduksi dalam batas-batas ekonomi-politik selama periode waktu tertentu, biasanya setahun, yang diukur menurut harga pada tahun lain (disebut harga dasar atau harga konstan). PDB riil juga disebut produk domestik bruto konstan atau produk domestik bruto yang disesuaikan inflasi.
Sementara itu, PDB nominal adalah PDB yang diukur dalam rupiah saat ini. Bandingkan, misalnya, harga 1 kilogram gula pasir pada 1991 dengan harga sekarang tentu sangat berbeda. Sebab, harga sekarang terkena dampak inflasi. Itulah kira-kira perbandingannya.
Lalu, apa hubungan defisit transaksi berjalan dengan pertumbuhan ekonomi? Intinya, Menkeu menyatakan bisa membuat pajak yang lebih tinggi untuk barang impor sehingga harapan impor turun dan transaksi berjalan positif. Di sisi lain, dengan tidak mengenakan bea impor barang dasar modal dan barang dasar, industri akan tetap bergerak. Kalau industri tetap bergerak, pertumbuhan terus berlangung.
Jadi, logika Menkeu dapat diterima. Fakta membuktikan, kebutuhan industri untuk pendorong ekspor juga tinggi.
Namun, perlu diselidiki lebih jauh apa sebenarnya yang membuat ''nilai impor sangat tinggi''. Defisit harus dilihat dari sumbernya, yakni ''masalah'' yang lebih serius.
Masalah berbeda dengan risiko. Masalah adalah sesuatu yang telah terjadi. Risiko merupakan suatu kemungkinan yang akan terjadi dan berdampak negatif. Menaikkan bea masuk impor itu masih merupakan risiko. Sebab, bisa saja menaikkan bea impor, tapi hasilnya ekspor masih lebih baik.
Masalah itu pasti menjadi penyakit menahun, yang semakin hari semakin besar dan membebani anak cucu di kemudian hari. Menurut pendapat saya, impor BBM dan subsidinya adalah masalah. Dapat dilihat, harga BBM naik pun, masyarakat masih (terpaksa) membeli. Sebab, transportasi umum tidak memadai. Infrastruktur masih sangat kurang.
Repotnya, kenaikan harga BBM terlambat pula dilakukan. Semestinya sejak akhir 2011 atau awal 2012 harga BBM dinaikkan untuk mengimbangi defisit transaksi berjalan. Sebab, nilai ekspor Indonesia mulai turun dengan menurunnya harga komoditas ekspor. Volume ekspor ditambah pun tidak akan menutup kelebihan impor.
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan memiliki kebutuhan belanja sebulan Rp 15.000.000 atau setara USD 1.500. Untuk menutup kebutuhannya, perusahaan itu biasa menjual satu ton komoditas berharga USD 1,6/kg yang akan mendapat USD 1.600. Kurs yang berlaku saat itu Rp 10.000 per USD sehingga surplus transaksi berjalan perusahaan tersebut USD 100.
Saat harga komoditas menurun menjadi USD 1/kg, yang didapat USD 1.000 atau Rp 10.000.000 saja. Untuk mendapat USD 1.600, dibutuhkan penjualan 1,6 ton. Masalahnya, pada saat yang sama, permintaan bukannya naik, namun justru turun. Misalnya, tinggal 0,8 ton sehingga yang didapat hanya 0,8 ton dikalikan USD 1 atau USD 800. Kondisi itu mengakibatkan transaksi berjalan minus USD 800.
Masalah belum akan berakhir karena nilai rupiah menurun dari Rp 10.000 menjadi Rp 11.000 per USD ditambah kenaikan gaji karyawan (mirip subsidi BBM). Namun, agar perusahaan berjalan dan ada pertumbuhan, semua harus dijaga. Lengkap sudah penderitaan perusahaan ini.
Biasanya, mengatasinya adalah dengan utang. Pinjaman dalam kondisi perusahaan seperti itu membuat bunga tinggi. Pinjaman tersebut perlu dilakukan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan dan menjaga kestabilan perusahaan. Itulah gambaran sederhana hubungan defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan.
Masalah lain yang menjadi hantu semua negara adalah melemahnya perekonomian dunia. Sumbernya Amerika Serikat. Ada sebagian pihak yang berpendapat secara umum, ''USA exports USD, not commodities''. Perekonomian AS sedang goyah karena hasil ekspornya juga lebih rendah daripada impor. Untuk menggerakkan perekonomian, AS membuat kebijakan seperti quantitative easing senilai USD 85 miliar per bulan. Ternyata, uang mengalir ke negara lain, termasuk emerging market.
Akhirnya, dilanjutkan tapering dengan mengurangi menjadi USD 60 miliar per bulan. Uang dari emerging market, termasuk Indonesia, tersedot. Akibatnya, cadangan devisa Indonesia menyusut karena hot money keluar, rupiah pun melemah.
Yang terbaru, AS sempat melakukan shutdown layanan publik karena konflik anggaran. Kekurangan anggaran AS pasti ditutup dengan utang. Hampir semua negara di dunia meriang gemetar karena kondisi AS. Kalau sampai deadlock, demand AS sebagai pasar ekspor akan turun tajam.
Dalam dunia keuangan riil, seandainya perusahaan, AS itu sudah defisit, tapi ditutup utang. Sayangnya, dunia keuangan ''konvensional'' berpendapat, perusahaan yang banyak utangnya justru bernilai lebih tinggi. Struktur keuangan yang mengandalkan utang akan membuat nilai perusahaan lebih tinggi. Namun, dengan asumsi, sampai titik tertentu akan menjadi bangkrut setelah masuk perangkap financial distress. Masalahnya, hal tersebut tidak akan berlaku bagi AS. Lihat saja bagaimana kuatnya USD.
Tetapi, akan berbeda bagi negara lain, apalagi Indonesia. Struktur keuangan dan struktur modal pemerintah Indonesia akan rapuh dalam jangka panjang kalau tidak mampu menyelesaikan ''sumber masalah defisit transaksi berjalan''. Utang dan cicilan pemerintah akan semakin besar kalau tetap mempertahan ''sumber masalah defisit transaksi berjalan'' itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar