|
Saya ini
seorang yatim piatu. Beberapa teman memiliki status yang sama, ada juga yang
hanya yatim dan hanya piatu. Karena setali tiga uang, predikat itu, serta
kesengsaraannya, tak terlalu berat untuk dirasakan.
Kalaupun acap
kali ada perasaan galau, saya langsung menghibur diri dengan berpikir, yang
galau, kan, bukan cuma saya saja. Dengan kata lain, ah... ada yang menemani
ini.
Tenggelam bersama
Ada baiknya
saya berpikir demikian sehingga saya merasa tak terbebani dalam menjalani
kehidupan ini. Apalagi, saya juga tak memiliki pasangan hidup, sengsaranya
terasa makin menjadi.
Kalau tiba-tiba
perasaan kesepian, perasaan tidak laku datang menyergap dan melahirkan lara,
maka alat yang membuat saya bisa kembali tegak adalah berpikir kalau beberapa
teman juga menghadapi situasi yang sama.
Akibatnya, saya
jadi terlena karena ada yang menemani. Terlena mengeluh, terlena galau, terlena
kesepian, terlena memiliki hidup yang sengsara. Apalagi, di antara teman-teman
itu ada yang sungguh negatif sehingga untuk kembali berdiri saja susahnya
setengah mati.
Mereka bahkan
merasa hidup itu sungguh tidak adil dan mengapa mereka yang harus mengalaminya.
Maka, awalnya saya yang tak berpikir demikian lama-kelamaan terlena untuk mulai
berpikir tidak bisa berdiri, dan mulai menganggap normal kalau saya tidak bisa
berdiri.
Singkatnya,
kalau jumlah orang hidupnya terpuruk begitu banyaknya, dan saya juga terpuruk,
saya menganggap terpuruk itu tidak apa-apa. Normal karena semua orang terpuruk.
Normal semua orang mulai ngedumel.
Kemudian saya
diingatkan oleh seorang teman saat menjalani liburan selama empat hari. Yang
namanya out of the box itu
adalah kemampuan untuk bangkit ketika semua orang terpuruk. Out of the box bukan mengumpulkan
jumlah yang terpuruk, dan menyimpulkan kalau makin banyak jumlahnya, saya dalam
posisi aman karena ada banyak yang menemani.
Saat tulisan
ini dibuat, situasi rupiah dalam keadaan melemah. Satu dollar Amerika Serikat
bisa menembus angka Rp 11.000. Keadaan seperti itu adalah untuk semua orang,
bukan hanya untuk saya saja. Masalahnya, setiap orang akan melakukan adaptasi
terhadap situasi itu. Ada yang mengeluh, ada yang mencari solusi.
Bangkit sendirian
Saya mengeluh,
sedangkan teman saya mencari akal bagaimana mengatasi situasi macam ini. Karena
saya mengeluh, saya kesal dan kemudian mengajukan pertanyaan mengapa hal ini
terjadi (why). Sementara teman saya
yang berpikir mencari jalan keluar, ia berpikir bagaimana caranya mengatasi
kejadian ini (how).
Kondisi macam
melemahnya rupiah adalah sebuah keadaan di luar kemampuan saya dan itu tak bisa
dihindari. Mengeluh atau mencari solusi adalah dua pilihan yang bisa dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, saya memilih yang mana?
Saya memilih
mengeluh karena menurut perasaan saya, situasi seperti itu mengundang banyak
orang untuk mengeluh dibandingkan dengan mencari solusi. Karena lebih banyak
yang mengeluh, saya merasa dalam satu situasi yang ’aman’ karena saya tidak
berbeda dengan mereka. Apalagi, kebiasaan saya yang selalu berpikir bahwa yang
banyak itu acapkali yang benar.
Menjadi yatim
piatu bukan sebuah keadaan yang saya buat, tetapi yang bisa saya perbuat adalah
mau menyesali seumur hidup atau menerima keadaan. Saya mengeluh berbulan
lamanya. Berjuta kali saya mengatakan bahwa hidup itu tidak adil.
Saya menjadi
kesal mengapa ini terjadi. Saya ini, kan, masih membutuhkan orangtua, saya ini,
kan, gini, saya ini, kan, gitu. Kenapa saya? Jadi begitu lamanya
kata why berkeliaran di kepala dan melahirkan kekesalan yang sangat.
Sayangnya,
kehidupan harus berjalan, mau saya mengeluh atau tidak. Kehidupan terus
berjalan dengan ketidakadilannya, mau banyak orang ’menemani’ saya atau tidak.
Kalau hari ini saya bisa bertahan hidup tanpa orangtua, itu karena pada
akhirnya saya kelelahan karena tenggelam bersama kata why, dan kemudian
suka tidak suka, saya harus memulai menggunakan kata how itu.
Saya bisa
berdiri sendiri karena pada akhirnya saya harus keluar dari ’pertemanan’ yang
begitu akrabnya dengan sejuta umat yang memiliki masalah yang sama dan tak
berkeinginan untuk bangkit.
Saya sampai
lupa bahwa keakraban itu menenggelamkan segalanya. Mau tidak mau, saya tak bisa
lagi berpikir, kalau jumlah yang tenggelam banyak, saya juga tidak masalah
untuk tenggelam.
Out of the box itu memerlukan
keberanian, memerlukan akal yang tenang, dan kemudian mulai berhitung dan
memetakan keadaan, dan setelah itu mencari solusi yang tepat. Buat saya,
keberanian harus memiliki bobot yang paling tinggi.
Sebab,
tenggelam itu memiliki daya seperti pusaran air yang menyeret masuk semakin
dalam, dan bukan magnet yang mampu menarik keluar dan bangkit. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar