Minggu, 01 September 2013

Riset di Balik Sukses Film

Riset di Balik Sukses Film
Gunawan Raharja ;   Pekerja Film
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Beberapa saat lalu, penulis menjadi salah satu pembicara dalam forum diskusi di LIPI dengan tema ”Film tentang Nasionalisme di Perbatasan”. Pembicaraan melebar menjadi pentingnya riset dalam sebuah produksi film setelah Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI yang juga menjadi pembicara, mengomentari film Tanah Surga. Katanya.
Menurut Asvi, beberapa adegan dan dialog dalam film tersebut meleset dari perspektif sejarah. Sebagai salah satu pekerja film yang terlibat dalam film tersebut, penulis menjawab bahwa memang ada banyak keterbatasan terutama dalam risetnya.
Belakangan ini, bioskop kita dipenuhi dengan film-film dengan latar belakang sejarah. Misalnya Sang Pencerah, Soegija, Sang Kyai, dan yang sebentar lagi beredar adalah film Soekarno. Film-film tersebut memberi tantangan para kreatornya untuk melakukan riset agar bisa memvisualkan apa yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.
Riset adalah salah satu unsur dominan dalam produksi film. Riset bahkan menjadi kebutuhan penting sebelum proses kreatif lain dilakukan. Riset akan berpengaruh besar terhadap konsep cerita dan pembiayaan. Riset pula yang akan meyakinkan penonton bahwa kejadian di film tidak berbeda jauh dengan kondisi sebenarnya.
Fungsi riset
Idealnya, setiap produk film didukung riset mendalam. Dalam konteks melihat dan merekonstruksi masa lalu, maka tim periset akan mencari data dan informasi sebanyak mungkin terkait dengan tema film. Yang menjadi fokus penelitian biasanya adalah bentuk bangunan, pakaian, gaya rambut, dan berbagai peralatan.
Riset mengumpulkan pula informasi tentang adat dan kebiasaan setempat, lokasi atau tempat yang sesuai dengan kebutuhan cerita, sehingga penulis skenario bisa mendiskripsikannya dalam bentuk adegan dan dialog.
Bagi pemain film, riset berfungsi memberikan impuls ketika mereka melakukan bahasa tubuh tertentu. Misalnya saja, kebiasaan cara duduk jongkok perempuan Timor, atau bagaimana masyarakat di sana selalu berbicara dengan volume keras. Teknik tatap muka bisa menjadi salah satu caranya.
Penulis pernah mendampingi Christine Hakim menjelang produksi film Daun di Atas Bantal yang disutradarai Garin Nugroho. Ia memerankan tokoh Asih, seorang ibu asuh dari beberapa anak jalanan di Yogyakarta. Dengan intens Christine Hakim masuk dalam kehidupan mereka, makan bersama, dan bahkan beberapa kali berada di perempatan jalan depan Kantor Pos Yogyakarta untuk mengamen.
Hal yang sama dilakukan Alexandra Gottardo sebelum melakoni tokoh Tatiana di film Tanah Air Beta karya sutradara Ari Sihasale. Ia tinggal di kamp pengungsian di Haliwen Atambua untuk tahu bagaimana ibu-ibu pengungsi hidup sendiri dalam lingkungan pengungsian yang serba depresif dan kekurangan. Dalam kesehariannya, ia makan apa yang dimakan oleh para pengungsi tersebut dan mencuci bajunya sendiri di tempat yang sama.
Kreator film yang menisbikan riset akan melihat semua bahasa kreatif lewat interpretasinya sendiri. Hal yang paling mudah kita temukan adalah ketika kita menyaksikan film atau tayangan audio visual yang selalu menampilkan warna masa lalu dengan sephia atau warna kecoklatan tua. Warna kecoklatan atau cenderung gelap adalah interpretasi personal kreator tentang masa lalu. Padahal, masa lalu pun pasti mengenal warna-warna cerah, seperti merah atau jingga. Atau lihat kostum para pemeran yang cenderung sederhana, misalnya atasan polos dengan kerah baju tegak. Jangan-jangan yang kita lihat di foto-foto kakek-nenek kita lebih modis dengan rimpel-rimpel atau model potongan lainnya.
Riset itu kebutuhan
Akan tetapi, banyak produser film yang belum melihat urgensi riset. Apalagi jika film yang akan diproduksi tidak berlatar belakang masa lalu atau sejarah. Mereka lupa, riset tidak hanya dibutuhkan oleh produsen film sejarah.
Dalih produser biasanya adalah waktu dan biaya. Riset membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Periset film atau bahkan kreator dan pemain film harus bertemu dengan nara- sumber, mewawancarai, membaca banyak literatur, atau melihat banyak footage. Ada analisis psikologis bagi pemain agar mereka mampu memainkan karakter lebih bagus.

Semua tuntutan itu idealnya harus dipenuhi. Itulah kemenangan industri besar perfilman di negara maju: setiap elemen filmis dalam film melalui tahapan riset yang detail dan terperinci. Sebuah bahasan visual dalam bentuk film tidak hanya akan sukses secara komersial, tetapi film pun akan menjadi sebuah rekaman sejarah dan media edukasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar