Rabu, 02 Oktober 2013

Antara Mobil Murah, Kedelai Murah, dan Air Minum Murah

Antara Mobil Murah, Kedelai Murah,
dan Air Minum Murah
Victor Sihite  ;  Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 01 Oktober 2013


Udara Republik ini sekarang dipenuhi hiruk-pikuk soal mobil murah. Pejabat-pejabat pemerintah pusat agaknya telah disetel, semuanya menyokong wacana mobil murah walau ditentang habis-habisan berbagai pihak, termasuk Pemda DKI, Pemda Depok, Jawa Tengah, dan entah pemda mana lagi.
Tetapi yang patut diperhatikan adalah penolakan yang dicetuskan pakar-pakar perkotaan, para pakar transportasi dan LSM seperti Lembaga Konsumen dan sebagainya.

Yang patut diacungi jempol adalah langkah konkret Gubernur DKI Joko Widodo yang melayangkan surat kepada Wakil Presiden Boediono, menyampaikan kegalauannya menghadapi dampak buruk yang akan ditimbulkan program mobil murah terhadap lalu lintas di Ibu Kota yang masih sangat parah.
“Ada apa sebenarnya?” tanya seorang pengojek yang tiap hari mangkal di pintu keluar Tol Jatibening, baru-baru ini.

Penulis juga ingin tahu, ada apa sebenarnya, sampai seorang wakil presiden bergelar profesor doktor berkata, kita tidak boleh melarang warga membeli mobil murah. Bahkan, mantan wakil presiden Jusuf Kalla ikut menyokong wacana mobil murah itu lewat pernyataannya yang dikutip sepotong-sepotong oleh stasiun televisi swasta.

Penulis teringat masa silam, ketika era pembangunan ekonomi dimulai pemerintahan Orde Baru tahun 1970-an, yang diarsiteki almarhum Widjojo Nitisastro dkk. Ketika itu, modal asing masuk ke Indonesia besar-besaran.

Indonesia ketika itu memang tidak punya duit. Yang ada adalah utang ditambah inflasi, plus kekayaan alam melimpah yang menunggu dieksploitasi. Pemodal asing tertarik ke Indonesia karena melihat Indonesia pasar sangat potensial, dengan jumlah penduduk sangat besar. Bukan karena sebab lain seperti kasihan melihat suatu bangsa yang masih miskin dan terbelakang.

Yang jelas, sejumlah pabrik mulai berdiri, di antaranya pabrik semen merek Kujang di Citeureup, Kabupaten Bogor.

Persoalan kala itu adalah bagaimana mengangkut semen yang berat itu dari pabrik ke pasar? Pihak Perhubungan yang kala itu dipimpin Menteri Frans Seda menggagas pengembangan kereta api sebagai alat angkut yang ampuh dan efisien ke pasar atau pelabuhan. Dari pelabuhan, ada kapal untuk mengangkutnya ke pulau-pulau yang membutuhkan.

Namun, ia kalah suara karena kuatnya lobi industrialis otomotif. Dengan segala cara mereka ingin truk besar dan kecil mereka “laris manis” di  Indonesia. Maka berjayalah truk-truk seperti Fuso dan Hino, termasuk truk-truk kecil yang dulu terkenal dengan sebutan colt, mengikuti tipe truk kecil 1.200 cc alias T120 yang sempat menjadi raja jalanan dengan dampak buruknya, kecelakaan demi kecelakaan yang tidak sedikit merenggut nyawa manusia.

Maka terhambatlah pengembangan perkeretaapian di Indonesia. Padahal kalau ditengok ke berbagai penjuru dunia, salah satu alat angkut paling ampuh dan efisien selain kapal laut adalah kereta api.
Di sisi lain, berkembanglah industri otomotif, yang walaupun menyediakan lapangan kerja yang tidak sedikit, tak pernah lepas dari ketiak asing. Buktinya, tak ada mobil merek nasional. Padahal industri otomotif di Indonesia sudah lebih 40 tahun.

Yang ada hanya sekadar julukan seperti Kijang, Karimun, Kuda. Kalau soal merek tetaplah Mitsubishi, Toyota, Daihatsu, Honda, dilengkapi merek-merek Eropa dan Amerika seperti Mercedes, Volkswagen, Peugeot, Ford, Chevrolet, dan lain sebagainya.

Indonesia, kata banyak pembicara di berbagai talk show, hingga saat ini belum mampu membuat blok mesin. Sebenarnya, pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena ITB konon pernah berusaha ke arah itu, tetapi karena kondisi dibuat begitu rupa sehingga tidak feasible, usaha itu mentok.

Padahal, ketika dulu para assembling mobil itu berdiri, para pejabat menggembar-gemborkan kelak akan lahir mobil nasional. Barangkali itu yang dulu dinamakan mobnas, alias KIA yang sempat mengundang kehebohan di era Soeharto.

Lalu, karena mandulnya kreativitas “anak bangsa” (baca: kemauan politik pemerintah) dalam memecahkan kemacetan di kota-kota besar bernama Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lainnya, orang cenderung menggunakan sepeda motor. Bangsa yang tanggap seperti Jepang melihat kemandegan berpikir di negeri ini sebagai peluang mencari keuntungan. Mereka membanjiri Indonesia dengan sepeda motornya, Honda, Yamaha, dan Kawasaki.

Alhasil, kota-kota besar ternyata tambah macet. Masyarakat juga banyak yang menderita. Mereka jadi pemarah, tukang maki, mau menang sendiri di jalan, melanggar aturan lalu lintas. Belum lagi, mereka pasti  capek setengah mati seperti yang saya alami selama belasan tahun. Syukur-syukur tidak jatuh sakit.

Mudah-mudahan “hukum greget” ala Jokowi-Ahok dengan pengempisan ban kendaraan yang parkir sembarangan dapat sedikit memperbaiki tabiat berkendaraan.

Lalu, sedang asyik-asyiknya Pemda DKI di bawah kepemimpinan pasangan Jokowi-Ahok mengembalikan kondisi berlalu lintas ke jalan yang benar—mengutamakan transportasi murah atau alat angkut masal—muncul wacana miring dari pemerintah pusat, program mobil murah.

“Ada apa sebenarnya?”  kata si pengojek itu.

Itu  tentu bisa ditafsirkan macam-macam, ada kepentingan pejabat bersangkutan sampai mereka ngotot dengan program mobil murah itu.

Melihat kota-kota dunia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Berlin, New York, Paris, London, dan tak ketinggalan kota berpenduduk lebih 20 juta seperti Shanghai, tak satu pun yang mengabaikan alat transportasi massal seperti kereta bawah tanah. Bus kota cukup banyak dan nyaman, di samping taksi yang tentu saja sebagai pelengkap. Bukan sepeda motor, apalagi mobil murah.

Saya berharap para pejabat yang memosisikan dirinya sebagai negarawan, kembali ke akal yang sehat.
Tugas utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang baik seperti jalan raya dan jembatan, pelabuhan dan bandar udara yang efisien, listrik murah dan tidak “byarpet” seperti di banyak kota di Kalimantan dan sebagainya, irigasi baik bagi petani dan peternak, iklim berusaha menyenangkan, termasuk air minum cukup dan sehat. Bukanlah tugas pemerintah untuk ikut berdagang mobil murah.

Dengan menyediakan infrastruktur yang baik, dunia usaha pastilah bergairah, perekonomian juga akan maju. Tak perlu memikirkan mobil murah.

Dengan kata lain, saya ingin menyarankan kata “mobil” dari mobil murah itu diganti dengan kedelai, kacang hijau, cabai, bawang, beras, air minum, listrik, dan komoditi lain yang sangat dibutuhkan rakyat. Komoditas-komoditas tersebut masih harus diimpor, sementara Koes Plus sudah lama bilang dalam lagunya, “lempar tongkat saja akan tumbuh saking suburnya bumi Indonesia.” Air minum pun harus pakai air kemasan dengan 
harga tinggi karena lambannya pemerintah menyehatkan PDAM.

Coba kita simak. Air kemasan satu galon (19 liter) berkisar antara Rp 12.000-13.000, jadi 1 liter sekitar  Rp 630, dan 1 meter kubik menjadi Rp 630.000.

Akan lebih mahal lagi kalau kemasan botol 600 cc Rp 3.000. Jadi 1 cc air kemasan botol harganya Rp 50, dan kalau dikonversi ke kubik harganya akan mencapai Rp 5.000.000. Padahal kalau air PAM dapat dipercaya seperti di luar negeri, dapat langsung diminum begitu mengalir dari keran, pukul rata hanya sekitar Rp 7.500 per meter kubik.

Hal-hal seperti  ini yang seyogianya masuk dalam program pemerintah, memikirkan dan mengupayakan kebutuhan pokok dan mendasar bagi warga negara, dengan harga murah, bukan menuruti kehendak industriawan seperti mobil murah, yang pada hakikatnya belum tentu murah.


Setuju? So pasti. Kecuali kalau pura-pura tidak mengerti, dan ingin dihujat rakyat banyak seraya ditertawai warga sedunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar