|
SETELAH 68 tahun Indonesia merdeka,
ternyata masih ada saja bagian dari masyarakat yang belum merasakan arti
kemerdekaan. Kalau kemerdekaan kita definisikan sebagai kebebasan mendasar,
seperti dihargai martabatnya, kemerdekaan berpendapat, berserikat, diperlakukan
dengan baik, tidak disiksa, atau mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan,
dan terutama menjadi sejahtera, ukuran ini bisa memberikan hasil mengejutkan di
wilayah-wilayah republik yang paling pelosok.
Salah satunya
adalah warga perbatasan di Distrik Arso Timur dan Distrik Waris, Kabupaten
Keerom, Papua. Sungguhkah mereka telah merdeka?
Wilayah ini
memang tidak banyak dibahas di tingkat nasional. Sebelum 2009, Distrik Arso
Timur masih didominasi oleh masyarakat asli. Sesudah itu, hadir perkebunan
sawit yang mengelola area sekitar 18.000 hektar. Distrik Arso Timur adalah
distrik dengan wilayah paling kecil, 461.16 kilometer persegi atau hanya 4,92
persen dari total luas Kabupaten Keerom. Distrik ini berbatasan langsung dengan
Papua Niugini.
Distrik Arso
Timur memiliki 11 kampung. Fasilitas umum berupa jalan penghubung antarkampung
belum diaspal dan sebagian kampung, seperti Kibay, masih harus ditempuh dengan
berjalan kaki. Belum ada penerangan listrik negara dan sarana komunikasi lain.
Di kampung-kampung umumnya yang ada adalah sarana ibadah (gereja), sekolah
(SD), dan puskesmas. Namun, aparat keamanannya lengkap, mungkin karena masuk
wilayah perbatasan. Ada pos tentara, pos Kopassus, dan pos polisi di wilayah
ini.
Keterlibatan
masyarakat tentu saja sangat dibutuhkan dalam membangun daerah. Mereka harus
menjadi pelaku utama pembangunan dengan cara diajak bersama-sama menyusun
gagasan pembangunan melalui kesepakatan bersama. Pemerintah dan pihak lain pada
posisi sebagai pendorong dari upaya masyarakat mencapai tujuannya.
Meski demikian,
realitas di Arso Timur dan beberapa daerah sekitarnya sungguh berbeda.
Pembangunan, khususnya investasi, direncanakan dari atas lalu diturunkan tanpa
konsultasi kepada masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat secara langsung
tidak ada. Konsultasi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dan perusahaan
kepada kepala suku dan orang-orang tertentu. Kelompok perempuan sama sekali
diabaikan.
Jika perempuan
dan masyarakat umum tidak dilibatkan dalam pembicaraan tentang rencana suatu
investasi, lalu untuk siapa pembangunan itu dirancang dan dilaksanakan? Jika
investasi di Arso Timur dan wilayah lain di Indonesia hanya demi kepentingan
pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak tertentu yang bakal mendapat keuntungan,
siapa yang akan peduli terhadap penderitaan yang dialami masyarakat adat?
Pola tidak berubah
Modus
pembangunan di Kabupaten Keerom dari pemerintah daerah masih sama sejak
1982-1983 sampai sekarang. Pemerintah mengundang investor dan memberi ”karpet
merah” kepada perusahaan untuk segera bisa beroperasi. Janji-janji pemerintah
dan perusahaan juga sangat ”wah”, tetapi bisa ditebak pelaksanaannya. Janji
tersebut hanya janji palsu. Jika ada persoalan di lapangan, pemerintah menutup
mata dan telinga, membiarkan masalah itu berhenti dengan sendirinya.
Salah satu cara
untuk memuluskan rencana investasi adalah mengundang sejumlah tokoh untuk studi
banding. Mereka diajak ke Jakarta dan mendapat pelayanan selama perjalanan.
Tidak ada orang di kampung yang tahu tentang apa yang dilakukan. Beberapa
minggu kemudian, alat-alat berat mulai masuk ke Arso Timur dan membabat hutan
yang kaya.
Tanah yang
dimanfaatkan untuk kelapa sawit mencapai ribuan hektar dan melingkupi tanah
ulayat yang diklaim milik delapan kereth (marga). Memang akan ada
pembayaran ganti rugi yang disebut ”tali asih” dengan harga Rp 38 per meter
persegi. Selain nilainya amat rendah, dana kompensasi ini diberikan dalam empat
tahap selama empat tahun dan sudah dibayarkan semua.
Beberapa saat
setelah perusahaan beroperasi di Arso Timur, mulai timbul konflik internal
dalam masyarakat. Ada kekecewaan di antara kelompok-kelompok yang merasa tidak
dilibatkan dalam pembicaraan rencana investasi tersebut. Terjadilah perpecahan.
Setelah hutan
dan sumber makanan dihancurkan, kesulitan hidup mulai terbayang. Akhirnya,
sebagian besar masyarakat bekerja di perusahaan sawit, baik laki-laki,
perempuan, maupun anak sekolah. Mereka menjadi buruh harian lepas. Tidak ada
jaminan bagi warga bahwa suatu saat bisa menjadi karyawan tetap.
Sejak 1969,
Papua masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun
1982-1983, kebijakan investasi sawit hadir di Arso, Kabupaten Keerom.
Sampai saat ini,
dampak dari kebijakan pemerintah justru menderitakan masyarakat asli di Keerom.
Tahun 2008, kebijakan investasi sawit diberlakukan lagi di Arso Timur. Dapat
dibayangkan, hasilnya pun tidak akan berbeda, yakni penderitaan. Lalu apa makna
kemerdekaan jika selalu berdampak penderitaan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar