|
SUNGGUH menarik membaca opini sahabat-sahabat yang
peduli pendidikan tentang akreditasi PT seperti Akh. Muzakki dalam Akreditasi
PT dan Ijazah Bodong (JP, 16/10), Sapto J. Purwowidagdo dalam Jalan Pelik
Akreditasi PT (JP, 17/10), dan Muhadjir Effendy dalam PT Bukan Pengejar
Akreditasi (JP, 18/10). Akreditasi perguruan tinggi (PT) memang merupakan
kewajiban sesuai dengan peraturan. Namun, membandingkan kualitas PTN dengan PTS
hanya karena kesamaan akreditasinya adalah bias, bahkan misleading informasi
untuk masyarakat.
Kebutuhan PT untuk bisa mengimplementasikan prinsip-prinsip good university governance tidak hanya harus bisa melewati akreditasi (minimal) tuntutan peraturan. Bahkan kini sudah mengarah pada akreditasi dalam skala internasional, baik yang dikeluarkan komunitas perguruan tinggi dunia seperti AUN (ASEAN Network University) maupun oleh badan sertifikasi internasional profesional dengan kategori ISO, IWA, dan Malcolm Baldrige. Namun, jangankan menjadi PT kelas dunia, untuk meraih akreditasi agar ijazahnya tidak bodong saja, banyak PT yang masih berjuang mati-matian.
Problem ijazah bodong karena PT dan/atau program studi tidak terakreditasi sebenarnya sudah diputihkan dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti diperkenalkan akreditasi minimal yang melekat pada izin pembukaan program studi. Itu berarti program studi yang baru dibuka secara mutatis mutandis terakreditasi minimal tanpa perlu mengajukan proses akreditasi. Namun, akreditasi minimal tersebut harus direakreditasi lagi ketika waktunya habis.
Rupanya, PT terlena dengan ''akreditasi'' gratis dari pemerintah tersebut dan tahu-tahu sudah menjelang reakreditasi. Peralihan tersebut kini menimbulkan guncangan, baik yang PTN maupun PTS yang jumlahnya lebih dari 3.000. Mereka berbarengan melakukan akreditasi. Sarana dan prasarana untuk akreditasi yang bersamaan itu tentu tidak memadai, baik dari segi SDM maupun sumber dana.
Masalah lainnya, akreditasi PT diberlakukan sama baik terhadap PTN maupun PTS. PTN sekaliber UI, UGM, ITB, dan Unair sekalipun terkena kewajiban melakukan akreditasi yang sama dan bahkan dengan borang serta instrumen akreditasi yang sama yang diberlakukan terhadap ''Universitas Sambel Nyowo'' di daerah antah berantah.
Secara kuantitas, jumlah PTN di negeri ini tidak sampai 5 persen jumlah PTS. Namun, secara kualitas bisa berbanding terbalik dengan kuantitas tersebut. Kurva terbalik itu tentunya tidak adil dan bahkan bisa misleading informasi jika membandingkan kualitas PTN dengan PTS hanya dari segi akreditasinya. Perlu dicermati hasil akreditasi PTS (UMM, UMY, dan UII) karena memperoleh akreditasi institusi A yang seakan menyamai kualitas PTN yang berakreditasi A juga.
Sebenarnya PTN, apalagi PTN papan atas yang berbentuk BHMN (badan hukum milik negara) yang sekarang berubah menjadi PTN badan hukum dalam rezim UU Dikti, yakni UI, UGM, ITB, Unair, IPB, USU, dan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), demikian pula PTN sekelas ITS, UB, dan Unpad, tanpa sertifikat akreditasi pun oleh masyarakat sudah diakui dan waktu sudah membuktikannya. Menurut data, PTS sebesar apa pun di negeri ini sulit bisa melampaui kualitas (dalam waktu dekat) UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebab, PTN besar sudah berusia lebih tua serta ada jaminan dana bagi PTN oleh pemerintah.
Pekan lalu Fakultas Kedokteran Unair merayakan ulang tahun ke-100 alias telah berusia seabad. Seandainya ada yang menyamakan FK Unair dengan FK di PTS hanya karena berakreditasi sama-sama A, tentu perlu dilihat lebih tajam. FK Unair sulit dibandingkan dilihat dari segi usia berdirinya, dari kualitas raw material mahasiswanya, maupun dari segi kualitas lulusan dokter yang dihasilkan. Wajar jika FK Unair menjadi impian banyak anak bangsa.
Dari sinilah, pemerintah harus mengubah paradigma akreditasi, baik dari segi instrumen/borang-nya maupun dari segi sertifikatnya. Borang yang digunakan untuk mengakreditasi FK Unair, FK UI, dan FK UGM jangan disamakan dengan borang dari FK di PTS. Borang yang berorientasi pada perdetailan administrasi mungkin lebih cocok digunakan untuk mengakreditasi PTS yang baru berdiri. Seandainya FK Unair, FK UI, dan FK UGM tidak memperoleh akreditasi tertinggi (meski faktanya sudah mendapat yang tertinggi), pasti yang salah adalah instrumen dan/atau asesornya.
Demikian pula, sebutan hasil akreditasi yang diperoleh semestinya dibedakan antara PTN dan PTS, juga dibedakan antara PTN badan hukum dan PTN BLU (badan layanan umum) maupun PTN satker Kemendikbud. Dengan demikian, jika perguruan tinggi mendapat akreditasi A, harus ditanyakan PTN atau PTS. Jika PTN pun, harus ditanyakan PTN badan hukum atau PTN satker.
Namun, PTN-PTN papan atas juga jangan terlena berdiam diri hanya dengan membanggakan pengakuan dari masyarakat. Semua PT harus terus berbenah dan melesat, terutama agar tidak tertinggal oleh PT yang berkelas dunia. ●
Kebutuhan PT untuk bisa mengimplementasikan prinsip-prinsip good university governance tidak hanya harus bisa melewati akreditasi (minimal) tuntutan peraturan. Bahkan kini sudah mengarah pada akreditasi dalam skala internasional, baik yang dikeluarkan komunitas perguruan tinggi dunia seperti AUN (ASEAN Network University) maupun oleh badan sertifikasi internasional profesional dengan kategori ISO, IWA, dan Malcolm Baldrige. Namun, jangankan menjadi PT kelas dunia, untuk meraih akreditasi agar ijazahnya tidak bodong saja, banyak PT yang masih berjuang mati-matian.
Problem ijazah bodong karena PT dan/atau program studi tidak terakreditasi sebenarnya sudah diputihkan dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Dalam UU Dikti diperkenalkan akreditasi minimal yang melekat pada izin pembukaan program studi. Itu berarti program studi yang baru dibuka secara mutatis mutandis terakreditasi minimal tanpa perlu mengajukan proses akreditasi. Namun, akreditasi minimal tersebut harus direakreditasi lagi ketika waktunya habis.
Rupanya, PT terlena dengan ''akreditasi'' gratis dari pemerintah tersebut dan tahu-tahu sudah menjelang reakreditasi. Peralihan tersebut kini menimbulkan guncangan, baik yang PTN maupun PTS yang jumlahnya lebih dari 3.000. Mereka berbarengan melakukan akreditasi. Sarana dan prasarana untuk akreditasi yang bersamaan itu tentu tidak memadai, baik dari segi SDM maupun sumber dana.
Masalah lainnya, akreditasi PT diberlakukan sama baik terhadap PTN maupun PTS. PTN sekaliber UI, UGM, ITB, dan Unair sekalipun terkena kewajiban melakukan akreditasi yang sama dan bahkan dengan borang serta instrumen akreditasi yang sama yang diberlakukan terhadap ''Universitas Sambel Nyowo'' di daerah antah berantah.
Secara kuantitas, jumlah PTN di negeri ini tidak sampai 5 persen jumlah PTS. Namun, secara kualitas bisa berbanding terbalik dengan kuantitas tersebut. Kurva terbalik itu tentunya tidak adil dan bahkan bisa misleading informasi jika membandingkan kualitas PTN dengan PTS hanya dari segi akreditasinya. Perlu dicermati hasil akreditasi PTS (UMM, UMY, dan UII) karena memperoleh akreditasi institusi A yang seakan menyamai kualitas PTN yang berakreditasi A juga.
Sebenarnya PTN, apalagi PTN papan atas yang berbentuk BHMN (badan hukum milik negara) yang sekarang berubah menjadi PTN badan hukum dalam rezim UU Dikti, yakni UI, UGM, ITB, Unair, IPB, USU, dan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), demikian pula PTN sekelas ITS, UB, dan Unpad, tanpa sertifikat akreditasi pun oleh masyarakat sudah diakui dan waktu sudah membuktikannya. Menurut data, PTS sebesar apa pun di negeri ini sulit bisa melampaui kualitas (dalam waktu dekat) UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebab, PTN besar sudah berusia lebih tua serta ada jaminan dana bagi PTN oleh pemerintah.
Pekan lalu Fakultas Kedokteran Unair merayakan ulang tahun ke-100 alias telah berusia seabad. Seandainya ada yang menyamakan FK Unair dengan FK di PTS hanya karena berakreditasi sama-sama A, tentu perlu dilihat lebih tajam. FK Unair sulit dibandingkan dilihat dari segi usia berdirinya, dari kualitas raw material mahasiswanya, maupun dari segi kualitas lulusan dokter yang dihasilkan. Wajar jika FK Unair menjadi impian banyak anak bangsa.
Dari sinilah, pemerintah harus mengubah paradigma akreditasi, baik dari segi instrumen/borang-nya maupun dari segi sertifikatnya. Borang yang digunakan untuk mengakreditasi FK Unair, FK UI, dan FK UGM jangan disamakan dengan borang dari FK di PTS. Borang yang berorientasi pada perdetailan administrasi mungkin lebih cocok digunakan untuk mengakreditasi PTS yang baru berdiri. Seandainya FK Unair, FK UI, dan FK UGM tidak memperoleh akreditasi tertinggi (meski faktanya sudah mendapat yang tertinggi), pasti yang salah adalah instrumen dan/atau asesornya.
Demikian pula, sebutan hasil akreditasi yang diperoleh semestinya dibedakan antara PTN dan PTS, juga dibedakan antara PTN badan hukum dan PTN BLU (badan layanan umum) maupun PTN satker Kemendikbud. Dengan demikian, jika perguruan tinggi mendapat akreditasi A, harus ditanyakan PTN atau PTS. Jika PTN pun, harus ditanyakan PTN badan hukum atau PTN satker.
Namun, PTN-PTN papan atas juga jangan terlena berdiam diri hanya dengan membanggakan pengakuan dari masyarakat. Semua PT harus terus berbenah dan melesat, terutama agar tidak tertinggal oleh PT yang berkelas dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar