|
Kelautan adalah salah satu isu yang
dibahas dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Bali, 1-8 Oktober 2013.
Relevan bagi Indonesia. Tantangannya adalah seberapa jauh isu itu
diartikulasikan sehingga efektif menjangkau persoalan real khas negara ini.
Sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia, Indonesia amat berkepentingan dengan isu kelautan. Apalagi, negeri
dengan sejarah besar di bidang maritim ini justru semakin asing dengan alam
baharinya.
Saat ini kontribusi sektor kelautan
Indonesia hanya 22 persen dari produk domestik bruto. Ini tergolong kecil
dibandingkan dengan negara APEC lainnya, seperti Vietnam, Korea, dan Jepang.
Kelautan juga salah satu medan di
mana tangan pengawasan dan pengelolaan pemerintah lemah, terlihat dari maraknya
pencurian ikan di wilayah Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
memperkirakan kerugian Indonesia akibat pencurian ikan rata-rata Rp 30 triliun
per tahun.
Bukti lain, maraknya penyelundupan.
Di Selat Malaka sampai hari ini penyelundupan terus terjadi. Barangnya beragam.
Yang masuk antara lain peralatan elektronik, pakaian bekas, dan narkoba. Barang
yang keluar antara lain solar, kayu, dan pupuk.
Sejauh ini laut juga belum bisa
mengangkat derajat nelayan Indonesia karena mereka masih kelompok masyarakat
termiskin. Sementara itu, nelayan Indonesia masih menggunakan perahu
tradisional sehingga jangkauannya minim; kapal asing legal maupun ilegal
menguras isi lautan Nusantara.
Mulai 1990
Isu kelautan mulai mendapat
perhatian APEC pada 1990. Saat itu APEC membentuk Kelompok Kerja Konservasi
Sumber Daya Maritim di bawah Kelompok Kerja Perikanan. Pada 2011 kedua kelompok
kerja itu disatukan menjadi Kelompok Kerja Kelautan dan Perikanan (KKKP).
Isu kelautan pun meluas ke sejumlah
forum dunia, di antaranya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan
atau Rio+20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada 2012. Saat itu ide ekonomi biru
muncul. Idenya mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial dari sektor kelautan
dengan cara-cara berbeda, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
pidato pada forum Rio+20 menekankan arti pentingnya sektor kelautan. Ada dua
pendekatan yang disampaikan: ekonomi dan lingkungan.
Di sisi ekonomi, sektor kelautan
adalah tempat berbagai sumber daya ekonomi. Menjadi kian penting nilainya
ketika kelautan diletakkan dalam konteks ketahanan pangan dunia.
Pada 2045 populasi manusia
diproyeksikan meningkat menjadi sembilan miliar jiwa. Populasi sebanyak ini,
menurut FAO, memerlukan peningkatan produksi pangan sampai 70 persen dari
kapasitas sekarang.
Dengan demikian, pemanfaatan sektor
kelautan yang optimal dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan menjadi
keharusan. Keseimbangan antara aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan pada sektor kelautan menjadi mutlak.
”Bersama, kita butuh meyakinkan bahwa sumber daya maritim kita
berkelanjutan. Dan demi ketahanan pangan, kita perlu meyakinkan kesehatan
laut-laut kita. Itu sebabnya, kita butuh melindungi laut dari eksploitasi ikan
berlebihan. Kita butuh masyarakat komunitas pantai yang berdaya. Dan kita mesti
menyediakan insentif lebih untuk sektor perikanan yang berkelanjutan,” kata
presiden dalam pidatonya.
Dari sisi lingkungan, kelautan bisa
berperan besar memitigasi pemanasan global. Lautan menyerap sekitar 80 persen
panas. Lautan yang mencakup 72 persen dari muka Bumi juga menghasilkan separuh
dari oksigen yang dihirup manusia.
Dalam forum APEC, Indonesia mulai
aktif mengangkat isu kelautan sejak 2005. Isu kelautan terus diusung dalam
persiapan pertemuan APEC di Bali, yakni pertemuan tingkat menteri APEC di
Jakarta, Februari
2013.
2013.
Salah satu isu yang disepakati
adalah pengarusutamaan isu kelautan dan hal terkait lainnya. Ini diharapkan
tidak sebatas mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tetapi juga
pertumbuhan inklusif serta menciptakan lapangan kerja dan menggenjot
pendapatan.
Pemerintah Indonesia mengajukan
rencana kerja yang terbagi ke dalam tiga isu. Pertama, penguatan ketahanan
pangan dan jaminan kesehatan makanan mengingat enam dari 10 eksportir ikan
terbesar dunia adalah negara APEC dan 65 persen ikan tangkapan dilakukan negara
APEC.
Namun, pada saat yang sama, ada
persoalan eksploitasi perikanan berlebihan, penggunaan alat tangkap yang
merusak ekosistem laut, dan keterbatasan sumber daya perikanan.
Isu kedua, menjaga kesehatan lautan
dan melindungi lingkungan maritim. Lebih dari setengah miliar penduduk
negara-negara APEC menggantungkan langsung kehidupannya dari lautan. Di sisi
lain, ada ancaman polusi, eksploitasi hasil laut secara berlebihan, dan dampak
perubahan iklim seperti peningkatan permukaan air laut dan badai.
Isu ketiga, menghubungkan
negara-negara APEC melalui jalur laut melalui konektivitas fisik, seperti
pelabuhan dan kapal, dan institusi berupa kebijakan dan peraturan untuk
memperlancar arus bebas barang, jasa, perdagangan, dan investasi.
Tema-tema besar
Forum APEC dan pertemuan tingkat
internasional lainnya memang selalu membahas tema-tema besar. Tidak akan
dibahas dalam pertemuan ini, misalnya, nasib nelayan Kepulauan Riau yang hanya
menonton kapal asing mencuri dan mengeruk ikan di wilayah Indonesia.
Di sinilah kecermatan pemerintah
akan menentukan seberapa jauh tema besar kelautan efektif menunjang kepentingan
nasional. Ukuran keberhasilan pemerintah yang paling otentik adalah jika
nelayan Nusantara semakin mulia. Jika sebaliknya, berarti pemerintah justru
menjual lautan Nusantara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar