|
Presiden SBY tampak kesal dan marah
atau kebakaran jenggot lantaran keterangan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) di
Pengadilan Tipikor (10/10/2013) terkait posisi strategis Bunda Putri yang
dianggap memiliki kedekatan dengan Presiden SBY dan sejumlah petinggi lain.
Mantan Presiden PKS itu menilai Bunda Putri sebagai aktor di luar kekuasaan, namun karena kedekatan personalnya dengan Presiden SBY atau pihak Istana, maka Bunda Putri bisa mengondisikan para pengambil kebijakan itu, yang tentu saja diharapkan bisa memuluskan “agenda bisnis berbasis kekuasaan” yang tengah diurusnya. Kekesalan SBY itu ditunjukkan dalam jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusumah (10/ 10/2013), sesaat setelah mendarat dari lawatannya di Brunei Darussalam.
Barangkali juga saking geregetannya SBY kemudian mencoba meng-counter LHI secara hiperbolis dengan menyatakan bahwa apa yang dikatakan LHI itu “1.000 persen bohong”. Bahkan terkait soal reshuffle kabinet yang menurut LHI juga diketahui oleh Bunda Putri, Ketua Umum Partai Demokrat itu berkata, “2.000 persen bohong.” Singkatnya, secara keseluruhan SBY mengaku tidak mengenal, tidak tahu, dan tidak ada hubungannya dengan Bunda Putri seperti cerita LHI itu.
Pertanyaan siapa benar atau siapa yang berbohong: LHI atau SBY? Kita, Pembaca yang Budiman, tentu berharap jangan sampai SBY yang berbohong. Karena dia masih presiden, pimpinan tertinggi di negeri besar, simbol figur terluhur bangsa di mana kejujuran masih jadi bagian yang melekat sebagai kearifan tradisionallokal masyarakatnya.
Jika LHI yang berbohong, meskipun kader Islam dan mantan Presiden PKS yang notabene mengklaim diri sebagai “parpol Islam”, masyarakat bangsa ini tak heran dan tak ada yang akan menyesal—lantaran dia memang sudah jadi narapidana korupsi. Bahkan, kebohongan atau fitnahnya pada Presiden SBY tentang Bunda Putri itu, bila mungkin, akan menambah bobot vonisnya nanti di pengadilan Tipikor-KPK.
Namun, terhadap keterangan LHI itu harus pula dipahami secara hati-hati dan arif. Setidaknya kita tidak boleh serta-merta menuduh alumni Timur Tengah itulah yang berbohong. Mengapa? Pertama, dia mengungkapkan pengetahuan-nya di hadapan pengadilan, di mana dia sudah disumpah secara agama. Jika SBY keberatan, seharusnya SBY menyampaikan langsung pada pihak yang berwajib.
Tidak cukup hanya denganmenyangkalinya melalui konferensi pers, karena hal ini akanmengesankan“hanya mencari simpati dan pembelaan masyarakat luas nan awam”—cara-cara klasik yang cenderung terus dilakukan SBY selama ini. Langkah SBY itu juga tidak akan menggugurkan keterangan LHI yang dianggap sebagai fakta hukum di pengadilan itu.
Presiden SBY, dalam kaitan itu, mungkin dapat mengambil langkah-langkah hukum: (1) melaporkan LHI sebagai fitnah atau pencemaran nama baik ke pihak kepolisian, dan atau (2) secara proaktif mendatangi pengadilan Tipikor-KPK untuk memberikan keterangan bantahan atas ”tuduhan” LHI itu.
Jika SBY melakukan itu, masyarakat bangsa ini pun akan memberi apresiasi tinggi, sebagai presiden “ringan melangkah untuk kebenaran” dan demi tetap menjaga keluhuran pribadi dan jabatannya. Pada saat yang sama, KPK harus segera mendatangkan sosok Bunda Putri untuk dimintai keterangan sekaligus dikonfrontasi dengan LHI. Dengan cara terakhir ini, publik bangsa ini tidak terus diliputi tanda tanya tentang sosok yang sampai tulisan ini diturunkan dikesankan ”misterius” itu.
Pertanyaannya, apakah SBY mau melakukan itu? Apakah juga pihak Tipikor-KPK punya nyali dan atau sudah memiliki prosedur tetap untuk menghadirkan seorang yang sedang menjabat presiden? Selama ini, jangankan Presiden, Wakil Presiden yang sudah lama disebut-sebut terkait dengan skandal Bank Century saja ”Tidak berani disentuh, apalagi dihadirkan untuk diperiksa di KPK”.
Bahkan suatu ketika Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan bahwa Presiden dan Wapres adalah semacam “jabatan istimewa yang tak mudah disentuh oleh hukum”. Kedua, setelah ribut-ribut tentang keterangan LHI, dunia media sosial kita kemudian memunculkan sejumlah cerita berikut foto-foto Bunda Putri dengan sejumlah pejabat negara, termasuk foto bersama dengan pemilik otoritas tertinggi PKS, Hilmi Aminuddin. Fakta hasil jepretan kamera itu, diakui atau tidak, cenderung memberi isyarat adanya kedekatan antara Bunda Putri dan sejumlah figur pejabat yang selama ini berada di lingkar dalam (inner circle) Presiden SBY.
Menteri Pertanian Suswono, misalnya, mengaku sudah pernah berkunjung ke lokasi pabrik pupuk milik Bunda Putri di Kalimantan Barat. Fakta-fakta berupa foto dan kesaksian tentang sosok Bunda Putri dan relasinya dengan pejabat di sekitar SBY itu agaknya sulit untuk dibantah. Memang semua itu pun belum bisa langsung dituduhkan bahwa Bunda Putri juga dekat dan atau dikenal SBY, karena tidak semua orang yang dekat dengan seorang menteri lalu sertamerta dikenal atau dekat dengan Presiden.
Itulah pentingnya pembuktian secara hukum di hadapan pengadilan, dengan cara seperti digambarkan di atas. Namun, fakta-fakta itu pun kemudian bisa dimentahkan secara hukum melalui cara-cara canggih manipulatif. Misalnya dengan menyingkirkan atau menyembunyikan yang bersangkutan, sehingga dicari di mana pun tak akan ditemui. Cara seperti ini setidaknya akan memperlambat proses penyidikan, dan akan jadi alasan pihak KPK untuk menghadirkan saksi secara langsung.
Contoh konkretnya sudah banyak terjadi, seperti kasus Nunun Nurbaety (istri Adang Dorojatun), dan sejumlah koruptor lain yang menghilang dari Tanah Air hingga kini, termasuk percobaan me-luar negeri-kan M Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat). Kita, umumnya warga bangsa ini, memang masih menunggu proses-proses hukum untuk membuktikan kebenaran atau kebohongan dari keterangan LHI dan bantahan dari SBY itu.
Namun, di balik perseteruan itu sebenarnya LHI seolah hendak menyampaikan sebuah pernyataan, “Saya hanyalah bagian dari orang yang nahas saja, sementara pemain kakapnya adalah oknum yang dekat dengan penguasa negeri ini.” Ini merupakan bagian dari politik bukabukaan ala mantan Presiden PKS, karena dia tak mau dianggap “demikian kotor”, sementara “pihak penguasa seolah- olah demikian bersih”.
Maka, pantas bila Presiden SBY agak panik dan marah. Karena ocehan LHI itu bukan mustahil akan menjadikannya akan sulit untuk landing smoothly di akhir jabatannya, akan jadi ”bola panas nan liar” yang menyentuh gawang kekuasaan. ●
Mantan Presiden PKS itu menilai Bunda Putri sebagai aktor di luar kekuasaan, namun karena kedekatan personalnya dengan Presiden SBY atau pihak Istana, maka Bunda Putri bisa mengondisikan para pengambil kebijakan itu, yang tentu saja diharapkan bisa memuluskan “agenda bisnis berbasis kekuasaan” yang tengah diurusnya. Kekesalan SBY itu ditunjukkan dalam jumpa pers di Lanud Halim Perdanakusumah (10/ 10/2013), sesaat setelah mendarat dari lawatannya di Brunei Darussalam.
Barangkali juga saking geregetannya SBY kemudian mencoba meng-counter LHI secara hiperbolis dengan menyatakan bahwa apa yang dikatakan LHI itu “1.000 persen bohong”. Bahkan terkait soal reshuffle kabinet yang menurut LHI juga diketahui oleh Bunda Putri, Ketua Umum Partai Demokrat itu berkata, “2.000 persen bohong.” Singkatnya, secara keseluruhan SBY mengaku tidak mengenal, tidak tahu, dan tidak ada hubungannya dengan Bunda Putri seperti cerita LHI itu.
Pertanyaan siapa benar atau siapa yang berbohong: LHI atau SBY? Kita, Pembaca yang Budiman, tentu berharap jangan sampai SBY yang berbohong. Karena dia masih presiden, pimpinan tertinggi di negeri besar, simbol figur terluhur bangsa di mana kejujuran masih jadi bagian yang melekat sebagai kearifan tradisionallokal masyarakatnya.
Jika LHI yang berbohong, meskipun kader Islam dan mantan Presiden PKS yang notabene mengklaim diri sebagai “parpol Islam”, masyarakat bangsa ini tak heran dan tak ada yang akan menyesal—lantaran dia memang sudah jadi narapidana korupsi. Bahkan, kebohongan atau fitnahnya pada Presiden SBY tentang Bunda Putri itu, bila mungkin, akan menambah bobot vonisnya nanti di pengadilan Tipikor-KPK.
Namun, terhadap keterangan LHI itu harus pula dipahami secara hati-hati dan arif. Setidaknya kita tidak boleh serta-merta menuduh alumni Timur Tengah itulah yang berbohong. Mengapa? Pertama, dia mengungkapkan pengetahuan-nya di hadapan pengadilan, di mana dia sudah disumpah secara agama. Jika SBY keberatan, seharusnya SBY menyampaikan langsung pada pihak yang berwajib.
Tidak cukup hanya denganmenyangkalinya melalui konferensi pers, karena hal ini akanmengesankan“hanya mencari simpati dan pembelaan masyarakat luas nan awam”—cara-cara klasik yang cenderung terus dilakukan SBY selama ini. Langkah SBY itu juga tidak akan menggugurkan keterangan LHI yang dianggap sebagai fakta hukum di pengadilan itu.
Presiden SBY, dalam kaitan itu, mungkin dapat mengambil langkah-langkah hukum: (1) melaporkan LHI sebagai fitnah atau pencemaran nama baik ke pihak kepolisian, dan atau (2) secara proaktif mendatangi pengadilan Tipikor-KPK untuk memberikan keterangan bantahan atas ”tuduhan” LHI itu.
Jika SBY melakukan itu, masyarakat bangsa ini pun akan memberi apresiasi tinggi, sebagai presiden “ringan melangkah untuk kebenaran” dan demi tetap menjaga keluhuran pribadi dan jabatannya. Pada saat yang sama, KPK harus segera mendatangkan sosok Bunda Putri untuk dimintai keterangan sekaligus dikonfrontasi dengan LHI. Dengan cara terakhir ini, publik bangsa ini tidak terus diliputi tanda tanya tentang sosok yang sampai tulisan ini diturunkan dikesankan ”misterius” itu.
Pertanyaannya, apakah SBY mau melakukan itu? Apakah juga pihak Tipikor-KPK punya nyali dan atau sudah memiliki prosedur tetap untuk menghadirkan seorang yang sedang menjabat presiden? Selama ini, jangankan Presiden, Wakil Presiden yang sudah lama disebut-sebut terkait dengan skandal Bank Century saja ”Tidak berani disentuh, apalagi dihadirkan untuk diperiksa di KPK”.
Bahkan suatu ketika Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan bahwa Presiden dan Wapres adalah semacam “jabatan istimewa yang tak mudah disentuh oleh hukum”. Kedua, setelah ribut-ribut tentang keterangan LHI, dunia media sosial kita kemudian memunculkan sejumlah cerita berikut foto-foto Bunda Putri dengan sejumlah pejabat negara, termasuk foto bersama dengan pemilik otoritas tertinggi PKS, Hilmi Aminuddin. Fakta hasil jepretan kamera itu, diakui atau tidak, cenderung memberi isyarat adanya kedekatan antara Bunda Putri dan sejumlah figur pejabat yang selama ini berada di lingkar dalam (inner circle) Presiden SBY.
Menteri Pertanian Suswono, misalnya, mengaku sudah pernah berkunjung ke lokasi pabrik pupuk milik Bunda Putri di Kalimantan Barat. Fakta-fakta berupa foto dan kesaksian tentang sosok Bunda Putri dan relasinya dengan pejabat di sekitar SBY itu agaknya sulit untuk dibantah. Memang semua itu pun belum bisa langsung dituduhkan bahwa Bunda Putri juga dekat dan atau dikenal SBY, karena tidak semua orang yang dekat dengan seorang menteri lalu sertamerta dikenal atau dekat dengan Presiden.
Itulah pentingnya pembuktian secara hukum di hadapan pengadilan, dengan cara seperti digambarkan di atas. Namun, fakta-fakta itu pun kemudian bisa dimentahkan secara hukum melalui cara-cara canggih manipulatif. Misalnya dengan menyingkirkan atau menyembunyikan yang bersangkutan, sehingga dicari di mana pun tak akan ditemui. Cara seperti ini setidaknya akan memperlambat proses penyidikan, dan akan jadi alasan pihak KPK untuk menghadirkan saksi secara langsung.
Contoh konkretnya sudah banyak terjadi, seperti kasus Nunun Nurbaety (istri Adang Dorojatun), dan sejumlah koruptor lain yang menghilang dari Tanah Air hingga kini, termasuk percobaan me-luar negeri-kan M Nazaruddin (mantan bendahara umum Partai Demokrat). Kita, umumnya warga bangsa ini, memang masih menunggu proses-proses hukum untuk membuktikan kebenaran atau kebohongan dari keterangan LHI dan bantahan dari SBY itu.
Namun, di balik perseteruan itu sebenarnya LHI seolah hendak menyampaikan sebuah pernyataan, “Saya hanyalah bagian dari orang yang nahas saja, sementara pemain kakapnya adalah oknum yang dekat dengan penguasa negeri ini.” Ini merupakan bagian dari politik bukabukaan ala mantan Presiden PKS, karena dia tak mau dianggap “demikian kotor”, sementara “pihak penguasa seolah- olah demikian bersih”.
Maka, pantas bila Presiden SBY agak panik dan marah. Karena ocehan LHI itu bukan mustahil akan menjadikannya akan sulit untuk landing smoothly di akhir jabatannya, akan jadi ”bola panas nan liar” yang menyentuh gawang kekuasaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar