Minggu, 01 September 2013

Wayang : Sesuai Kongres

Wayang : Sesuai Kongres
Indra Tranggono ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 01 September 2013


Kongres Kedua Pewayangan di Yogyakarta (22-24/6) telah berakhir. Ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan terkait pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan wayang. Hal itu antara lain mendesak negara untuk memproteksi wayang.
Proteksi itu bisa dilakukan negara melalui regulasi dan politik anggaran. Melalui keputusan legislatif dan eksekutif, diharapkan lahir undang-undang dan peraturan yang menjadi payung hukum bagi jagat pewayangan untuk memiliki hak hidup sehingga ia tidak terpinggirkan dalam kehidupan pragmatik yang dihegemoni liberalisme dan kapitalisme. Dalam kesetaraan kultural, diharapkan pewayangan mampu bersaing dan bersanding dengan produk-produk budaya asing yang adidaya dalam modal, jaringan, dan media. Setidaknya wayang mampu mengasah publik melalui narasi-narasi yang kaya nilai dan simbol untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni narasi-narasi budaya massa-kapitalistik yang serba dangkal atau vulgar.
Adapun politik anggaran melahirkan kepastian pendanaan bagi pewayangan baik melalui APBN maupun APBD atau sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Dengan anggaran yang sehat, pewayangan dapat mengembangkan diri, baik sebagai sumber inspirasi kolektif, pendidikan karakter, kreativitas estetik, pusaka budaya, ataupun wahana kultural untuk memperkuat identitas bangsa. Wayang dalam konteks ini bukan hanya dipahami sebagai realitas budaya tampak (tangible), tetapi juga realitas budaya tak tampak (intangible) alias jagat nilai yang selalu aktual dan operatif.
Wayang masuk sekolah
Kebudayaan yang kuat selalu didukung dan dilindungi sistem kekuasaan negara. Begitu juga pewayangan sehingga ia mampu membangun martabatnya dalam kehidupan kebangsaan. Tingginya martabat pewayangan bisa diukur dari keberadaannya sebagai sumber nilai yang diinternalisasi seluruh pemangku kepentingannya dan diwujudkan dalam praksis kehidupan. Nilai-nilai bermakna yang diserap dari pewayangan mendorong pemangku kepentingan memiliki kebanggaan dan sikap dan tindakan untuk membela pewayangan. Problem serius hingga hari ini adalah belum optimalnya internalisasi nilai atas pewayangan akibat hadangan banyak hambatan.
Kesadaran itu mendorong Kongres Pewayangan untuk melahirkan rekomendasi tentang sangat pentingnya aktualisasi pewayangan melalui sistem pendidikan nasional. Di sini, pewayangan dihadirkan menjadi muatan lokal yang wajib dikenali, dipelajari, dipahami, dicintai, dan dijalani peserta didik berbagai jenjang di sekolah. Hasil yang diharapkan antara lain terasahnya kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial. Ini merupakan investasi kultural yang sangat penting untuk melahirkan generasi bangsa yang memiliki kapabilitas, komitmen, dan integritas. Ke depan, idealnya ketika menjalani peran sosialnya, mereka tidak tumbuh menjadi koruptor-koruptor dan penjahat konstitusi. Minimal, dengan menyerap dan memahami ajaran wayang, para peserta didik menjadi orang baik (tidak melabrak nilai, etika, moralitas, dan hukum).
Penerapan ajaran wayang dalam sistem pendidikan nasional memiliki potensi sangat besar untuk membangun karakter bangsa. Dengan jalan strategis itu, generasi muda bangsa dapat diselamatkan dari terkaman kebiasaan korupsi dan kejahatan konstitusi serta dekadensi lainnya.
Pertanyaannya, apakah rekomendasi kongres yang sangat strategis itu bisa melahirkan tindakan konkret di level kebijakan penyelenggara negara dan pemerintahan? Inilah pertanyaan klasik yang muncul pada setiap kongres berakhir. Biasanya, seluruh rekomendasi ideal yang dihasilkan hanya tersimpan di almari beku dan kelak dalam kongres selanjutnya dibuka dan dibicarakan kembali. Terjadilah involusi. Jagat pewayangan hanya jalan di tempat!
Penyakit kronis kongres harus disembuhkan dengan tindakan pemangku kepentingan wayang, baik pemerintah maupun organisasi pewayang, untuk mengawal amanat kongres. Misalnya, membentuk badan pekerja untuk mendesakkan agenda kepentingan yang berisi isu-isu strategis itu ke lembaga negara legislatif dan eksekutif. Hasil yang diharapkan adalah lahirnya regulasi dan politik anggaran yang berpihak kepada dunia pewayangan. Di tingkat praksis, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri UGM sebagai bebotoh kongres ini dapat bersinergi dengan organisasi pewayangan seperti Pepadi dan Senawangi.
Alarm kepunahan wayang sudah melengking-lengking di telinga bangsa. Saatnya ada upaya menyadarkan penyelenggara negara untuk menyelamatkan wayang. Ini bukan hanya berurusan dengan seni dan budaya, melainkan juga dengan tata kelola bernegara dan berkonstitusi. Dari jagat wayang yang sehat dan kuat, sebuah bangsa bisa tercerahkan menjadi bangsa yang bermartabat. Isu martabat bangsa inilah yang sekarang hilang sehingga bangsa ini terancam menjadi bangsa kuli, bangsa makelar, dan bangsa konsumen. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar