Minggu, 01 September 2013

“Out of The Box”

“Out of The Box”
Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 01 September 2013


Saya ini seorang yatim piatu. Beberapa teman memiliki status yang sama, ada juga yang hanya yatim dan hanya piatu. Karena setali tiga uang, predikat itu, serta kesengsaraannya, tak terlalu berat untuk dirasakan.
Kalaupun acap kali ada perasaan galau, saya langsung menghibur diri dengan berpikir, yang galau, kan, bukan cuma saya saja. Dengan kata lain, ah... ada yang menemani ini.
Tenggelam bersama
Ada baiknya saya berpikir demikian sehingga saya merasa tak terbebani dalam menjalani kehidupan ini. Apalagi, saya juga tak memiliki pasangan hidup, sengsaranya terasa makin menjadi.
Kalau tiba-tiba perasaan kesepian, perasaan tidak laku datang menyergap dan melahirkan lara, maka alat yang membuat saya bisa kembali tegak adalah berpikir kalau beberapa teman juga menghadapi situasi yang sama.
Akibatnya, saya jadi terlena karena ada yang menemani. Terlena mengeluh, terlena galau, terlena kesepian, terlena memiliki hidup yang sengsara. Apalagi, di antara teman-teman itu ada yang sungguh negatif sehingga untuk kembali berdiri saja susahnya setengah mati.
Mereka bahkan merasa hidup itu sungguh tidak adil dan mengapa mereka yang harus mengalaminya. Maka, awalnya saya yang tak berpikir demikian lama-kelamaan terlena untuk mulai berpikir tidak bisa berdiri, dan mulai menganggap normal kalau saya tidak bisa berdiri.
Singkatnya, kalau jumlah orang hidupnya terpuruk begitu banyaknya, dan saya juga terpuruk, saya menganggap terpuruk itu tidak apa-apa. Normal karena semua orang terpuruk. Normal semua orang mulai ngedumel.
Kemudian saya diingatkan oleh seorang teman saat menjalani liburan selama empat hari. Yang namanya out of the box itu adalah kemampuan untuk bangkit ketika semua orang terpuruk. Out of the box bukan mengumpulkan jumlah yang terpuruk, dan menyimpulkan kalau makin banyak jumlahnya, saya dalam posisi aman karena ada banyak yang menemani.
Saat tulisan ini dibuat, situasi rupiah dalam keadaan melemah. Satu dollar Amerika Serikat bisa menembus angka Rp 11.000. Keadaan seperti itu adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk saya saja. Masalahnya, setiap orang akan melakukan adaptasi terhadap situasi itu. Ada yang mengeluh, ada yang mencari solusi.
Bangkit sendirian
Saya mengeluh, sedangkan teman saya mencari akal bagaimana mengatasi situasi macam ini. Karena saya mengeluh, saya kesal dan kemudian mengajukan pertanyaan mengapa hal ini terjadi (why). Sementara teman saya yang berpikir mencari jalan keluar, ia berpikir bagaimana caranya mengatasi kejadian ini (how).
Kondisi macam melemahnya rupiah adalah sebuah keadaan di luar kemampuan saya dan itu tak bisa dihindari. Mengeluh atau mencari solusi adalah dua pilihan yang bisa dilakukan. Pertanyaannya kemudian, saya memilih yang mana?
Saya memilih mengeluh karena menurut perasaan saya, situasi seperti itu mengundang banyak orang untuk mengeluh dibandingkan dengan mencari solusi. Karena lebih banyak yang mengeluh, saya merasa dalam satu situasi yang ’aman’ karena saya tidak berbeda dengan mereka. Apalagi, kebiasaan saya yang selalu berpikir bahwa yang banyak itu acapkali yang benar.
Menjadi yatim piatu bukan sebuah keadaan yang saya buat, tetapi yang bisa saya perbuat adalah mau menyesali seumur hidup atau menerima keadaan. Saya mengeluh berbulan lamanya. Berjuta kali saya mengatakan bahwa hidup itu tidak adil.
Saya menjadi kesal mengapa ini terjadi. Saya ini, kan, masih membutuhkan orangtua, saya ini, kan, gini, saya ini, kan, gitu. Kenapa saya? Jadi begitu lamanya kata why berkeliaran di kepala dan melahirkan kekesalan yang sangat.
Sayangnya, kehidupan harus berjalan, mau saya mengeluh atau tidak. Kehidupan terus berjalan dengan ketidakadilannya, mau banyak orang ’menemani’ saya atau tidak. Kalau hari ini saya bisa bertahan hidup tanpa orangtua, itu karena pada akhirnya saya kelelahan karena tenggelam bersama kata why, dan kemudian suka tidak suka, saya harus memulai menggunakan kata how itu.
Saya bisa berdiri sendiri karena pada akhirnya saya harus keluar dari ’pertemanan’ yang begitu akrabnya dengan sejuta umat yang memiliki masalah yang sama dan tak berkeinginan untuk bangkit.
Saya sampai lupa bahwa keakraban itu menenggelamkan segalanya. Mau tidak mau, saya tak bisa lagi berpikir, kalau jumlah yang tenggelam banyak, saya juga tidak masalah untuk tenggelam.
Out of the box itu memerlukan keberanian, memerlukan akal yang tenang, dan kemudian mulai berhitung dan memetakan keadaan, dan setelah itu mencari solusi yang tepat. Buat saya, keberanian harus memiliki bobot yang paling tinggi.
Sebab, tenggelam itu memiliki daya seperti pusaran air yang menyeret masuk semakin dalam, dan bukan magnet yang mampu menarik keluar dan bangkit. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar