|
Pemerintahan SBY pernah membuat
janji (mengupayakan) penghapusan utang Indonesia. Pada masa awal
pemerintahannya, dalam pertemuan Financing
for Development di New York, AS, September 2005, Presiden SBY pernah dengan
lantang mengatakan pengurangan utang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan
riil, juga bagi negara berkembang berpenghasilan menengah seperti Indonesia.
Isi pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Sri Mulyani sewaktu menjabat menteri keuangan ketika itu bahwa salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang. Namun, selama sembilan tahun SBY sebagai presiden Republik Indonesia, telah terjadi lonjakan jumlah utang sebesar Rp724,22 triliun.
Per Agustus 2013 total utang Indonesia telah mencapai angka fantastis Rp2.177,95 triliun, belum ditambah berbagai utang baru yang dalam proses pencairan. Untuk APBN-P 2013 yang berjumlah Rp1.726,2 triliun ditetapkan defisit 2,38% terhadap PDB atau sebesar Rp224,2 triliun yang ditutup dari utang. Harian ini dalam tajuknya menulis “Seandainya rakyat Indonesia dilibatkan langsung untuk melunasi utang pemerintah, setiap orang harus menyisihkan dana sebesar Rp9,1 juta, jumlah yang tidak kecil.” (KORAN SINDO, 24/9/2013) Ada kesan, prinsip “gali lubang, tutup lubang” masih saja berlaku, mengesampingkan logika sederhana, bila ingin penghapusan utang, pengambilan utang baru seharusnya dihentikan, setidaknya hanya sebagai alternatif terakhir setelah semua sumber pembiayaan sulit diperoleh.
Secara teoretis Daseking dan Kozack (2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal mencapai MDGs berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tidak terperangkap dalam utang.
Saat ini pembayaran bunga dan cicilan utang pemerintah memakan porsi lebih dari 30% hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan investasi sosial lainnya. Dengan jumlah stok utang sekitar Rp 2.200 triliun, cicilan bunga utang telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, selain penjadwalan ulang utang, diperlukan juga terobosan berupa strategi yang lebih komprehensif untuk mengurangi utang lewat berbagai cara termasuk penghapusan sebagian (besar) stok utang tersebut.
Terobosan untuk Menepati Janji
Beberapa strategi alternatif berikut bisa dikembangkan untuk mengurangi (beban) utang Indonesia secara signifikan. Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah. Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi dengan para kreditor.
Adapun pengaturan dalam UU tersebut hendaknya mencakup pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang pemerintah dalam setiap tahun anggaran misalnya 10% dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan nonpajak. Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor serta pengurangan pokok utang melalui arbitrase internasional.
Kegagalan para kreditor menjamin good governance dalam manajemen utang para debitor pada masa lalu memunculkan wacana mengenai utang najis (odious debt). Kreditor dituntut untuk memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengompensasi utangnajistersebut. Cara lainnya adalah renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar sepertiga dari debt outstanding Indonesia adalah dengan Jepang.
Kepentingan strategis Jepang baik dalam membendung ambisi China dalam restrukturisasi multinasionalnya maupun keinginan menahan serbuan produk China ke pasar domestik Indonesia merupakan potensi negosiasi. Ketiga, pembentukan integrated debt management office. Saat ini manajemen utang ditangani beberapa institusi yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Bappenas secara parsial.
Fungsi front office sejak krisis 1998 dalam penanganan utang luar negeri kurang terkoordinasi. Sementara fungsi middle office untuk menganalisis risiko berupa analisis keterkelolaan utang, risiko, tingkat pengembalian dan lain belum maksimal. Untuk itu, diperlukan debt management office yang menyatu yang tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan utang konvensional.
Debt management office seharusnya ada, bukan hanya mengurus rescheduling dan reprofiling, melainkan juga menawarkan pengelolaan utang nonkonvensional yang memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write off), konversi utang ke obligasi (brandy bond), konversi utang menjadi ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap), dan konversi utang ke MDGs (debt for MDGs swap), termasuk untuk pendidikan.
Hingga saat ini Jerman satusatunya negara kreditor yang memberikan debt swap kepada Indonesia sebagai fasilitas penghapusan utang pemerintah melalui proses penukaran dana yang seharusnya digunakan untuk mencicil utang menjadi pembiayaan proyek yang disepakati Indonesia dengan kreditor. Pemerintah Jerman bersedia menghapus utang Indonesia senilai 93,57 juta euro atau setara dengan Rp1,09triliun. Relatif kecil memang dibandingkan total utang negeri ini.
Namun, bagi penulis, sekecil apa pun penghapusan utang perlu diapresiasi sambil mengupayakan duplikasinya dan memanfaatkan setiap rupiah terutama bagi mereka yang membutuhkan. Proyek pertama misalnya dengan nilai yang relatif kecil (25,57 juta Euro), bertujuan meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar di 17 provinsi. Hasilnya berupa pengembangan 510 pusat pelatihan guru pengetahuan alam, termasuk pengadaan bahan pelajaran dan alat peraga.
Saat ini sekitar 30.000 sekolah dasar dengan lebih dari empat juta murid (akan) menikmati hasilnya. Capaian ini memberikan legitimasi untuk menuntut semakin banyak kreditor agar memberikan penghapusan utang. Tanpa itu janji Presiden SBY yang masa pemerintahannya tinggal kurang dari satu tahun akan dicatat dalam sejarah sebagai satu dari sekian janji yang tidak dipenuhi. ●
Isi pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Sri Mulyani sewaktu menjabat menteri keuangan ketika itu bahwa salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang. Namun, selama sembilan tahun SBY sebagai presiden Republik Indonesia, telah terjadi lonjakan jumlah utang sebesar Rp724,22 triliun.
Per Agustus 2013 total utang Indonesia telah mencapai angka fantastis Rp2.177,95 triliun, belum ditambah berbagai utang baru yang dalam proses pencairan. Untuk APBN-P 2013 yang berjumlah Rp1.726,2 triliun ditetapkan defisit 2,38% terhadap PDB atau sebesar Rp224,2 triliun yang ditutup dari utang. Harian ini dalam tajuknya menulis “Seandainya rakyat Indonesia dilibatkan langsung untuk melunasi utang pemerintah, setiap orang harus menyisihkan dana sebesar Rp9,1 juta, jumlah yang tidak kecil.” (KORAN SINDO, 24/9/2013) Ada kesan, prinsip “gali lubang, tutup lubang” masih saja berlaku, mengesampingkan logika sederhana, bila ingin penghapusan utang, pengambilan utang baru seharusnya dihentikan, setidaknya hanya sebagai alternatif terakhir setelah semua sumber pembiayaan sulit diperoleh.
Secara teoretis Daseking dan Kozack (2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal mencapai MDGs berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tidak terperangkap dalam utang.
Saat ini pembayaran bunga dan cicilan utang pemerintah memakan porsi lebih dari 30% hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan investasi sosial lainnya. Dengan jumlah stok utang sekitar Rp 2.200 triliun, cicilan bunga utang telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, selain penjadwalan ulang utang, diperlukan juga terobosan berupa strategi yang lebih komprehensif untuk mengurangi utang lewat berbagai cara termasuk penghapusan sebagian (besar) stok utang tersebut.
Terobosan untuk Menepati Janji
Beberapa strategi alternatif berikut bisa dikembangkan untuk mengurangi (beban) utang Indonesia secara signifikan. Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah. Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi dengan para kreditor.
Adapun pengaturan dalam UU tersebut hendaknya mencakup pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang pemerintah dalam setiap tahun anggaran misalnya 10% dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan nonpajak. Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor serta pengurangan pokok utang melalui arbitrase internasional.
Kegagalan para kreditor menjamin good governance dalam manajemen utang para debitor pada masa lalu memunculkan wacana mengenai utang najis (odious debt). Kreditor dituntut untuk memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengompensasi utangnajistersebut. Cara lainnya adalah renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar sepertiga dari debt outstanding Indonesia adalah dengan Jepang.
Kepentingan strategis Jepang baik dalam membendung ambisi China dalam restrukturisasi multinasionalnya maupun keinginan menahan serbuan produk China ke pasar domestik Indonesia merupakan potensi negosiasi. Ketiga, pembentukan integrated debt management office. Saat ini manajemen utang ditangani beberapa institusi yaitu Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Bappenas secara parsial.
Fungsi front office sejak krisis 1998 dalam penanganan utang luar negeri kurang terkoordinasi. Sementara fungsi middle office untuk menganalisis risiko berupa analisis keterkelolaan utang, risiko, tingkat pengembalian dan lain belum maksimal. Untuk itu, diperlukan debt management office yang menyatu yang tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan utang konvensional.
Debt management office seharusnya ada, bukan hanya mengurus rescheduling dan reprofiling, melainkan juga menawarkan pengelolaan utang nonkonvensional yang memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write off), konversi utang ke obligasi (brandy bond), konversi utang menjadi ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap), dan konversi utang ke MDGs (debt for MDGs swap), termasuk untuk pendidikan.
Hingga saat ini Jerman satusatunya negara kreditor yang memberikan debt swap kepada Indonesia sebagai fasilitas penghapusan utang pemerintah melalui proses penukaran dana yang seharusnya digunakan untuk mencicil utang menjadi pembiayaan proyek yang disepakati Indonesia dengan kreditor. Pemerintah Jerman bersedia menghapus utang Indonesia senilai 93,57 juta euro atau setara dengan Rp1,09triliun. Relatif kecil memang dibandingkan total utang negeri ini.
Namun, bagi penulis, sekecil apa pun penghapusan utang perlu diapresiasi sambil mengupayakan duplikasinya dan memanfaatkan setiap rupiah terutama bagi mereka yang membutuhkan. Proyek pertama misalnya dengan nilai yang relatif kecil (25,57 juta Euro), bertujuan meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar di 17 provinsi. Hasilnya berupa pengembangan 510 pusat pelatihan guru pengetahuan alam, termasuk pengadaan bahan pelajaran dan alat peraga.
Saat ini sekitar 30.000 sekolah dasar dengan lebih dari empat juta murid (akan) menikmati hasilnya. Capaian ini memberikan legitimasi untuk menuntut semakin banyak kreditor agar memberikan penghapusan utang. Tanpa itu janji Presiden SBY yang masa pemerintahannya tinggal kurang dari satu tahun akan dicatat dalam sejarah sebagai satu dari sekian janji yang tidak dipenuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar