|
Beberapa saat
lalu, penulis menjadi salah satu pembicara dalam forum diskusi di LIPI dengan
tema ”Film tentang Nasionalisme di Perbatasan”. Pembicaraan melebar menjadi
pentingnya riset dalam sebuah produksi film setelah Asvi Warman Adam, peneliti
senior LIPI yang juga menjadi pembicara, mengomentari film Tanah Surga.
Katanya.
Menurut Asvi,
beberapa adegan dan dialog dalam film tersebut meleset dari perspektif sejarah.
Sebagai salah satu pekerja film yang terlibat dalam film tersebut, penulis
menjawab bahwa memang ada banyak keterbatasan terutama dalam risetnya.
Belakangan
ini, bioskop kita dipenuhi dengan film-film dengan latar belakang sejarah.
Misalnya Sang Pencerah, Soegija, Sang Kyai, dan yang sebentar
lagi beredar adalah film Soekarno. Film-film tersebut memberi
tantangan para kreatornya untuk melakukan riset agar bisa memvisualkan apa yang
terjadi di Indonesia pada masa lalu.
Riset adalah
salah satu unsur dominan dalam produksi film. Riset bahkan menjadi kebutuhan
penting sebelum proses kreatif lain dilakukan. Riset akan berpengaruh besar
terhadap konsep cerita dan pembiayaan. Riset pula yang akan meyakinkan penonton
bahwa kejadian di film tidak berbeda jauh dengan kondisi sebenarnya.
Fungsi riset
Idealnya,
setiap produk film didukung riset mendalam. Dalam konteks melihat dan
merekonstruksi masa lalu, maka tim periset akan mencari data dan informasi
sebanyak mungkin terkait dengan tema film. Yang menjadi fokus penelitian
biasanya adalah bentuk bangunan, pakaian, gaya rambut, dan berbagai peralatan.
Riset
mengumpulkan pula informasi tentang adat dan kebiasaan setempat, lokasi atau
tempat yang sesuai dengan kebutuhan cerita, sehingga penulis skenario bisa
mendiskripsikannya dalam bentuk adegan dan dialog.
Bagi pemain
film, riset berfungsi memberikan impuls ketika mereka melakukan bahasa tubuh
tertentu. Misalnya saja, kebiasaan cara duduk jongkok perempuan Timor, atau
bagaimana masyarakat di sana selalu berbicara dengan volume keras. Teknik tatap
muka bisa menjadi salah satu caranya.
Penulis pernah
mendampingi Christine Hakim menjelang produksi film Daun di Atas
Bantal yang disutradarai Garin Nugroho. Ia memerankan tokoh Asih, seorang
ibu asuh dari beberapa anak jalanan di Yogyakarta. Dengan intens Christine
Hakim masuk dalam kehidupan mereka, makan bersama, dan bahkan beberapa kali
berada di perempatan jalan depan Kantor Pos Yogyakarta untuk mengamen.
Hal yang sama
dilakukan Alexandra Gottardo sebelum melakoni tokoh Tatiana di
film Tanah Air Beta karya sutradara Ari Sihasale. Ia tinggal di kamp
pengungsian di Haliwen Atambua untuk tahu bagaimana ibu-ibu pengungsi hidup
sendiri dalam lingkungan pengungsian yang serba depresif dan kekurangan. Dalam
kesehariannya, ia makan apa yang dimakan oleh para pengungsi tersebut dan
mencuci bajunya sendiri di tempat yang sama.
Kreator film
yang menisbikan riset akan melihat semua bahasa kreatif lewat interpretasinya
sendiri. Hal yang paling mudah kita temukan adalah ketika kita menyaksikan film
atau tayangan audio visual yang selalu menampilkan warna masa lalu dengan
sephia atau warna kecoklatan tua. Warna kecoklatan atau cenderung gelap adalah
interpretasi personal kreator tentang masa lalu. Padahal, masa lalu pun pasti
mengenal warna-warna cerah, seperti merah atau jingga. Atau lihat kostum para
pemeran yang cenderung sederhana, misalnya atasan polos dengan kerah baju
tegak. Jangan-jangan yang kita lihat di foto-foto kakek-nenek kita lebih modis
dengan rimpel-rimpel atau model potongan lainnya.
Riset itu
kebutuhan
Akan tetapi,
banyak produser film yang belum melihat urgensi riset. Apalagi jika film yang
akan diproduksi tidak berlatar belakang masa lalu atau sejarah. Mereka lupa,
riset tidak hanya dibutuhkan oleh produsen film sejarah.
Dalih produser
biasanya adalah waktu dan biaya. Riset membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Periset film atau bahkan kreator dan pemain film harus bertemu dengan nara-
sumber, mewawancarai, membaca banyak literatur, atau melihat
banyak footage. Ada analisis psikologis bagi pemain agar mereka mampu
memainkan karakter lebih bagus.
Semua tuntutan
itu idealnya harus dipenuhi. Itulah kemenangan industri besar perfilman di
negara maju: setiap elemen filmis dalam film melalui tahapan riset yang detail
dan terperinci. Sebuah bahasan visual dalam bentuk film tidak hanya akan sukses
secara komersial, tetapi film pun akan menjadi sebuah rekaman sejarah dan media
edukasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar