|
Berdiri pada
1989 di Canberra, Australia, APEC ditujukan untuk mendekatkan perekonomian
negara maju dan negara berkembang dengan mendorong keterbukaan ekonomi di dalam
kawasan dalam hal investasi dan perdagangan.
Inisiatif-inisiatif
penguatan ekonomi memang sebagian besar difokuskan pada kepentingan investasi
dan perdagangan, meski tidak terbatas untuk membahas isu-isu lain seperti
keamanan dan kerja sama lainnya. APEC hadir sebagai bentuk regionalisme yang
terbuka. Artinya, negara- negara yang tergabung di dalamnya di samping menjamin
bebasnya arus barang, jasa, dan modal di antara anggota sendiri, juga menjamin
terbukanya kerja sama antara kawasan lain.
Dalam sejarah
perjalanan APEC, Indonesia bagian penting dalam meletakkan dasar penguatan
liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi. Pada 1994, sebagai ketua
sekaligus tuan rumah KTT APEC, Indonesia berperan dalam melahirkan Deklarasi
Bogor (Bogor Goals). Deklarasi Bogor setidaknya menegaskan dua hal. Pertama,
diperlukannya aksi nyata untuk menghilangkan hambatan-hambatan bagi terlaksanakannya
kebebasan lalu lintas barang, jasa, dan modal di antara anggota ekonomi APEC
untuk negara maju pada 2010 dan negara berkembang pada 2020. Kedua, menegaskan
bahwa visi Deklarasi Bogor harus dicapai dalam kerangka pendekatan yang telah
disepakati dalam GATT/WTO secara konsisten.
Liberalisasi
dan investasi
Dalam
dokumen Individual Action Plan (IAP) Peer Review yang disampaikan di
Singapura pada 13 Februari 2009, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa
kebijakan ekonominya sudah sesuai alur kesepakatan regional dan internasional.
Para anggota ekonomi yang hadir menyambut baik langkah-langkah yang telah
diambil dan meyakini Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap Bogor Goals
2010-2020 dan berada pada jalur yang tepat.
Penilaian ini
sangat beralasan. Indonesia salah satu negara berkembang anggota APEC yang
menerapkan kebijakan perdagangan dan investasi paling liberal. Rezim investasi
di Indonesia, sebagaimana termuat dalam UU Penanaman Modal, merupakan salah
satu UU investasi paling bebas di dunia. UU ini juga menjadi landasan bagi
dibuatnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 yang mengizinkan penanaman
modal asing di berbagai sektor hingga 99 persen.
Indonesia juga
telah menandatangani dan menyetujui sejumlah Perjanjian Investasi Internasional
(IIAS). Di bidang perdagangan, selain terikat oleh perjanjian perdagangan bebas
multilateral dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Indonesia juga
telah terlibat sedikitnya dalam enam skema perjanjian perdagangan bebas
bilateral maupun regional.
Lalu bagaimana
kepentingan nasional terlindungi dari cengkeraman liberalisasi semacam ini?
Dalam Pasal 33 UUD 1945, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk
mengatur perekonomian nasional agar sumber-sumber kehidupan terhindar dari
penguasaan pasar bebas. Negara harus mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang
tumbuh di Indonesia bertumpu pada usaha bersama dan berasas kekeluargaan,
seperti koperasi, bukan bertumpu pada asas perorangan dan persaingan bebas.
Pemerintah
seolah menutup mata: serbuan liberalisasi telah menyebabkan dominasi jaringan
modal internasional, memunculkan hubungan tak seimbang dan eksploitatif
antarpelaku ekonom. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM mencatat, saat ini 28
ritel modern utama menguasai 31 persen pangsa pasar ritel dengan total omzet
sekitar Rp 70,5 triliun. Kontras dengan ritel tradisional yang total omzet
sebesar Rp 156,9 triliun, dibagi kepada 17,1 juta pedagang, yang 70 persennya
masuk kategori informal.
Karena itu,
jadi kekhawatiran jika pertemuan APEC melahirkan komitmen Pemerintah RI untuk
memperluas jangkauan liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas
lagi. Apalagi, negara maju di dalam APEC mendesak mempercepat liberalisasi pada
sektor yang relatif masih diproteksi, seperti pangan, produk ramah lingkungan,
serta perdagangan jasa lingkungan. Meski disebutkan perhatian kepada ketiga hal
ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah keamanan pangan dan persoalan
lingkungan hidup global, tidak dapat disembunyikan nilai keuntungan dari
perdagangan ketiga hal ini yang sangat menjanjikan bilamana terdapat komitmen
untuk meliberalisasi.
Kita patut
memperingatkan pemerintah agar berhati-hati membuat setiap komitmen baru untuk
meliberalisasi sektor ekonomi Indonesia. Pemerintah harus tetap berpegang pada
nilai- nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam membangun sebuah kerja sama ekonomi
dengan pihak lain, termasuk dalam kerangka APEC. Apalagi menjelang berakhirnya
masa jabatan presiden, SBY sangatlah tidak patut mewariskan beban masalah
kepada presiden baru hasil Pemilu 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar