|
Amendemen UUD 1945 menganugerahkan
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) wewenang untuk melegitimasi (merestui) atau
mendelegitimasi (membatalkan) berbagai peristiwa politik, yakni produk
legislasi, solusi sengketa kewenangan antarlembaga negara, keabsahan eksistensi
partai politik, keabsahan hasil pemilihan umum, dan putusan ada tidaknya
pelanggaran konstitusi oleh presiden dan/atau wakil presiden.
Belakangan oleh UU MK dianugerahi pula wewenang untuk memeriksa, mengadili, serta memutus secara final dan mengikat sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Dengan demikian, MK menjalankan peran sebagai pengontrol peristiwa-peristiwa politik agar berjalan on the constitutional track, yaitu sesuai dengan UUD 1945. Dengan begitu, praktik politik dan ketatanegaraan yang melawan konstitusi seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dicegah atau diluruskan. Saat ini rakyat Indonesia menghadapi kenyataan tragis, yakni MK yang sedang mengalami delegitimasi total.
Delegitimasi parsial terjadi ketika Hakim MK melanggar kode etik atau melanggar hal-hal teknis prosedural. Delegitimasi total terjadi ketika ketua MK dan atau jajarannya diduga terlibat suap atau korupsi, yang mewujud dalam praktik jual-beli putusan MK. Peristiwa tertangkap basahnya ketua MK saat sedang bertransaksi suap, tampak bagai sebuah klimaks dari berbagai laporan banyak orang yang sejak MK di bawah kepemimpinan Mahfud MD mencium bau busuk praktik kotor di tubuh MK, yang saat itu selalu dibantah oleh pimpinan MK.
Laporan Refly Harun, pakar hukum tata negara, tentang adanya praktik kotor kepada pimpinan MK tidak ditanggapi secara memadai dan tuntas. Sampai saat ini tidak jelas akhir ceritanya, kecuali kita menyaksikan seorang hakim MK yang mengundurkan diri, tanpa kejelasan status hukumnya. *** Sebenarnya proses delegitimasi MK diduga oleh banyak pihak sudah dimulai pada saat rekrutmen para hakim MK, terutama di DPR dan didomain kekuasaan presiden.
Rekrutmen hakim MK di MA tidak pernah transparan pula. Transaksi dan pertimbangan yang sarat berbagai kepentingan politik partai, presiden, dan lembaga MA menghalangi DPR, presiden, dan MA memilih orang-orang berintegritas, beriman kepada kebaikan publik, keunggulan dan kecakapan intelektual, serta keunggulan dalam menangani berbagai konflik hukum sebagai hakim MK. Inilah makna sesungguhnya kriteria kenegarawanan seorang hakim MK.
Selama ini, rekrutmen hakim MK sesungguhnya lebih banyak merefleksikan hasil proses bargaining politik di DPR, di lingkungan kekuasaan presiden, dan pertimbangan kelembagaan di lingkungan MA. Bukan hasil sebuah proses rekrutmen yang profesional, proporsional, partisipatoris yang semestinya bagi pengisian jabatan lembaga penjaga konstitusi itu. Proses delegitimasi MK terjadi secara internal, yakni ketika proses manajemen penanganan seluruh proses beperkara berjalan tanpa kontrol yang tepat dan seimbang.
Sudah bisa dipastikan, saat ini baik DPR, presiden, dan MA tidak mempunyai parameter dan peranti untuk mengontrol secara profesional dan proporsional terhadap MK. Keadaan MK sebagaimana digambarkan di atas membawa kita sebagai bangsa ke dalam jurang tragedi yang memilukan dan memalukan, yaitu delegitimasi total MK. *** Delegitimasi total MK itu mustahil dipulihkan oleh MK sendiri, dengan misalnya membentuk majelis kehormatan atau semacam itu.
Ingatlah selalu, bahwa dalam tragedi besar yang menimpa MK yang berpotensi dan layak diduga melanggar etika dan bahkan mungkin hukum adalah semua hakim MK, sekjen, dan seluruh jajarannya. Bagaimana sembilan hakim MK yang diduga melanggar etika dan bahkan mungkin hukum membentuk majelis ke-hormatan yang dipimpin oleh hakim MK sendiri? Tidak mungkin atau hampir mustahil bagi publik untuk mempunyai trust dan con-fidence terhadap majelis kehormatan bentukan MK.
Pertama, semua hakim MK telah bekerja bersama Akil sebagai hakim konstitusi dan kemudian memilih Akil sebagai ketua MK. Mekanismekerjahakimkonstitusi dan proses pemilihan Akil sebagai ketua MK layak pula untuk diaudit kewajaran dan kelurusannya. Kedua, delapan hakim MK lainnya itu ikut memutuskan dan merestui pembentukan majelismajelis hakim MK, yang menangani banyak sengketa pilkada yang bermasalah dan didugaKKN.
Ketiga, delapan hakim MK lainnya sebagai anggota pleno ikut pula memutuskan banyak sengketa pilkada yang bermasalah dan diduga KKN. Keempat, delapan hakim MK lainnya tidak cukup sensitif atas terjadinya praktik kotor dalam tubuh MK. Kelima, delapan hakim MK lainnya itu abai terhadap lingkungannya yang tidak peka terhadap asas-asas clean judicialdan good governance.
Atas dasar pertimbangan itu, delapan hakim MK lainnya, sekjen, dan seluruh jajarannya harus diperiksa dengan cermat, saksama, penuh tanggung jawab, dan adil. Siapa yang memeriksa? jelas tidak tepat dan adil jika dilakukan oleh MK yang sedang mengalami delegitimasi total. peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan menetapkan Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas, sebagai langkah temporer sudah tepat. KY bisa segera bergerak membentuk Tim Pemeriksa yang andal dan mempunyai Trust dan Konfiden untuk memeriksa delapan hakim MK lainnya, sekjen, dan jajaran MK, serta mengaudit kinerja MK.
Memang ketentuan UU yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi telah dibatalkan oleh MK, karena kata MK inkonstitusional. Namun, sesungguhnya putusan MK yang membatalkan wewenang KY untuk mengawasi hakim MK tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan kontrol antarlembaga tinggi negara.
Keputusan MK itu jelas berorientasi pada kepentingan diri (vested interest) para hakim konstitusi yang tidak menghendaki adanya eksternal kontrol atas diri mereka. Kini terbukti sebagai akibat tiadanya eksternal kontrol itu terjadi korupsi/penyalahgunaan kekuasaan oleh ketua MK. Karena itu, sangat bisa dibenarkan dan sejalan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 jika putusan MK yang membatalkan wewenang pengawasan KY atas para hakim konstitusi itu, sebaiknya diabaikan atau dianggap tidak pernah ada.
Dalam konteks penyelesaian sengketa hasil pilkada, MK untuk sementara moratorium menangani perkara pilkada. Lebih tepat, elegan, dan fair, kalau delapan hakim MK dengan sukarela mengundurkan diri. Dengan demikian, memudahkan DPR, presiden, dan MA melakukan audit dan evaluasi sebagai dasar untuk menata kembali MK yang sudah porak-poranda. Saat ini jika delapan hakim MK terus ngotot bertahan menangani perkara-perkara pilkada, yang bakal terjadi semakin kuat dan meluasnya ketidak percayaan publik yang bisa mewujud dalam bentuk aksi-aksi kekerasan, seperti yang telah terjadi di Kota Waringin, Tangerang, Maluku,.
Sementara perkara sengketa pilkada pending, pemerintah dapat mengangkat PLT di daerah-daerah itu untuk jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun maksimum. Presiden, DPR, dan MA harus majulebihcepatlagi untukmenata kembali MK. Selanjutnya, perppu perlu pula mengatur tentang seleksi hakim konstitusi, di mana secara umum syarat, kriteria, dan prosedurnya diusahakan seragam bagi semua calon, baik melalui DPR, presiden, maupun MA. Asas-asas transparansi, partisipatoris, dan inclusiveness harus diperlakukan pada prosedur rekrutmen hakim konstitusi di DPR, didomain kekuasaan presiden dan di MA.
Akan lebih afdol jika DPR, presiden, dan MA membentuk suatu panitia seleksi hakim konstitusi yang akan menguji semua calon hakim konstitusi yang diajukan DPR, presiden, dan MA. Hasil uji panitia seleksi ini final, yang kemudian masingmasing calon yang lulus langsung disahkan dan diajukan sebagai hakim konstitusi oleh masing-masing DPR, presiden, dan MA. Proses penataan kembali MK perlu terus diawasi oleh publik agar hasilnya sesuai dengan harapan rakyat, yakni terwujudnya MK yang mampu secara jujur, adil, dan objektif mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. ●
Belakangan oleh UU MK dianugerahi pula wewenang untuk memeriksa, mengadili, serta memutus secara final dan mengikat sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Dengan demikian, MK menjalankan peran sebagai pengontrol peristiwa-peristiwa politik agar berjalan on the constitutional track, yaitu sesuai dengan UUD 1945. Dengan begitu, praktik politik dan ketatanegaraan yang melawan konstitusi seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dicegah atau diluruskan. Saat ini rakyat Indonesia menghadapi kenyataan tragis, yakni MK yang sedang mengalami delegitimasi total.
Delegitimasi parsial terjadi ketika Hakim MK melanggar kode etik atau melanggar hal-hal teknis prosedural. Delegitimasi total terjadi ketika ketua MK dan atau jajarannya diduga terlibat suap atau korupsi, yang mewujud dalam praktik jual-beli putusan MK. Peristiwa tertangkap basahnya ketua MK saat sedang bertransaksi suap, tampak bagai sebuah klimaks dari berbagai laporan banyak orang yang sejak MK di bawah kepemimpinan Mahfud MD mencium bau busuk praktik kotor di tubuh MK, yang saat itu selalu dibantah oleh pimpinan MK.
Laporan Refly Harun, pakar hukum tata negara, tentang adanya praktik kotor kepada pimpinan MK tidak ditanggapi secara memadai dan tuntas. Sampai saat ini tidak jelas akhir ceritanya, kecuali kita menyaksikan seorang hakim MK yang mengundurkan diri, tanpa kejelasan status hukumnya. *** Sebenarnya proses delegitimasi MK diduga oleh banyak pihak sudah dimulai pada saat rekrutmen para hakim MK, terutama di DPR dan didomain kekuasaan presiden.
Rekrutmen hakim MK di MA tidak pernah transparan pula. Transaksi dan pertimbangan yang sarat berbagai kepentingan politik partai, presiden, dan lembaga MA menghalangi DPR, presiden, dan MA memilih orang-orang berintegritas, beriman kepada kebaikan publik, keunggulan dan kecakapan intelektual, serta keunggulan dalam menangani berbagai konflik hukum sebagai hakim MK. Inilah makna sesungguhnya kriteria kenegarawanan seorang hakim MK.
Selama ini, rekrutmen hakim MK sesungguhnya lebih banyak merefleksikan hasil proses bargaining politik di DPR, di lingkungan kekuasaan presiden, dan pertimbangan kelembagaan di lingkungan MA. Bukan hasil sebuah proses rekrutmen yang profesional, proporsional, partisipatoris yang semestinya bagi pengisian jabatan lembaga penjaga konstitusi itu. Proses delegitimasi MK terjadi secara internal, yakni ketika proses manajemen penanganan seluruh proses beperkara berjalan tanpa kontrol yang tepat dan seimbang.
Sudah bisa dipastikan, saat ini baik DPR, presiden, dan MA tidak mempunyai parameter dan peranti untuk mengontrol secara profesional dan proporsional terhadap MK. Keadaan MK sebagaimana digambarkan di atas membawa kita sebagai bangsa ke dalam jurang tragedi yang memilukan dan memalukan, yaitu delegitimasi total MK. *** Delegitimasi total MK itu mustahil dipulihkan oleh MK sendiri, dengan misalnya membentuk majelis kehormatan atau semacam itu.
Ingatlah selalu, bahwa dalam tragedi besar yang menimpa MK yang berpotensi dan layak diduga melanggar etika dan bahkan mungkin hukum adalah semua hakim MK, sekjen, dan seluruh jajarannya. Bagaimana sembilan hakim MK yang diduga melanggar etika dan bahkan mungkin hukum membentuk majelis ke-hormatan yang dipimpin oleh hakim MK sendiri? Tidak mungkin atau hampir mustahil bagi publik untuk mempunyai trust dan con-fidence terhadap majelis kehormatan bentukan MK.
Pertama, semua hakim MK telah bekerja bersama Akil sebagai hakim konstitusi dan kemudian memilih Akil sebagai ketua MK. Mekanismekerjahakimkonstitusi dan proses pemilihan Akil sebagai ketua MK layak pula untuk diaudit kewajaran dan kelurusannya. Kedua, delapan hakim MK lainnya itu ikut memutuskan dan merestui pembentukan majelismajelis hakim MK, yang menangani banyak sengketa pilkada yang bermasalah dan didugaKKN.
Ketiga, delapan hakim MK lainnya sebagai anggota pleno ikut pula memutuskan banyak sengketa pilkada yang bermasalah dan diduga KKN. Keempat, delapan hakim MK lainnya tidak cukup sensitif atas terjadinya praktik kotor dalam tubuh MK. Kelima, delapan hakim MK lainnya itu abai terhadap lingkungannya yang tidak peka terhadap asas-asas clean judicialdan good governance.
Atas dasar pertimbangan itu, delapan hakim MK lainnya, sekjen, dan seluruh jajarannya harus diperiksa dengan cermat, saksama, penuh tanggung jawab, dan adil. Siapa yang memeriksa? jelas tidak tepat dan adil jika dilakukan oleh MK yang sedang mengalami delegitimasi total. peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan menetapkan Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas, sebagai langkah temporer sudah tepat. KY bisa segera bergerak membentuk Tim Pemeriksa yang andal dan mempunyai Trust dan Konfiden untuk memeriksa delapan hakim MK lainnya, sekjen, dan jajaran MK, serta mengaudit kinerja MK.
Memang ketentuan UU yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi telah dibatalkan oleh MK, karena kata MK inkonstitusional. Namun, sesungguhnya putusan MK yang membatalkan wewenang KY untuk mengawasi hakim MK tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan kontrol antarlembaga tinggi negara.
Keputusan MK itu jelas berorientasi pada kepentingan diri (vested interest) para hakim konstitusi yang tidak menghendaki adanya eksternal kontrol atas diri mereka. Kini terbukti sebagai akibat tiadanya eksternal kontrol itu terjadi korupsi/penyalahgunaan kekuasaan oleh ketua MK. Karena itu, sangat bisa dibenarkan dan sejalan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 jika putusan MK yang membatalkan wewenang pengawasan KY atas para hakim konstitusi itu, sebaiknya diabaikan atau dianggap tidak pernah ada.
Dalam konteks penyelesaian sengketa hasil pilkada, MK untuk sementara moratorium menangani perkara pilkada. Lebih tepat, elegan, dan fair, kalau delapan hakim MK dengan sukarela mengundurkan diri. Dengan demikian, memudahkan DPR, presiden, dan MA melakukan audit dan evaluasi sebagai dasar untuk menata kembali MK yang sudah porak-poranda. Saat ini jika delapan hakim MK terus ngotot bertahan menangani perkara-perkara pilkada, yang bakal terjadi semakin kuat dan meluasnya ketidak percayaan publik yang bisa mewujud dalam bentuk aksi-aksi kekerasan, seperti yang telah terjadi di Kota Waringin, Tangerang, Maluku,.
Sementara perkara sengketa pilkada pending, pemerintah dapat mengangkat PLT di daerah-daerah itu untuk jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun maksimum. Presiden, DPR, dan MA harus majulebihcepatlagi untukmenata kembali MK. Selanjutnya, perppu perlu pula mengatur tentang seleksi hakim konstitusi, di mana secara umum syarat, kriteria, dan prosedurnya diusahakan seragam bagi semua calon, baik melalui DPR, presiden, maupun MA. Asas-asas transparansi, partisipatoris, dan inclusiveness harus diperlakukan pada prosedur rekrutmen hakim konstitusi di DPR, didomain kekuasaan presiden dan di MA.
Akan lebih afdol jika DPR, presiden, dan MA membentuk suatu panitia seleksi hakim konstitusi yang akan menguji semua calon hakim konstitusi yang diajukan DPR, presiden, dan MA. Hasil uji panitia seleksi ini final, yang kemudian masingmasing calon yang lulus langsung disahkan dan diajukan sebagai hakim konstitusi oleh masing-masing DPR, presiden, dan MA. Proses penataan kembali MK perlu terus diawasi oleh publik agar hasilnya sesuai dengan harapan rakyat, yakni terwujudnya MK yang mampu secara jujur, adil, dan objektif mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar