|
SUNGGUH
terasa memprihatinkan memaknai pernyataan Presiden PKS Anis Matta yang
menganggap wajar mahar politik Rp 8 miliar. Uang itu untuk menggerakkan tim
kampanye guna memenangkan Ilham Arief Sirajuddin (Wali Kota Makassar) dalam
Pilgub Sulawesi Selatan pada akhir 2012 (SM, 27/9/13).
Itu
diperkuat oleh rekaman di persidangan perkara impor daging sapi dengan terdakwa
Ahmad Fathanah yang menguak banyak kebusukan praktik politik. Tak hanya berkait
suap, gratifikasi, dan pencucian uang, skandal Fathanah mengungkap praktik yang
selama ini jadi bahan pergunjingan: mahar politik dalam pilkada.
Semua
itu membuat politik berbiaya tinggi, merusak kaderisasi partai dan tradisi
bersih berpolitik. Fathanah ikut mengatur pencalonan Ilham, melalui PKS, dalam
Pilgub Sulawesi Selatan. Dalam persidangan terungkap Ilham yang waktu itu
menjabat Wali Kota Makassar dimintai Rp 10 miliar tapi hanya menyanggupi Rp 8
miliar, itu pun dicicil dua kali melalui Fathanah.
Setelah
itu, barulah ia memperoleh dukungan yang diteken Presiden (waktu itu) PKS
Luthfi Hasan Ishaaq. (Koran Tempo,
23/9/13). Dalam dokumen persidangan terungkap Fathanah juga menjajakan
rekomendasi dalam pilkada lain. Itu senapas dengan pernyataan Yusuf Supendi,
yang pernah mengungkapkan penarikan mahar oleh petinggi PKS dalam Pilgub DKI
Jakarta 2007. Praktik seperti itu memang tidak hanya dilakukan oleh PKS.
Tradisi
saling memberi dan menerima diikuti sejumlah janji dan komitmen di antara para
pelaku lapangan, master mindhingga jejaring para decision maker dalam berbagai
jenjang, sudah dianggap lumrah, keniscayaan. Misal seperti diungkapkan Anis
Matta, yang menyebutkan mahar politik Rp 8 miliar dalam jual beli dukungan
untuk cagub usulan DPW partainya adalah hal wajar. Ungkapan seorang politikus
dari partai yang mengklaim partai dakwah tidak hanya mengacak-acak syariat dan
nilai Islam.
Praktik
itu sekaligus memberi konfirmasi kebenaran sangkaan publik bahwa praktik
politik dan demokrasi yang hari-hari ini dibanggakan sebagai the third wave of modernization ternyata
pembusukan belaka. Ada dua hal mendasar yang menguatkan hal itu.
Pertama;
asal-usul mahar politik. Seandainya itu memang jadi salah satu media kekinian
”silaturahmi” dan dari duit halal, mungkin ceritanya lain. Tetapi kita paham
bahwa duit mahar itu dari uang negara lewat proyek-proyek di kementerian yang
dipimpin menteri kader partai, atau sumber ilegal yang diharamkan oleh syariat.
Kedua; merusak citra dan kredibilitas umat dan keyakinan beragama.
Sepak-terjang
Fathanah kini menjadi bahan olok-olok publik secara sosial keagamaan. Hal ini
tidak sekadar berbau politik tetapi sekaligus ekspresi gugatan kebencian
sosial. Seandainya dibiarkan menggelinding liar, bukan tidak mungkin merusak
sendi-sendi ajaran agama itu sendiri.
Padahal
bila sudah sampai titik itu, perpecahan dan destruksi sosial menjadi ancaman
serius kehidupan beragama dan bermasyarakat secara keseluruhan. Karena itu,
upaya pengungkapan secara terang-benderang dengan menyeret semua pihak, perlu
dilakukan. Upaya itu bertujuan untuk menyetop tabiat, mental, dan perilaku
busuk: mahar politik.
Sanksi Sosial
Untuk
alasan tersebut, praktik bersih berpolitik ala Jepang layak menjadi rujukan.
Semasa kepemimpinannya, PM Kakuei Tanaka mengatakan bahwa yang dapat menyetop
perilaku korup hanyalah dua pihak. Pertama; parpol dan elite pengambil
kebijakan politik, dan kedua; pemerintah berkuasa dalam menerapkan hukuman
menjerakan.
Untuk
yang disebut terakhir, pemerintah Jepang menerapkan sanksi sosial ketat dan
hukuman berat bagi pelanggar. Politikus dan siapa pun yang terlibat
perselingkuhan politik, apalagi korupsi, akan dikucilkan dari kehidupan sosial
dan dipecat dari jabatan publik. Untuk menuju arah tersebut, masyarakat
mengharapkan peran dan kerja keras parpol dan jejaringnya untuk menjadi pelopor
perubahan menghapus mahar politik.
Partai
dan elite perlu didorong untuk mengajukan kader berkualitas. Bahkan mereka
wajib mengajukan calon yang bersih, cerdas, dengan rekam jejak dan prestasi
yang bisa dipertanggungjawabkan. Tak kalah strategis adalah tugas dan tanggung
jawab hukum dan moral parlemen. Pemerintah bersama DPR bisa menyetop permainan
itu lewat UU Pemda, UU Pilpres, UU Parpol, dan UU Pemilu.
Calon
yang terbukti memberikan mahar politik harus didiskualifikasi dari pemilihan.
Parpol dan elite yang terkait dengan permainan itu pun harus mendapat sanksi
hukum tegas. Tanpa perubahan aturan main, pembiaran percaloan politik ala
Fathanah dan jejaringnya maka tradisi mahar politik makin mengecambah. Bahkan
melahirkan ”generasi baru Fathanah” yang terus menjajakan dukungan partai
melalui ikatan mahar politik bibit pembusuk demokrasi.
Padahal
modus semacam itu terbukti menghancurkan moral dan adab politik nasional kita.
Menjelang Pemilu 2014, banyak pihak sejak dini menyinyalir permainan mahar
politik bakal berkembang-biak. Rakyat pun makin muak dengan perilaku dan moral
politik busuk demikian. Bagaimana kita bisa berharap partisipasi politik rakyat
secara maksimal dalam pemilu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar