|
Kongres Kedua
Pewayangan di Yogyakarta (22-24/6) telah berakhir. Ada beberapa rekomendasi
yang dihasilkan terkait pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan wayang. Hal itu antara lain mendesak negara untuk memproteksi
wayang.
Proteksi itu
bisa dilakukan negara melalui regulasi dan politik anggaran. Melalui keputusan
legislatif dan eksekutif, diharapkan lahir undang-undang dan peraturan yang
menjadi payung hukum bagi jagat pewayangan untuk memiliki hak hidup sehingga ia
tidak terpinggirkan dalam kehidupan pragmatik yang dihegemoni liberalisme dan
kapitalisme. Dalam kesetaraan kultural, diharapkan pewayangan mampu bersaing
dan bersanding dengan produk-produk budaya asing yang adidaya dalam modal,
jaringan, dan media. Setidaknya wayang mampu mengasah publik melalui
narasi-narasi yang kaya nilai dan simbol untuk mengimbangi dominasi dan
hegemoni narasi-narasi budaya massa-kapitalistik yang serba dangkal atau
vulgar.
Adapun politik
anggaran melahirkan kepastian pendanaan bagi pewayangan baik melalui APBN
maupun APBD atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Dengan anggaran yang
sehat, pewayangan dapat mengembangkan diri, baik sebagai sumber inspirasi
kolektif, pendidikan karakter, kreativitas estetik, pusaka budaya, ataupun
wahana kultural untuk memperkuat identitas bangsa. Wayang dalam konteks ini
bukan hanya dipahami sebagai realitas budaya tampak (tangible), tetapi juga realitas budaya tak tampak (intangible) alias jagat nilai yang
selalu aktual dan operatif.
Wayang masuk sekolah
Kebudayaan yang
kuat selalu didukung dan dilindungi sistem kekuasaan negara. Begitu juga pewayangan
sehingga ia mampu membangun martabatnya dalam kehidupan kebangsaan. Tingginya
martabat pewayangan bisa diukur dari keberadaannya sebagai sumber nilai yang
diinternalisasi seluruh pemangku kepentingannya dan diwujudkan dalam praksis
kehidupan. Nilai-nilai bermakna yang diserap dari pewayangan mendorong pemangku
kepentingan memiliki kebanggaan dan sikap dan tindakan untuk membela
pewayangan. Problem serius hingga hari ini adalah belum optimalnya
internalisasi nilai atas pewayangan akibat hadangan banyak hambatan.
Kesadaran itu
mendorong Kongres Pewayangan untuk melahirkan rekomendasi tentang sangat
pentingnya aktualisasi pewayangan melalui sistem pendidikan nasional. Di sini,
pewayangan dihadirkan menjadi muatan lokal yang wajib dikenali, dipelajari, dipahami,
dicintai, dan dijalani peserta didik berbagai jenjang di sekolah. Hasil yang
diharapkan antara lain terasahnya kecerdasan intelektual, emosional, dan
sosial. Ini merupakan investasi kultural yang sangat penting untuk melahirkan
generasi bangsa yang memiliki kapabilitas, komitmen, dan integritas. Ke depan,
idealnya ketika menjalani peran sosialnya, mereka tidak tumbuh menjadi
koruptor-koruptor dan penjahat konstitusi. Minimal, dengan menyerap dan
memahami ajaran wayang, para peserta didik menjadi orang baik (tidak melabrak
nilai, etika, moralitas, dan hukum).
Penerapan
ajaran wayang dalam sistem pendidikan nasional memiliki potensi sangat besar
untuk membangun karakter bangsa. Dengan jalan strategis itu, generasi muda
bangsa dapat diselamatkan dari terkaman kebiasaan korupsi dan kejahatan
konstitusi serta dekadensi lainnya.
Pertanyaannya,
apakah rekomendasi kongres yang sangat strategis itu bisa melahirkan tindakan
konkret di level kebijakan penyelenggara negara dan pemerintahan? Inilah
pertanyaan klasik yang muncul pada setiap kongres berakhir. Biasanya, seluruh
rekomendasi ideal yang dihasilkan hanya tersimpan di almari beku dan kelak
dalam kongres selanjutnya dibuka dan dibicarakan kembali. Terjadilah involusi.
Jagat pewayangan hanya jalan di tempat!
Penyakit kronis
kongres harus disembuhkan dengan tindakan pemangku kepentingan wayang, baik
pemerintah maupun organisasi pewayang, untuk mengawal amanat kongres. Misalnya,
membentuk badan pekerja untuk mendesakkan agenda kepentingan yang berisi isu-isu
strategis itu ke lembaga negara legislatif dan eksekutif. Hasil yang diharapkan
adalah lahirnya regulasi dan politik anggaran yang berpihak kepada dunia
pewayangan. Di tingkat praksis, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri UGM sebagai bebotoh kongres ini dapat
bersinergi dengan organisasi pewayangan seperti Pepadi dan Senawangi.
Alarm kepunahan
wayang sudah melengking-lengking di telinga bangsa. Saatnya ada upaya
menyadarkan penyelenggara negara untuk menyelamatkan wayang. Ini bukan hanya
berurusan dengan seni dan budaya, melainkan juga dengan tata kelola bernegara
dan berkonstitusi. Dari jagat wayang yang sehat dan kuat, sebuah bangsa bisa
tercerahkan menjadi bangsa yang bermartabat. Isu martabat bangsa inilah yang
sekarang hilang sehingga bangsa ini terancam menjadi bangsa kuli, bangsa
makelar, dan bangsa konsumen. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar