Selasa, 10 September 2013

Vonis Hakim dan Visi Ideologi

Vonis Hakim dan Visi Ideologi
Sudjito  ;   Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, 10 September 2013


Vonis terdakwa kasus Cebongan telah dijatuhkan (5/9/13). Lebih ringan dari tuntutan jaksa dan belum memenuhi rasa keadilan sosial, khususnya bagi penggiat antipremanisme. 

Komentar menarik dari Inspektur Jenderal (Purn) Teguh Soedarsono, anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). ”Vonis terdakwa kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman belum maksimal dari objektivitasnya, namun sudah optimal. Bila dikaitkan dengan proses hukumnya, belum menyentuh akar masalah yang menjadi sumber terjadi kasus perkara pembunuhan berencana. Vonis tersebut tidak dan belum menjadi keputusan final yang dapat membuka dan menyelesaikan masalah pokok dari kasus perkara objektivitas sebenarnya,” ungkap Teguh. 

Pro dan kontra atas berat-ringan vonis hakim, hemat saya, wajar saja. Kalangan penegak hukum umumnya mengapresiasi proses peradilan yang telah berjalan fair, dan seiring dengan itu meminta semua pihak menghormati vonis tersebut. Berbeda halnya kalangan pengamat hukum dan masyarakat, yang secara kritis melihat ada fakta-fakta hukum yang kurang diperhatikan seksama oleh majelis hakim, dan itu berpengaruh signifikan pada kualitas vonis yang dijatuhkan. Terlepas dari pro dan kontra itu, upaya mendapatkan kualitas keadilan lebih tinggi masih terbuka yakni banding. 

Di balik gelapnya realitas sosial yang senantiasa membuka kebebasan bagi para preman mengganggu ketenteraman masyarakat dan dihadapkan pada realitas keterbatasan kemampuan hukum membentengi masyarakat dari kebiadaban para preman, kasus Cebongan layak dimaknai sebagai ujian, cobaan, ataupun peringatan. Kita harus memikirkan tentang apa yang mesti kita lakukan agar dapat keluar dari situasi gelap itu sehingga sampai pada keadaan terang-benderang dalam nuansa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Tentu bukan ratapan, caci maki ataupun sumpah serapah, melainkan mencari hikmah, pelajaran, dan ilmu yang mumpuni sebagai bekal menghadapi kehidupan yang sarat tantangan baru. Barangkali ada baiknya kita melakukan introspeksi dan otokritik melalui pertanyaan: ”Untuk apa dan bagi siapa hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakan?”. Pada hemat saya, hukum dibuat, dilaksanakan, dan ditegakan bukan sekadar agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi tertib dan teratur. 

Ada tujuan yang lebih tinggi, luhur, dan mulia yakni untuk mengantarkan setiap manusia mencapai puncak pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan amanah atas fungsi kekhalifahannya sehingga kebahagiaan merupakan keniscayaan dan bagian kehidupannya. Pendapat ini mengandung pesan moral dan nilai filsafat bahwa hukum merupakan pelengkap perangkat kehidupan manusia dan bukan ”berhala” yang dimitoskan, disakralkan, dan disembah-sembah. 

Tidak pada tempatnya, manusia dikorbankan demi hukum, dan tidak pada tempatnya pula hukum ditempatkan secara esoterik, terpisah dari kehidupan manusia. Manusia dan hukum berada dalam proses kehidupan, berkelindan dan berinteraksi secara perenial sepanjang zaman. Vonis merupakan bagian dari hukum yakni hukum yang dibuat oleh hakim. Apakah hukum ini hanya berlaku bagi terdakwa ataukah juga bagi masyarakat? Di sini ada perbedaan pendapat.

Hakim secara eksplisit hanya mengadili terdakwa dan oleh karenanya vonis hanya berlaku atas terdakwa. Inilah pendapat yang tergolong normative legalistis. Hukum acara telah mengatur demikian dan tidak dibenarkan hakim keluar dari yang tersurat. Tetapi, realitas sosial menunjukkan bahwa ada unjuk rasa sebagai ekspresi pemberian dukungan kepada terdakwa. Hal demikian menyiratkan bahwa masyarakat pun menjadi bagian dari sikap, perilaku, dan beban siksaan atas vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa. 

Perbedaan pendapat itu dapat dideskripsikan sebagai jurang pemisah antara keadilan individual dan keadilan sosial. Pada abad ke-19 di Eropa pernah muncul dan berkembang semboyan laissez faire laissez passer, secara harfiah berarti ”biarkanlah semua berjalan sendiri secara bebas”. Didasarkan pada semboyan itu, pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum tertuju untuk kepentingan individu-individu, dan intervensi oleh siapa pun, baik negara, masyarakat, maupun tokoh, tidak diperbolehkan. 

Hakim wajib menjaga independensi, kemandirian, dan objektivitasnya. Itulah tipe dan karakteristik bernegara hukum liberal-individualistis. Apakah negara Indonesia penganut tipe hukum ini? Mestinya tidak. Manusia Indonesia bukanlah sekadar makhluk individu yang perlu dijamin kebebasannya, tapi juga makhluk sosial dan makhluk berketuhanan. Notonagoro (1987) menjelaskan bahwa unsur-unsur hakikat manusia adalah bineka-tunggal, majemuk-tunggal atau monopluralis. 

Ki Hadjar Dewantara (1939) menjelaskan bahwa manusia akan turun derajatnya bila suka ”menyerah”, hidup tanpa ”tujuan tertentu”, dan tak memiliki ”kesusilaan”. Tetapi, selama ia sadar bahwa manusia adalah berganti-ganti antara ”kawula dan gusti” selaku makhluk yang tak berarti dan makhluk yang mempunyai sifat-sifat ketuhanan, selama itu pula tiap detik yang akan mengikuti saat sekarang ini akanmerupakanzamanbarubaginya dengan segala kemungkinan baru yang menjadi haknya. Itulah ciri manusia Indonesia, manusia ber-Pancasila. 

Tipe hukum Indonesia diidealkan sebagai hukum yang mampu menjadi pengantar terwujudnya manusia individu yang memiliki kepedulian sosial dalam naungan Tuhan Yang Maha Esa. Hakim sebagai penegak hukum wajib memiliki watak dan wawasan kemanusiaan yang utuh.

 Sikap, perilaku, dan pola pikir maupun vonis-vonisnya semestinya mengakar pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, menyapa, dan peduli kepada keadilan sosial, tanpa mengurangi hak-hak terdakwa sebagai individu. Itulah tipe hakim sebagai manusia yang adil dan beradab, hakim berideologi Pancasila. Wallahualam. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar