|
Negeri ini semakin hari semakin gaduh.
Drama adu kuat antarkelompok politik dalam mengangkangi hukum semakin
menjadi-jadi. Setelah pengawal konstitusi lumpuh tanpa kepala, kini presiden
terusik oleh satu nama semata. Meminjam istilah Jurgen Habermas, maka publicsphere, alias ruang publik yang
selama ini dinikmati secara bebas oleh rakyat, terampas secara semena-mena.
Ruang publik yang semestinya dipakai untuk mengalirkan demokrasi secara jernih,
menjadi lumpur yang membuat keruh. Ia menjadi lemah tanpa pegangan, tanpa
kekuatan untuk menggemakan nilai.
Rakyat kemudian dipaksa untuk percaya bahwa keadilan hanya berada pada ruang-ruang diktat kuliah, pada teori-teori lama, dan bahkan pada lembaran kitab suci. Rakyat dipaksa paham bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa. Dus, pada akhirnya pasrah, dan menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik Keadilan, Tuhan. Jika rakyat sudah pasrah, maka kekhawatiran akan ketidakpercayaan terhadap negara semakin menguat.
Maka penting kiranya untuk mengembalikan ruang publik ini sebagaimana mestinya. Sebagaimana fungsi dan hakikatnya semula. Sebagai wahana, sarana, dan alat untuk mengalirkan konstruksi nilai, tentang makna dan hakikat demokrasi secara jernih. Pertanyaannya kemudian, kapan dan siapa yang harus memulainya?
Momentum Idul Adha
Hari ini bertepatan dengan Idul Adha 1434 Hijriyah. Hari raya umat Islam yang dilatari oleh kisah dua orang. Ayah dan anak. Ibrahim alaihissalam dan Ismailalaihissalam. Kisah keduanya ditutur oleh Kitab Suci Alquran, di mana sang ayah diminta Tuhannya untuk menyembelih anaknya sendiri. Tampak tidak masuk akal. Begitulah Tuhan. Kadang perintahnya hanya bisa dicerna oleh keimanan semata, dogmatis. Tapi, hikmahnya bakal selalu mengikuti.
Ranah hikmah memang selalu dikembangkan oleh penerus-penerusnya. Ditutur secara turun-temurun, ditafsir ulang, dan direkonstruksi sesuai jamannya.
Idul Qurban – ada yang menyebutnya begitu—merupakan simbol kesediaan mengorbankan apapun untuk sesuatu yang diyakini. Ibrahimas. yakin, bahwa ‘bisikan’ dalam mimpinya adalah firman Tuhan, pun begitu dengan Ismailas, yang yakin atas bisikan dalam mimpi ayahnya tersebut. Keduanya yakin. Untuk itu keduanya siap berkorban.
Bob Lee Swagger, seorang tokoh dalam film penembak jitu ‘Shooter’ digambarkan sebagai sosok yang patriotik. Ia satu dari sedikit orang yang mampu menembak koin dari jarak satu mil dengan tepat. Namun keyakinannya terhadap nilai-nilai patriotisme itu runtuh ketika ia ditinggal oleh pasukan negerinya sendiri di sebuah kawasan perang di Afrika, di mana pengarahnya, yang juga sahabatnya, Donnie, tewas. Keyakinannya atas nasionalisme, seketika runtuh. Kemudian Swagger tak lagi percaya pada negara.
Dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki Swagger, bisa jadi negara merugi, karena telah kehilangan sosok penembak jitu andalan. Dan bisa dibayangkan bilamana masifitas warga negara yang punya potensi dalam bidangnya masing-masing, harus rela ‘menyingkir’, menjadi warga sementara negara asing, misalnya. Serta orang-orang yang duduk di podium terhormat negeri ini adalah para bromocorah berdasi. Maka mengembalikan keyakinan rakyat, menjadi urgen untuk secepatnya dilakukan.
Melakukan rekayasa sosial kadang memang harus didahului oleh momentum. Dan Idul Adha ini merupakan salah satu dari sekian banyak momentum yang disediakan oleh Tuhan. Momentum Idul Adha adalah soal ajaran Ilahiah untuk mengorbankan apapun yang dicintai layaknya Ibrahim As, memenggal sifat-sifat hewani yang disimbolkan dengan penyembelihan hewan kurban, dan melanggengkan sikap egaliter sebagaimana para jemaah haji.
Dan konstruksi Idul Adha pada panggung negara menjadi keniscayaan, manakala ruang publik hanya terisi oleh kegaduhan belaka. Para pelaku kegaduhan, dan siapapun yang menjadibackup-nya harus mengorbankan diri untuk tidak tampil, untuk tidak lagi populer sementara waktu. Saatnya para begawan di bidangnya didorong dan dibiarkan masing-masing untuk tampil dan memberi pencerahan kepada rakyat. Mereka bisa siapapun saja, dan berasal dari mana saja. Kelak mereka yang harus menajamkan kembali nilai-nilai yang sempat tumpul. Kelak mereka yang harus menjernihkan kembali arus demokrasi yang sempat keruh akibat lumpur-lumpur politik kotor. Dan merekalah yang diampu untuk mengembalikan keyakinan rakyat akan tujuan negara.
Jalan itu memang terlalu melangit. Karena, mencari sosok yang bebas kepentingan pada hari ini bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi dilakukan secara serentak dan pada waktu yang bersamaan. Namun tak ada yang tidak bisa dilakukan.
Jika pada hari ini, ruang publik tak seideal yang didamba. Maka, mengembalikan diskursus yang terjadi pada ruang-ruang tersebut pada ranah nilai dan etika, menjadi satu kewajiban. Maka dibutuhkan satu introspeksi besar atas diri sendiri, sudah sejauh mana sikap hewani musnah dan berganti dengan sifat-sifat ilahiah yang penuh welas asih. Kemudian sampai mana pengorbanan kita untuk melepaskan egoisme pribadi dan kelompok untuk kepentingan yang lebih luas. Serta sikap egaliter dibutuhkan untuk menerima masukan dari siapapun. Dus, jika semua itu bisa dilakukan pada diri sendiri, yakinkan bahwa negara bisa lebih baik dari hari ini.
Selamat Idul Adha 1434 Hijriyah. ●
Rakyat kemudian dipaksa untuk percaya bahwa keadilan hanya berada pada ruang-ruang diktat kuliah, pada teori-teori lama, dan bahkan pada lembaran kitab suci. Rakyat dipaksa paham bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa. Dus, pada akhirnya pasrah, dan menyerahkan semuanya pada Sang Pemilik Keadilan, Tuhan. Jika rakyat sudah pasrah, maka kekhawatiran akan ketidakpercayaan terhadap negara semakin menguat.
Maka penting kiranya untuk mengembalikan ruang publik ini sebagaimana mestinya. Sebagaimana fungsi dan hakikatnya semula. Sebagai wahana, sarana, dan alat untuk mengalirkan konstruksi nilai, tentang makna dan hakikat demokrasi secara jernih. Pertanyaannya kemudian, kapan dan siapa yang harus memulainya?
Momentum Idul Adha
Hari ini bertepatan dengan Idul Adha 1434 Hijriyah. Hari raya umat Islam yang dilatari oleh kisah dua orang. Ayah dan anak. Ibrahim alaihissalam dan Ismailalaihissalam. Kisah keduanya ditutur oleh Kitab Suci Alquran, di mana sang ayah diminta Tuhannya untuk menyembelih anaknya sendiri. Tampak tidak masuk akal. Begitulah Tuhan. Kadang perintahnya hanya bisa dicerna oleh keimanan semata, dogmatis. Tapi, hikmahnya bakal selalu mengikuti.
Ranah hikmah memang selalu dikembangkan oleh penerus-penerusnya. Ditutur secara turun-temurun, ditafsir ulang, dan direkonstruksi sesuai jamannya.
Idul Qurban – ada yang menyebutnya begitu—merupakan simbol kesediaan mengorbankan apapun untuk sesuatu yang diyakini. Ibrahimas. yakin, bahwa ‘bisikan’ dalam mimpinya adalah firman Tuhan, pun begitu dengan Ismailas, yang yakin atas bisikan dalam mimpi ayahnya tersebut. Keduanya yakin. Untuk itu keduanya siap berkorban.
Bob Lee Swagger, seorang tokoh dalam film penembak jitu ‘Shooter’ digambarkan sebagai sosok yang patriotik. Ia satu dari sedikit orang yang mampu menembak koin dari jarak satu mil dengan tepat. Namun keyakinannya terhadap nilai-nilai patriotisme itu runtuh ketika ia ditinggal oleh pasukan negerinya sendiri di sebuah kawasan perang di Afrika, di mana pengarahnya, yang juga sahabatnya, Donnie, tewas. Keyakinannya atas nasionalisme, seketika runtuh. Kemudian Swagger tak lagi percaya pada negara.
Dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki Swagger, bisa jadi negara merugi, karena telah kehilangan sosok penembak jitu andalan. Dan bisa dibayangkan bilamana masifitas warga negara yang punya potensi dalam bidangnya masing-masing, harus rela ‘menyingkir’, menjadi warga sementara negara asing, misalnya. Serta orang-orang yang duduk di podium terhormat negeri ini adalah para bromocorah berdasi. Maka mengembalikan keyakinan rakyat, menjadi urgen untuk secepatnya dilakukan.
Melakukan rekayasa sosial kadang memang harus didahului oleh momentum. Dan Idul Adha ini merupakan salah satu dari sekian banyak momentum yang disediakan oleh Tuhan. Momentum Idul Adha adalah soal ajaran Ilahiah untuk mengorbankan apapun yang dicintai layaknya Ibrahim As, memenggal sifat-sifat hewani yang disimbolkan dengan penyembelihan hewan kurban, dan melanggengkan sikap egaliter sebagaimana para jemaah haji.
Dan konstruksi Idul Adha pada panggung negara menjadi keniscayaan, manakala ruang publik hanya terisi oleh kegaduhan belaka. Para pelaku kegaduhan, dan siapapun yang menjadibackup-nya harus mengorbankan diri untuk tidak tampil, untuk tidak lagi populer sementara waktu. Saatnya para begawan di bidangnya didorong dan dibiarkan masing-masing untuk tampil dan memberi pencerahan kepada rakyat. Mereka bisa siapapun saja, dan berasal dari mana saja. Kelak mereka yang harus menajamkan kembali nilai-nilai yang sempat tumpul. Kelak mereka yang harus menjernihkan kembali arus demokrasi yang sempat keruh akibat lumpur-lumpur politik kotor. Dan merekalah yang diampu untuk mengembalikan keyakinan rakyat akan tujuan negara.
Jalan itu memang terlalu melangit. Karena, mencari sosok yang bebas kepentingan pada hari ini bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi dilakukan secara serentak dan pada waktu yang bersamaan. Namun tak ada yang tidak bisa dilakukan.
Jika pada hari ini, ruang publik tak seideal yang didamba. Maka, mengembalikan diskursus yang terjadi pada ruang-ruang tersebut pada ranah nilai dan etika, menjadi satu kewajiban. Maka dibutuhkan satu introspeksi besar atas diri sendiri, sudah sejauh mana sikap hewani musnah dan berganti dengan sifat-sifat ilahiah yang penuh welas asih. Kemudian sampai mana pengorbanan kita untuk melepaskan egoisme pribadi dan kelompok untuk kepentingan yang lebih luas. Serta sikap egaliter dibutuhkan untuk menerima masukan dari siapapun. Dus, jika semua itu bisa dilakukan pada diri sendiri, yakinkan bahwa negara bisa lebih baik dari hari ini.
Selamat Idul Adha 1434 Hijriyah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar