|
Udara
Republik ini sekarang dipenuhi hiruk-pikuk soal mobil murah. Pejabat-pejabat
pemerintah pusat agaknya telah disetel, semuanya menyokong wacana mobil murah
walau ditentang habis-habisan berbagai pihak, termasuk Pemda DKI, Pemda Depok,
Jawa Tengah, dan entah pemda mana lagi.
Tetapi
yang patut diperhatikan adalah penolakan yang dicetuskan pakar-pakar perkotaan,
para pakar transportasi dan LSM seperti Lembaga Konsumen dan sebagainya.
Yang
patut diacungi jempol adalah langkah konkret Gubernur DKI Joko Widodo yang
melayangkan surat kepada Wakil Presiden Boediono, menyampaikan kegalauannya
menghadapi dampak buruk yang akan ditimbulkan program mobil murah terhadap lalu
lintas di Ibu Kota yang masih sangat parah.
“Ada
apa sebenarnya?” tanya seorang pengojek yang tiap hari mangkal di pintu keluar
Tol Jatibening, baru-baru ini.
Penulis
juga ingin tahu, ada apa sebenarnya, sampai seorang wakil presiden bergelar
profesor doktor berkata, kita tidak boleh melarang warga membeli mobil murah.
Bahkan, mantan wakil presiden Jusuf Kalla ikut menyokong wacana mobil murah itu
lewat pernyataannya yang dikutip sepotong-sepotong oleh stasiun televisi
swasta.
Penulis
teringat masa silam, ketika era pembangunan ekonomi dimulai pemerintahan Orde
Baru tahun 1970-an, yang diarsiteki almarhum Widjojo Nitisastro dkk. Ketika
itu, modal asing masuk ke Indonesia besar-besaran.
Indonesia
ketika itu memang tidak punya duit. Yang ada adalah utang ditambah inflasi,
plus kekayaan alam melimpah yang menunggu dieksploitasi. Pemodal asing tertarik
ke Indonesia karena melihat Indonesia pasar sangat potensial, dengan jumlah
penduduk sangat besar. Bukan karena sebab lain seperti kasihan melihat suatu
bangsa yang masih miskin dan terbelakang.
Yang
jelas, sejumlah pabrik mulai berdiri, di antaranya pabrik semen merek Kujang di
Citeureup, Kabupaten Bogor.
Persoalan
kala itu adalah bagaimana mengangkut semen yang berat itu dari pabrik ke pasar?
Pihak Perhubungan yang kala itu dipimpin Menteri Frans Seda menggagas
pengembangan kereta api sebagai alat angkut yang ampuh dan efisien ke pasar
atau pelabuhan. Dari pelabuhan, ada kapal untuk mengangkutnya ke pulau-pulau
yang membutuhkan.
Namun,
ia kalah suara karena kuatnya lobi industrialis otomotif. Dengan segala cara
mereka ingin truk besar dan kecil mereka “laris manis” di Indonesia. Maka
berjayalah truk-truk seperti Fuso dan Hino, termasuk truk-truk kecil yang dulu
terkenal dengan sebutan colt, mengikuti tipe truk kecil 1.200 cc alias T120
yang sempat menjadi raja jalanan dengan dampak buruknya, kecelakaan demi
kecelakaan yang tidak sedikit merenggut nyawa manusia.
Maka
terhambatlah pengembangan perkeretaapian di Indonesia. Padahal kalau ditengok
ke berbagai penjuru dunia, salah satu alat angkut paling ampuh dan efisien
selain kapal laut adalah kereta api.
Di
sisi lain, berkembanglah industri otomotif, yang walaupun menyediakan lapangan
kerja yang tidak sedikit, tak pernah lepas dari ketiak asing. Buktinya, tak ada
mobil merek nasional. Padahal industri otomotif di Indonesia sudah lebih 40
tahun.
Yang
ada hanya sekadar julukan seperti Kijang, Karimun, Kuda. Kalau soal merek
tetaplah Mitsubishi, Toyota, Daihatsu, Honda, dilengkapi merek-merek Eropa dan
Amerika seperti Mercedes, Volkswagen, Peugeot, Ford, Chevrolet, dan lain
sebagainya.
Indonesia,
kata banyak pembicara di berbagai talk show, hingga saat ini belum mampu
membuat blok mesin. Sebenarnya, pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena ITB
konon pernah berusaha ke arah itu, tetapi karena kondisi dibuat begitu rupa
sehingga tidak feasible, usaha itu mentok.
Padahal,
ketika dulu para assembling mobil itu berdiri, para pejabat
menggembar-gemborkan kelak akan lahir mobil nasional. Barangkali itu yang dulu
dinamakan mobnas, alias KIA yang sempat mengundang kehebohan di era Soeharto.
Lalu,
karena mandulnya kreativitas “anak bangsa” (baca: kemauan politik pemerintah)
dalam memecahkan kemacetan di kota-kota besar bernama Jabodetabek, Bandung,
Semarang, Surabaya, dan lainnya, orang cenderung menggunakan sepeda motor.
Bangsa yang tanggap seperti Jepang melihat kemandegan berpikir di negeri ini
sebagai peluang mencari keuntungan. Mereka membanjiri Indonesia dengan sepeda
motornya, Honda, Yamaha, dan Kawasaki.
Alhasil,
kota-kota besar ternyata tambah macet. Masyarakat juga banyak yang menderita.
Mereka jadi pemarah, tukang maki, mau menang sendiri di jalan, melanggar aturan
lalu lintas. Belum lagi, mereka pasti capek setengah mati seperti yang
saya alami selama belasan tahun. Syukur-syukur tidak jatuh sakit.
Mudah-mudahan “hukum greget” ala Jokowi-Ahok dengan pengempisan ban kendaraan yang parkir sembarangan dapat sedikit memperbaiki tabiat berkendaraan.
Lalu,
sedang asyik-asyiknya Pemda DKI di bawah kepemimpinan pasangan Jokowi-Ahok
mengembalikan kondisi berlalu lintas ke jalan yang benar—mengutamakan
transportasi murah atau alat angkut masal—muncul wacana miring dari pemerintah
pusat, program mobil murah.
“Ada
apa sebenarnya?” kata si pengojek itu.
Itu
tentu bisa ditafsirkan macam-macam, ada kepentingan pejabat bersangkutan sampai
mereka ngotot dengan program mobil murah itu.
Melihat
kota-kota dunia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Berlin, New York, Paris,
London, dan tak ketinggalan kota berpenduduk lebih 20 juta seperti Shanghai,
tak satu pun yang mengabaikan alat transportasi massal seperti kereta bawah
tanah. Bus kota cukup banyak dan nyaman, di samping taksi yang tentu saja
sebagai pelengkap. Bukan sepeda motor, apalagi mobil murah.
Saya
berharap para pejabat yang memosisikan dirinya sebagai negarawan, kembali ke
akal yang sehat.
Tugas
utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang baik seperti jalan raya
dan jembatan, pelabuhan dan bandar udara yang efisien, listrik murah dan tidak
“byarpet” seperti di banyak kota di Kalimantan dan sebagainya, irigasi baik
bagi petani dan peternak, iklim berusaha menyenangkan, termasuk air minum cukup
dan sehat. Bukanlah tugas pemerintah untuk ikut berdagang mobil murah.
Dengan
menyediakan infrastruktur yang baik, dunia usaha pastilah bergairah,
perekonomian juga akan maju. Tak perlu memikirkan mobil murah.
Dengan
kata lain, saya ingin menyarankan kata “mobil” dari mobil murah itu diganti
dengan kedelai, kacang hijau, cabai, bawang, beras, air minum, listrik, dan
komoditi lain yang sangat dibutuhkan rakyat. Komoditas-komoditas tersebut masih
harus diimpor, sementara Koes Plus sudah lama bilang dalam lagunya, “lempar
tongkat saja akan tumbuh saking suburnya bumi Indonesia.” Air minum pun harus
pakai air kemasan dengan
harga tinggi karena lambannya pemerintah menyehatkan
PDAM.
Coba
kita simak. Air kemasan satu galon (19 liter) berkisar antara Rp 12.000-13.000,
jadi 1 liter sekitar Rp 630, dan 1 meter kubik menjadi Rp 630.000.
Akan
lebih mahal lagi kalau kemasan botol 600 cc Rp 3.000. Jadi 1 cc air kemasan
botol harganya Rp 50, dan kalau dikonversi ke kubik harganya akan mencapai Rp
5.000.000. Padahal kalau air PAM dapat dipercaya seperti di luar negeri, dapat
langsung diminum begitu mengalir dari keran, pukul rata hanya sekitar Rp 7.500
per meter kubik.
Hal-hal
seperti ini yang seyogianya masuk dalam program pemerintah, memikirkan
dan mengupayakan kebutuhan pokok dan mendasar bagi warga negara, dengan harga
murah, bukan menuruti kehendak industriawan seperti mobil murah, yang pada
hakikatnya belum tentu murah.
Setuju?
So pasti. Kecuali kalau pura-pura tidak mengerti, dan ingin dihujat rakyat
banyak seraya ditertawai warga sedunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar