|
Tayangan iklan mengenai promosi pariwisata
Singapura di sebuah televisi swasta kelihatannya biasa-biasa saja, tapi di
dalamnya terkandung provokasi yang perlu mendapat perhatian, yaitu adanya
reklamasi laut Singapura yang ditujukan untuk memperluas wilayah daratannya.
Demikian juga penjelasan pejabat Singapura, Caroline Seah, Direktur Pembangunan
Industri Otoritas Konservasi dan Perencanaan Penggunaan Lahan Singapura, di
hadapan sejumlah wartawan Indonesia (4 September). "Setelah reklamasi selesai, luas daratan Singapura akan mencapai
760 km persegi, dari luas daratan Singapura tahun 1960 yang hanya 584 km persegi."
Persoalannya, Indonesia, yang berbatasan laut langsung dengan Singapura, pasti akan terpengaruh, atau hal itu akan berdampak terhadap perbatasan laut kedua negara. Mungkin ini salah satu sebab mengapa Singapura belum mau menyelesaikan perbatasan laut kedua negara secara keseluruhan, mengingat Singapura mempunyai program reklamasi lautnya untuk 10 tahun ke depan. Kalau melihat posisi pulau Singapura, reklamasi pasti mengarah ke perbatasan laut dengan Indonesia. Belum lagi masalah ekosistem laut yang terganggu.
Selain itu, konon tanah untuk reklamasi sebelumnya juga diambil dari pulau-pulau Indonesia yang berbatasan dan menimbulkan abrasi, bahkan mengakibatkan kemungkinan tenggelamnya pulau tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman arti sebuah pulau terdepan Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan hanya memikirkan keuntungan ekonomi sesaat. Hal ini diperkuat dalam berita Kompas (13 Mei) bahwa garis perbatasan wilayah antara RI dan Singapura di Provinsi Kepulauan Riau mendesak direklamasi karena terus tergerus abrasi, baik alamiah maupun karena tindakan manusia seperti pengerukan pasir laut.
Indonesia perlu mengambil dua tindakan sekaligus terhadap aksi reklamasi Singapura tersebut. Tindakan pertama lebih bersifat ke arah intern Indonesia; jangan sampai tanah untuk reklamasi diambil (walaupun misalnya dibeli) dari tanah di pulau-pulau terdepan Indonesia, yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Perlu ada sosialisasi pemahaman kepada masyarakat, jangan sampai menggali tanah atau pasir di pulau-pulau terdepan Indonesia tersebut lalu dijual kepada pihak pengembang Singapura. Pengawasan aparatur pemerintah harus lebih diintensifkan. Di sinilah ujian ada-tidaknya kehadiran pemerintah atau negara. Kalau sampai terjadi aparat pemerintah tidak tahu atau terjadi pembiaran, ini merupakan cerminan kelemahan pemerintah kita yang dimanfaatkan oleh Singapura.
Tindakan kedua harus meminta kepada pemerintah Singapura sesegera mungkin atau dalam kesempatan pertama untuk menghentikan kegiatan reklamasi tersebut. Kalau dalam bahasa lunaknya, meminta keterangan dari pemerintah Singapura mengenai masalah reklamasi tersebut. Tidak ada jaminan bahwa reklamasi tersebut tidak berdampak terhadap perbatasan laut kedua negara yang belum maupun yang sudah terselesaikan, mengingat kemungkinan besar reklamasi tersebut mengarah ke perbatasan laut dengan Indonesia. Hal ini berarti mengancam dan membahayakan wilayah perbatasan Indonesia, yang merupakan bentuk ancaman non-militer yang perlu disadari.
Di sini, sifat tenggang rasa atau ewuh pekewuh harus dibuang jauh-jauh. Jangan sampai, karena takut hubungan kedua negara terganggu, Indonesia tidak mau bereaksi alias diam saja. Jangan sampai mewariskan persoalan kepada anak-cucu karena masalah reklamasi tersebut, apabila pada suatu waktu membicarakan kembali perbatasan laut yang belum terselesaikan.
Kalau Indonesia baru bereaksi setelah lautan menjadi daratan, itu sudah terlambat. Secara de facto, Singapura telah menguasai, menduduki, dan mengelolanya. Apalagi Singapura telah mempunyai langkah pembangunan 10 tahun ke depan. Penyelesaiannya lebih rumit dan tidak mudah, memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang mahal, dan belum tentu Singapura mau menyelesaikannya lewat Mahkamah Internasional. Di sini terlihat dan terbaca kelicikan atau kepandaian Singapura berdiplomasi. Atau, Singapura malah menganggap, tanpa perjanjian perbatasan laut dengan Indonesia, Singapura pun tetap dapat hidup lebih leluasa.
Untuk sopan santun, seharusnya Indonesia, sebagai negara terdekat dan berbatasan langsung yang akan mendapat dampaknya, diberi tahu lebih dulu oleh Singapura, tidak melalui wawancara dengan wartawan. Seharusnya Singapura meminta izin terlebih dulu. Analoginya, waktu kita mau membuat rumah mengurus IMB, minimal memberi tahu tetangga kiri-kanan. Di sini terlihat arogansi Singapura. Ini dapat dipakai dalih oleh Singapura seandainya suatu waktu Indonesia memberikan reaksinya yang sudah terlambat. "Sudah kita sampaikan melalui wartawan Indonesia, tidak ada reaksi dari pemerintah Indonesia." Jadi, diplomasi melalui jalur ketiga ini perlu juga kita cermati dan tanggapi. ●
Persoalannya, Indonesia, yang berbatasan laut langsung dengan Singapura, pasti akan terpengaruh, atau hal itu akan berdampak terhadap perbatasan laut kedua negara. Mungkin ini salah satu sebab mengapa Singapura belum mau menyelesaikan perbatasan laut kedua negara secara keseluruhan, mengingat Singapura mempunyai program reklamasi lautnya untuk 10 tahun ke depan. Kalau melihat posisi pulau Singapura, reklamasi pasti mengarah ke perbatasan laut dengan Indonesia. Belum lagi masalah ekosistem laut yang terganggu.
Selain itu, konon tanah untuk reklamasi sebelumnya juga diambil dari pulau-pulau Indonesia yang berbatasan dan menimbulkan abrasi, bahkan mengakibatkan kemungkinan tenggelamnya pulau tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman arti sebuah pulau terdepan Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan hanya memikirkan keuntungan ekonomi sesaat. Hal ini diperkuat dalam berita Kompas (13 Mei) bahwa garis perbatasan wilayah antara RI dan Singapura di Provinsi Kepulauan Riau mendesak direklamasi karena terus tergerus abrasi, baik alamiah maupun karena tindakan manusia seperti pengerukan pasir laut.
Indonesia perlu mengambil dua tindakan sekaligus terhadap aksi reklamasi Singapura tersebut. Tindakan pertama lebih bersifat ke arah intern Indonesia; jangan sampai tanah untuk reklamasi diambil (walaupun misalnya dibeli) dari tanah di pulau-pulau terdepan Indonesia, yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Perlu ada sosialisasi pemahaman kepada masyarakat, jangan sampai menggali tanah atau pasir di pulau-pulau terdepan Indonesia tersebut lalu dijual kepada pihak pengembang Singapura. Pengawasan aparatur pemerintah harus lebih diintensifkan. Di sinilah ujian ada-tidaknya kehadiran pemerintah atau negara. Kalau sampai terjadi aparat pemerintah tidak tahu atau terjadi pembiaran, ini merupakan cerminan kelemahan pemerintah kita yang dimanfaatkan oleh Singapura.
Tindakan kedua harus meminta kepada pemerintah Singapura sesegera mungkin atau dalam kesempatan pertama untuk menghentikan kegiatan reklamasi tersebut. Kalau dalam bahasa lunaknya, meminta keterangan dari pemerintah Singapura mengenai masalah reklamasi tersebut. Tidak ada jaminan bahwa reklamasi tersebut tidak berdampak terhadap perbatasan laut kedua negara yang belum maupun yang sudah terselesaikan, mengingat kemungkinan besar reklamasi tersebut mengarah ke perbatasan laut dengan Indonesia. Hal ini berarti mengancam dan membahayakan wilayah perbatasan Indonesia, yang merupakan bentuk ancaman non-militer yang perlu disadari.
Di sini, sifat tenggang rasa atau ewuh pekewuh harus dibuang jauh-jauh. Jangan sampai, karena takut hubungan kedua negara terganggu, Indonesia tidak mau bereaksi alias diam saja. Jangan sampai mewariskan persoalan kepada anak-cucu karena masalah reklamasi tersebut, apabila pada suatu waktu membicarakan kembali perbatasan laut yang belum terselesaikan.
Kalau Indonesia baru bereaksi setelah lautan menjadi daratan, itu sudah terlambat. Secara de facto, Singapura telah menguasai, menduduki, dan mengelolanya. Apalagi Singapura telah mempunyai langkah pembangunan 10 tahun ke depan. Penyelesaiannya lebih rumit dan tidak mudah, memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang mahal, dan belum tentu Singapura mau menyelesaikannya lewat Mahkamah Internasional. Di sini terlihat dan terbaca kelicikan atau kepandaian Singapura berdiplomasi. Atau, Singapura malah menganggap, tanpa perjanjian perbatasan laut dengan Indonesia, Singapura pun tetap dapat hidup lebih leluasa.
Untuk sopan santun, seharusnya Indonesia, sebagai negara terdekat dan berbatasan langsung yang akan mendapat dampaknya, diberi tahu lebih dulu oleh Singapura, tidak melalui wawancara dengan wartawan. Seharusnya Singapura meminta izin terlebih dulu. Analoginya, waktu kita mau membuat rumah mengurus IMB, minimal memberi tahu tetangga kiri-kanan. Di sini terlihat arogansi Singapura. Ini dapat dipakai dalih oleh Singapura seandainya suatu waktu Indonesia memberikan reaksinya yang sudah terlambat. "Sudah kita sampaikan melalui wartawan Indonesia, tidak ada reaksi dari pemerintah Indonesia." Jadi, diplomasi melalui jalur ketiga ini perlu juga kita cermati dan tanggapi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar