Senin, 07 Oktober 2013

Menyelamatkan Mahkamah Konstitusi

Menyelamatkan Mahkamah Konstitusi
Wiwin Suwandi ;  Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar; Bekerja Sebagai Peneliti pada Pusat Kajian Konstitusi UNHAS
TEMPO.CO, 06 Oktober 2013



AM, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Rabu, 2 Oktober 2013. Ibarat petir di siang bolong, kabar itu jelas mengagetkan bagi rakyat Indonesia yang selama ini menganggap MK sebagai lembaga kredibel dan relatif bersih. Penangkapan AM menjadi "tsunami peradilan" bagi upaya mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan di negara ini. Benteng Konstitusi jebol. Kesucian Jubah Merah ternoda. Dinodai "pemainnya" sendiri. 

Penangkapan AM oleh KPK seolah membalikkan jarum jam. Sejarah mengajak kita melihat rangkaian kejadian yang serupa. Sinyal tentang dugaan korupsi melalui modus penyuapan kepada hakim MK dalam sejumlah perkara sengketa pilkada pernah terjadi pada beberapa kasus. Namun, seperti yang sudah-sudah, MK selalu membantah, sebelum AM menampar muka MK saat ini. 

Pada Oktober 2010, di sebuah koran nasional, Refly Harun menulis tentang indikasi suap yang melibatkan hakim konstitusi dalam sengketa perselisihan pilkada salah satu daerah di Papua, yang saat itu sementara bergulir di Mahkamah Konstitusi. Ketua MK saat itu, Mahfud Md., langsung bereaksi dan menantang Refly untuk membuktikan sendiri ucapannya. "Siapa saja yang mengaku pernah memberikan uang kepada hakim MK, silakan langsung melapor, akan kami fasilitasi." Kurang-lebih begitulah kata-kata Mahfud saat itu. Entah apa tanggapan Mahfud saat ini ketika mengingat hal tersebut.

Tim investigasi pun dibentuk. Refly didaulat sebagai ketua tim, yang beranggotakan empat orang (Saldi Isra, Bambang Widjojanto, Adnan Buyung Nasution, dan Bambang Harymurti). Tim diberi waktu selama sebulan untuk membuktikan dugaan itu. Refly bekerja di bawah bayang-bayang tuduhan pencemaran nama baik jika tak mampu membuktikan dugaannya. Pada 9 Desember 2012, hasil investigasi diumumkan. Hasilnya, dugaan suap di MK nihil. Refly terancam dilaporkan karena dianggap telah mencemarkan nama baik MK. Isu suap pun menguap. 

Tidak begitu lama, selang dua bulan kemudian, pada Desember 2010, isu suap kembali menerpa MK. Kali ini isu itu menghantam salah satu hakim MK, Arsyad Sanusi. Arsyad dikaitkan dengan dugaan suap yang melibatkan putrinya, Nesyawati Arsyad, dalam perkara pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan. Arsyad membela diri dengan mengatakan tidak terlibat. Merasa nama baiknya tercemar, ia pun mengundurkan diri.

Setahun kemudian, pada 2011, isu suap di MK kembali muncul. Isu ini dilemparkan Dewie Yasin Limpo, calon legislator di daerah Sulawesi Selatan, yang mempermasalahkan surat MK soal perolehan suara dalam pemilu legislatif 2009. Gara-gara surat itu, Dewie gagal duduk di kursi DPR RI. Tidak puas, ia pun menuding ada pihak-pihak yang sengaja menjegalnya agar tidak lolos menuju Senayan.

Berbagai kasus tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan dipicu oleh satu persoalan pokok. Hakim MK bukan obyek pengawasan Komisi Yudisial (KY). Diawali oleh sebuah permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) yang dilayangkan sejumlah hakim agung pada 2006 ke MK, MK pun mengabulkan sebagian permohonan tersebut dengan memangkas sejumlah kewenangan "pamungkas" KY terkait dengan pengawasan KY terhadap hakim. 

MK memutuskan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan KY. Putusan itu terkesan arogan, tidak demokratis. MK dan MA memposisikan diri mereka sangat superior, sedangkan KY inferior. Mereka seakan sebagai "Tuhan", yang tidak bisa diawasi KY. Prinsip check and balances dalam kekuasaan kehakiman tidak berjalan karena MK mengamputasi sejumlah kewenangan KY. Padahal seyogianya, MK dan MA ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir UU Kekuasaan Kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan. Putusan itu membuat KY mengelus dada. Tidak ada ruang untuk menggugat, karena putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Korupsi di lingkungan peradilan (judicial corruption) semakin masif, terutama yang menyentuh puncak kekuasaan kehakiman: MK dan MA. 

Pincangnya kewenangan KY ini menjadi peluang bagi para mafia kasus untuk bermain. Terbuka ruang untuk memainkan perkara yang sampai ke MA atau MK. Karena sadar tidak diawasi, sejumlah hakim pun dengan leluasa membuka ruang komunikasi dengan sejumlah pihak yang beperkara. Lobi-lobi yang menjurus pada praktek suap pun leluasa dilakukan. Kode etik dan sumpah jabatan secara sadar dilanggar. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan badan pengawasan internal di kedua lembaga tersebut.   

Akibatnya, pengawasan lebih aktif dilakukan kalangan masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan sejumlah komponen masyarakat sipil lainnya. Bersama-sama, mereka aktif mengawasi dan melaporkan dugaan suap yang melibatkan hakim di kedua badan peradilan tersebut. Beberapa kasus pernah disorot media tapi, akibat terbatasnya akses informasi serta lemahnya kewenangan KY untuk menyelidiki, isu ini pun akhirnya menguap begitu saja meskipun, pada prakteknya, nyata terjadi. 

Evaluasi MK

Perlu waktu lama untuk membangun kredibilitas MK kembali, entah itu kapan. Namun berlama-lama dalam kesedihan juga tidak baik. MK masih dan sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk menjamin tegaknya demokrasi konstitusional di negara ini, tapi juga untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara.

Evaluasi atas masalah ini bisa dikaji pada tiga aspek. Pertama, pengetatan syarat bagi masuknya hakim konstitusi dari unsur partai politik. UUD 1945 dan UU MK mengatur syarat pengajuan hakim konstitusi dari tiga lembaga negara-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-yang masing-masing berwenang mengajukan tiga hakim konstitusi. Ini merupakan pelaksanaan prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) serta check and balances di antara tiga lembaga negara tersebut. Hakim dari unsur partai politik yang diajukan legislatif (DPR) perlu diperhatikan secara khusus, mengingat besarnya potensi konflik kepentingan yang diwakilinya. 

Kedua, evaluasi kewenangan penyelesaian sengketa pilkada di MK. Kewenangan yang awalnya berada di tangan MA kemudian didelegasikan kepada MK melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah ini membuka potensi korupsi yang luar biasa. Konflik perebutan jabatan yang bersumber dari hasrat kekuasaan yang sangat besar antar-elite lokal ini menggiring MK keluar dari hakikat MK sebagai peradilan konstitusional. Dalam konteks tersebut, isu tentang perlunya lembaga peradilan pemilu perlu digulirkan kembali.

Ketiga, pelaksanaan kewenangan pengawasan hakim secara utuh yang dilakukan oleh KY tidak hanya terbatas pada hakim di tingkatan yang lebih rendah, tapi juga termasuk hakim agung dan hakim konstitusi. Hal ini penting untuk menjamin independensi kekuasaan kehakiman, serta sebagai perwujudan prinsip check and balances di antara cabang kekuasaan kehakiman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar