Jumat, 18 Oktober 2013

Simbolisme Kurban

Simbolisme Kurban
Aziz Syafiuddin  ;  PNS di Biro Informasi dan Persidangan Kemenko Kesra RI
SUARA KARYA, 16 Oktober 2013


Dari sebuah peristiwa historis dan heroik, kita telah mengenal kurban sebagai perintah Allah SWT yang cukup tua. Ia hadir juga secara filosofis sebagai bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya, kesabaran, dan pengujian iman. Namun, makna tersebut belum seluruhnya menjadi pemahaman masyarakat secara umum. Seringkali orang justru memahami ibadah rutin ini berhenti pada kebiasaan semata, atau pencapaian kesalehan pribadi, sementara unsur kesalehan yang lebih besar menjadi terlupakan. Apa itu kesalehan yang lebih besar? Tentu, kesalehan yang memiliki daya jangkau dan daya tangkap lebih luas, lebih dari sekadar unjuk ketaatan pribadi di mata Tuhan. Meminjam bahasa Mohammad Sobary (Kesalehan Sosial, LKiS, 2007) ada dua jenis kesalehan yang sering dipahami dalam Islam, yaitu kesalehan individu dan kesalehan sosial.

Kesalehan individu terlihat dari keseriusan seseorang dalam menjalankan ibadah keagamaan yang bersifat individual seperti shalat, zikir, wiridan, haji. Sementara kesalehan sosial adalah semua jenis kebajikan yang ditujukan kepada (kemanfaatan) manusia, misalnya, bekerja untuk memperoleh nafkah bagi keluarga. Dalam bahasa Sobary lainnya, kesalehan adalah orang yang menyeimbangkan ushalli (shalat) dengan usaha.

Secara etimologis, kurban diartikan sebagai pendekatan atau mendekatkan. Sedangkan secara terminologis adalah penyerahan diri kepada Allah SWT demi mencapai derajat keridlaan-Nya. Dasar ibadah kurban telah termaktub dalam Al-Qur'an, "Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah..." (QS. Al Kautsar: 1-2). Merunut sejarah, kita mengenal ibadah kurban sebagai perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS (melalui mimpi yang berulang-ulang sampai tiga kali) agar menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. "Wahai, Anakku!" Ibrahim berkata pada Ismail, "Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkan apa pendapatmu!" (QS Ash-Shaaffat: 102).

Akhir cerita, Tuhan menggantikan Ismail dengan seekor gibas (domba) untuk dikorbankan. Kemudian, dalam konteks keagamaan (baca: fiqih), kurban diwujudkan dengan menyembelih hewan tertentu saat tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dan kemudian dagingnya dibagikan kepada orang lain untuk dimanfaatkan dalam keadaan belum dimasak.

Di sinilah relasi hamba dan Tuhannya terjalin lewat makna pendekatan diri paling puncak (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Ini jelas sesuai dengan logika bahasa kurban, yang berasal dari Qaraba dengan bentuk isim mashdar 'qurbanan', yang berarti dekat. Karena itu, tujuan berkurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah).

Sementara dalam hubungan sesama manusia (horizontal), ritual yang telah berusia cukup tua ini mengajarkan manusia untuk saling berbagi, merontokkan sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, serakah, dan bathil dalam kehidupan sosial. Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat dermawan, peduli, saling menolong, dan berkasih sayang terhadap orang lain. Namun pertanyaannya, benarkah semangat ritualitas kurban betul-betul mendarah daging dalam nurani dan jiwa kita? Jangan-jangan, peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di sekitar kita betul-betul menjawab pertanyaan tersebut, di mana sifat kikir, tamak, serakah, dan perilaku korup justru bertambah menjadi penyakit yang akut.

Ketamakan terhadap harta dan kebendaaan yang bersifat materi semakin menjadi cermin kehidupan sebagian orang. Sehingga idealitas ibadah kurban semakin jauh dari harapan. Jika kemudian mereka membalas kerakusan harta itu dengan mendermakan harta mereka, hanya untuk menutupi sifat korup-nya dengan sikap berkorban atas harta yang dimilikinya. Mencermati realitas tersebut, penulis merujuk pada pemikiran budayawan Ahmad Tohari yang dalam tulisannya mengutip Almarhum Cak Nur bahwa keberagamaan kita masih sangat didominasi oleh penghayatan simbolistik tak terkecuali terhadap ritus pemotongan hewan kurban. Jelasnya, ritus ini yang seharusnya dihayati hanya sebagai simbol, malah dianggap sebagai makna alias tujuan. Maka ketika orang sudah menjalankan perintah potong hewan kurban, selesailah semuanya. Karena menganggap sebagai tujuan, dia tidak merasa perlu mencari makna yang tersembunyi di balik simbol potong hewan kurban itu.

"Tidak ada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (menyembelih hewan kurban). Maka berbahagialah kamu karenanya." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Dengan demikian, berkurban adalah salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah SWT sebagaimana hadits di atas. Cinta dalam hal ini tentu membutuhkan bukti dan pengorbanan. Allah SWT berfirman, "...adapun orang yang beriman, maka ia sangat cinta kepada Allah..."(QS. Al Baqarah 165). Jadi, kurban yang makna dasarnya persembahan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) itu merupakan upaya kita untuk menggapai kasih sayang-Nya.

Sampai di sini, kurban tentu tidak berhenti pada ritualitas penyembelihan daging hewan yang kemudian dibagikan kepada orang lain. Status "Ismail" saat itu adalah anak Ibrahim yang diperintahkan untuk disembelih. Namun saat ini "Ismail-Ismail" itu ada pada wujud kepemilikan jabatan, kedudukan, harta, harga diri, profesi, termasuk mental keserakahan dan korup yang menguasai manusia. Kiasan "Ismail" bisa jadi merupakan perilaku yang seringkali menutup mata hati manusia, membutakan mata dan pikiran mereka terhadap hidayah dari Allah SWT. Oleh karenanya, kehadiran kurban (Idul Adha) ini penting dalam melihat seberapa jauh kita telah mengorbankan "Ismail" demi mempertahankan nilai-nilai keilahian. Bukankah itu sebenar-benarnya Kurban? Wallahua'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar