|
Negeri ini memiliki banyak ironi.
Inilah negeri dengan sebutan agraris namun masih mengimpor pangan. Di antara
tanaman pangan, impor paling besar adalah gandum. Setiap tahunnya, Indonesia
mengimpor sekitar 7 juta ton gandum.
Selain gandum, Indonesia juga pernah
mengimpor beras, bawang putih, buah-buahan, kedelai, dan kebutuhan pangan
lainnya. Negeri ini juga dilanda kurangnya tenaga kerja pertanian. Hasil sensus
pertanian tahun 2013 menunjukkan, jumlah rumah tangga petani menurun dari 31,17
juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013.
Ini berarti Indonesia telah
kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani dalam 10 tahun (Sinar Harapan, 17/10/2013). Selain itu Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) Nomor 60 Tahun 2012 menyebutkan ada 20 jenis produk hortikultura
yang importasinya diatur pemerintah.
Impor tanaman pangan tahun
2012 mencapai nilai sekitar Rp 80 triliun. Tahun ini, jika pemerintah tidak
memiliki kebijakan tegas untuk mengendalikan impor pangan secara simultan, diperkirakan
nilainya dapat tembus Rp 95 triliun.
Impor pangan hanya menuai
banyak persoalan. Hal ini diindikasikan adanya kasus impor pangan di negeri ini
yang semakin terkuak. Kongkalikong antara pemberi dan penerima kuota impor
diduga terjadi, bahkan menciptakan kartel dan mafia impor.
Aparat penegak hukum perlu
memberi sanksi yang berat bagi spekulan dan importir nakal. Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012 tentang Pangan hendaknya menjadi landasan hukum bagi pemerintah,
agar dapat menjerat orang yang dengan sengaja menimbun dan menyebabkan harga
pangan tinggi dan merugikan masyarakat. Sanksi administrasi, denda, dan pidana
perlu ditegakkan secara tegas untuk memberi efek jera.
Setiap tahun produk-produk
pangan impor di Indonesia semakin tidak terbendung dan sudah pada tahap kronis.
Hampir 65 persen dari semua kebutuhan pangan dalam negeri kini dipenuhi dari
impor. Pada sisi lain, Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI) menyatakan 70 persen bahan produk pangan berasal dari impor. Bahan tambahan
pangan (BTP) yang ada di Indonesia, 80 persen juga masih impor.
Kalangan pengusaha umumnya
mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. Membanjirnya
produk impor pangan karena pemenuhan suplai dalam negeri terus berkurang akibat
produksi rendah. Faktor lemahnya riset penelitian dan inovasi menjadi salah
satu penyebab produktivitas selalu rendah.
Mengakhiri Kecanduan
Pemerintah seharusnya segera
mengakhiri kecanduan terhadap bahan pangan impor. Pasalnya, pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang sangat menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan,
dan kualitas SDM suatu bangsa. Sangat tepat meminjam pidato Presiden Soekarno
tahun 1957 yang mengatakan, pertanian dan pangan adalah hidup-matinya bangsa
Indonesia.
Setelah 40 tahun (1997),
hasil penelitian FAO mengonfirmasi kebenaran pernyataan profetik Bung Karno
tersebut, bahwa sebuah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa, tidak
mungkin bisa menjadi maju dan makmur bila pemenuhan kebutuhan pangan
domestiknya bergantung pada impor.
Kondisi stok pangan yang
kian terbatas, sementara kebutuhannya terus meningkat akibat pertumbuhan jumlah
penduduk, seharusnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk menggenjot produksi
sejumlah komoditas pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri, baik untuk
memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor.
Lebih dari itu, karena
Indonesia masih memiliki lahan pertanian, perkebunan, serta perikanan
cukup luas dan berpotensi untuk meningkatkan produksi pangan,
pemerintah tidak perlu terus-menerus kecanduan impor pangan.
Di sisi lain, pemerintah
perlu mengatur dan mengelola lahan pertanian produktif agar tidak beralih
fungsi. Zona lahan pertanian abadi perlu diwujudkan untuk meningkatkan
produksi.
Tingkatkan Produksi
Kebijakan impor bahan
pangan, selain menghamburkan devisa juga membunuh produsen pangan dalam negeri
dan mengancam kedaulatan pangan nasional. Untuk mewujudkan kemandirian pangan
nasional dan mengakhiri kecanduan impor pangan, subsistem produksi, industri
pascapanen, distribusi, pemasaran, dan konsumsi perlu dibenahi.
Pada subsistem produksi,
pemerintah mesti meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha dengan
menerapkan teknologi budi daya pertanian mutakhir yang ramah lingkungan
dan sesuai daya dukung wilayah, pada lahan usaha yang ada serta melakukan
ekstensifikasi usaha budi daya pada lahan-lahan baru yang potensial.
Setiap unit usaha perlu
diupayakan agar memenuhi skala ekonomi. Infrastruktur usaha budi daya
komoditas pangan yang ada mesti dirawat dan diperbaiki, serta membangun yang
baru di setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan wilayah di seluruh Indonesia.
Pemerintah perlu
meningkatkan inovasi dan penelitian produk pertanian agar menghasilkan daya
saing dan nilai tambah. Industri pascapanen perlu dikembangkan.
Prasarana jalan, pelabuhan laut,
bandara, jaringan komunikasi, dan listrik juga harus lebih disempurnakan guna
menunjang sistem serta mekanisme distribusi yang lebih handal, sehingga
masyarakat memiliki akses yang baik untuk mendapatkan setiap komoditas pangan
yang dibutuhkan. Ini juga akan meningkatkan efisiensi ekspor komoditas pangan
ke seluruh dunia.
Pada subsistem konsumsi,
pola konsumsi pangan perlu diatur. Misalnya, menurunkan konsumsi beras dari 139
kilogram per tahun menjadi minimal 100 kilogram per kapita per tahun dalam 10 tahun.
Dengan demikian, program diversifikasi pangan non-beras merupakan alternatif
penanggulangan yang perlu dikerjakan saat ini secara bertahap.
Pada subsistem pemasaran,
perlunya meningkatkan pemasaran produksi pangan nasional secara ramah
lingkungan (organik) dan berkelanjutan, untuk setiap komoditas pangan yang bisa
diproduksi di dalam negeri.
Akhirnya, berbagai kebijakan
pemerintah perlu melindungi petani kecil demi terwujudnya tujuan kemandirian
pangan nasional, gerakan konsumsi pangan dan buah lokal dalam negeri perlu
diaplikasikan secara nyata untuk memutus kecanduan impor pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar