|
Dalam perjudian, kekayaan kasino
ditentukan oleh para bandar. Semakin licin bandar bermain, semakin menumpuk
keuntungan kasino. Ironisnya, metode yang sama dimainkan oknum Badan Anggaran
(Banggar) DPR. Sebagian anggota Banggar seperti bandar judi andal dari kasino
partai politik.
Tanpa Banggar, sulit bagi partai menumpuk kekayaan. Sebab, partai tak memiliki sumber dana yang cukup mumpuni agar mesin politik terus menyala. Apalagi publik tak sudi menyumbangkan dana karena partai tak punya program nyata. Akibatnya, daripada mati dalam pertarungan politik, partai memilih "berjudi" di parlemen agar brankas partai terisi. Menurut Kenneth A. Smith dan Rita H. Cheng, perjudian itu terjadi karena fungsi anggaran parlemen yang berlebihan (2006, hlm. 20).
Dalam konteks kewenangan Banggar, pendapat Smith dan Cheng terbukti dari isi undang-undang karya DPR. Fungsi anggaran parlemen yang berlebihan termaktub dalam UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Setidaknya terdapat 17 pasal dari kedua UU tersebut yang memudahkan uang rakyat mengalir ke kas partai melalui Banggar.
Dan 17 pasal itu adalah kartu truf DPR dan Banggar dalam menentukan jenis proyek, jumlah anggaran, hingga penerima proyek dari pengelolaan uang negara. Artinya, DPR dan Banggar dapat menentukan aliran keuangan negara dari hulu hingga hilir. Wajar jika kemudian para "petaruh proyek" di kementerian, lembaga negara, hingga perusahaan berharap bisa mendekati anggota DPR, terutama Banggar. Imbal jasanya, sebagian keuntungan dari permainan uang itu dialirkan kepada partai dan kantong anggota Banggar.
Perjudian itu bukan tidak memakan korban. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menjerat beberapa pemain, tapi "kasino" (baca: produk perundang-undangan) masih membuka kesempatan para bandar (baca: anggota Banggar) untuk terus mengelola permainan. Kasino akan ditutup paksa jika 17 pasal bermasalah tersebut dibatalkan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Pembatalan oleh MK akan mematikan jalur penting masuknya uang itu ke tubuh partai. Menghadapi hal ini, partai akan menempuh segala upaya untuk mengamankan jalur ekonomi tersebut.
Tiga lembaga
Agar "kasino" aman, partai politik tak hanya menguasai Banggar DPR. Ketiga cabang kekuasaan negara lainnya harus dalam "genggaman" partai. Bukan tak mungkin eksekutif juga termasuk dalam jejaring kasino partai tersebut. Bukankah eksekutif berperan penting dalam persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Persetujuan itu diduga adalah bagian dari kesepakatan koalisi. Itu sebabnya pakar ilmu politik Jose Antonio Cheibub menduga bahwa koalisi eksekutif acap kali berlanjut pada kongsi di legislatif (2006, hlm. 354).
Kongsi legislatif itu dapat berupa penentuan wilayah anggaran. Wajar jika kemudian sebuah partai tak "menyentuh" mata anggaran impor daging karena itu hak partai lain. Begitu juga sebaliknya. Hal serupa terjadi pada anggaran pengadaan Al-Quran dan proyek daerah tertinggal. Ya, setiap partai sudah ada jatahnya. Agar tak terjadi perebutan, anggota Banggar merancang jalannya permainan. Semakin pintar bandar memainkan kartunya, semakin melimpah anggaran partai.
Kelihaian anggota Banggar merupakan sentral permasalahan pencurian uang negara oleh partai. Namun, seandainya MK membatalkan 17 pasal kartu truf Banggar, bisa dipastikan banyak partai yang tutup buku karena Banggar lumpuh kewenangan. Bahaya MK itu disadari jauh hari oleh partai politik.
Untuk mencegah MK, partai ikut bermain dalam pemilihan hakim MK. Banyak kalangan menduga terpilihnya mantan anggota partai sebagai hakim MK merupakan bagian tak terpisah dari penyelamatan "bandar" ini. Dugaan itu beralasan jika mencermati komposisi hakim MK saat ini yang mayoritas bekas anggota partai. Apalagi setelah tertangkapnya Ketua MK dalam aksi tangkap tangan KPK, dugaan disusupkannya orang-orang korup yang berasal dari partai ke segala lini kekuasaan sulit terbantahkan.
Jika dugaan itu benar, tiga cabang kekuasaan negara sudah tunduk kepada partai politik.
Transparansi
Hal itu bisa dicegah dengan menciptakan transparansi anggaran. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, hakim MK merupakan harapan penting untuk melunturkan dominasi Banggar dalam mengelola anggaran.
Seandainya hakim MK berani melepas utang budi kepada partai, lalu memutuskan untuk membubarkan Banggar melalui pembatalan 17 pasal bermasalah tersebut, bukan tidak mungkin proses transparansi anggaran tercipta. Melalui putusannya, MK mampu menentukan peran seimbang antara eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan anggaran (Jun Ma dan Yilin Hou, 2009, hlm. S54), bahkan ikut menentukan partisipasi publik dalam penentuan prioritas anggaran.
Harapan itu ada, karena MK (juga KPK) ikut merasakan pahitnya pemotongan anggaran oleh DPR. Jika mencermati pengalaman itu, mustahil hakim MK menolak upaya pembatalan 17 pasal yang diajukan aktivis sipil tersebut (ICW, Fitra, dll). Ini kesempatan bagi MK untuk membuktikan diri bahwa mereka masih bersih setelah dicambuk publik dengan terbongkarnya aksi suap sang Ketua MK.
Untuk itulah, pada detik-detik ketukan palu hakim MK kali ini, publik dan media harus berpaling sejenak ke gedung di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 itu. Lalu berbisik, "Wahai hakim MK, kami mengawasi putusan Yang Mulia!" ●
Tanpa Banggar, sulit bagi partai menumpuk kekayaan. Sebab, partai tak memiliki sumber dana yang cukup mumpuni agar mesin politik terus menyala. Apalagi publik tak sudi menyumbangkan dana karena partai tak punya program nyata. Akibatnya, daripada mati dalam pertarungan politik, partai memilih "berjudi" di parlemen agar brankas partai terisi. Menurut Kenneth A. Smith dan Rita H. Cheng, perjudian itu terjadi karena fungsi anggaran parlemen yang berlebihan (2006, hlm. 20).
Dalam konteks kewenangan Banggar, pendapat Smith dan Cheng terbukti dari isi undang-undang karya DPR. Fungsi anggaran parlemen yang berlebihan termaktub dalam UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Setidaknya terdapat 17 pasal dari kedua UU tersebut yang memudahkan uang rakyat mengalir ke kas partai melalui Banggar.
Dan 17 pasal itu adalah kartu truf DPR dan Banggar dalam menentukan jenis proyek, jumlah anggaran, hingga penerima proyek dari pengelolaan uang negara. Artinya, DPR dan Banggar dapat menentukan aliran keuangan negara dari hulu hingga hilir. Wajar jika kemudian para "petaruh proyek" di kementerian, lembaga negara, hingga perusahaan berharap bisa mendekati anggota DPR, terutama Banggar. Imbal jasanya, sebagian keuntungan dari permainan uang itu dialirkan kepada partai dan kantong anggota Banggar.
Perjudian itu bukan tidak memakan korban. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menjerat beberapa pemain, tapi "kasino" (baca: produk perundang-undangan) masih membuka kesempatan para bandar (baca: anggota Banggar) untuk terus mengelola permainan. Kasino akan ditutup paksa jika 17 pasal bermasalah tersebut dibatalkan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Pembatalan oleh MK akan mematikan jalur penting masuknya uang itu ke tubuh partai. Menghadapi hal ini, partai akan menempuh segala upaya untuk mengamankan jalur ekonomi tersebut.
Tiga lembaga
Agar "kasino" aman, partai politik tak hanya menguasai Banggar DPR. Ketiga cabang kekuasaan negara lainnya harus dalam "genggaman" partai. Bukan tak mungkin eksekutif juga termasuk dalam jejaring kasino partai tersebut. Bukankah eksekutif berperan penting dalam persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Persetujuan itu diduga adalah bagian dari kesepakatan koalisi. Itu sebabnya pakar ilmu politik Jose Antonio Cheibub menduga bahwa koalisi eksekutif acap kali berlanjut pada kongsi di legislatif (2006, hlm. 354).
Kongsi legislatif itu dapat berupa penentuan wilayah anggaran. Wajar jika kemudian sebuah partai tak "menyentuh" mata anggaran impor daging karena itu hak partai lain. Begitu juga sebaliknya. Hal serupa terjadi pada anggaran pengadaan Al-Quran dan proyek daerah tertinggal. Ya, setiap partai sudah ada jatahnya. Agar tak terjadi perebutan, anggota Banggar merancang jalannya permainan. Semakin pintar bandar memainkan kartunya, semakin melimpah anggaran partai.
Kelihaian anggota Banggar merupakan sentral permasalahan pencurian uang negara oleh partai. Namun, seandainya MK membatalkan 17 pasal kartu truf Banggar, bisa dipastikan banyak partai yang tutup buku karena Banggar lumpuh kewenangan. Bahaya MK itu disadari jauh hari oleh partai politik.
Untuk mencegah MK, partai ikut bermain dalam pemilihan hakim MK. Banyak kalangan menduga terpilihnya mantan anggota partai sebagai hakim MK merupakan bagian tak terpisah dari penyelamatan "bandar" ini. Dugaan itu beralasan jika mencermati komposisi hakim MK saat ini yang mayoritas bekas anggota partai. Apalagi setelah tertangkapnya Ketua MK dalam aksi tangkap tangan KPK, dugaan disusupkannya orang-orang korup yang berasal dari partai ke segala lini kekuasaan sulit terbantahkan.
Jika dugaan itu benar, tiga cabang kekuasaan negara sudah tunduk kepada partai politik.
Transparansi
Hal itu bisa dicegah dengan menciptakan transparansi anggaran. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, hakim MK merupakan harapan penting untuk melunturkan dominasi Banggar dalam mengelola anggaran.
Seandainya hakim MK berani melepas utang budi kepada partai, lalu memutuskan untuk membubarkan Banggar melalui pembatalan 17 pasal bermasalah tersebut, bukan tidak mungkin proses transparansi anggaran tercipta. Melalui putusannya, MK mampu menentukan peran seimbang antara eksekutif dan legislatif dalam pengelolaan anggaran (Jun Ma dan Yilin Hou, 2009, hlm. S54), bahkan ikut menentukan partisipasi publik dalam penentuan prioritas anggaran.
Harapan itu ada, karena MK (juga KPK) ikut merasakan pahitnya pemotongan anggaran oleh DPR. Jika mencermati pengalaman itu, mustahil hakim MK menolak upaya pembatalan 17 pasal yang diajukan aktivis sipil tersebut (ICW, Fitra, dll). Ini kesempatan bagi MK untuk membuktikan diri bahwa mereka masih bersih setelah dicambuk publik dengan terbongkarnya aksi suap sang Ketua MK.
Untuk itulah, pada detik-detik ketukan palu hakim MK kali ini, publik dan media harus berpaling sejenak ke gedung di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 itu. Lalu berbisik, "Wahai hakim MK, kami mengawasi putusan Yang Mulia!" ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar