Selasa, 10 September 2013

Membongkar Bungkus Terselubung

Membongkar Bungkus Terselubung
Serpulus Simamora  ;    Lulusan Licentiatus in Sacra Scriptura, Roma, Italia
KORAN JAKARTA, 10 September 2013


Filsafat postmodern mengkritik filsafat modern terhadap mitos atau cerita yang menyatukan bingkai berpikir (filsafat) atau bertindak (etika atau moral). Filsafat modern berangkat dari cara berpikir rasional-objektif dan ditandai cerita besar cara manusia mencapai kebenaran objektif dan percaya pada ilmu pengetahuan.

Itulah yang lazim disebut dengan metanaratif (metanarasi), sebuah "cerita besar" atau "cerita yang melewati cerita". Ada cerita dibungkus cerita! Metanarasi membangun sebuah pola berpikir yang mirip dengan cara menalar dan menarik kesimpulan deduktif. Cara ini sudah tersedia aksioma kebenaran tertentu dan tetap. 

Dari sini diturunkan segala keterangan dan kesimpulan lanjutan. Posmo mengkritik kerangka pikir filsafat modern ini dengan membongkar (dekonstruksi) metanarasi lewat ide utama menerima pandangan pihak lain. Perhelatan ratu kecantikan sejagat (Miss World Contest) di Bali dibuka Minggu (8/9) malam dengan meriah. Hiruk-pikuk pro dan kontra sudah lewat. 

Bentuk-bentuk adikodrati seperti kebenaran (verum), kebaikan (bonum), keindahan (pulchrum) dari dirinya mengandung misi. Manusia terdorong mewartakan sesuatu yang benar, baik, dan indah. Hal itu sangat jelas dalam dunia pengetahuan. Secara epistemologis, kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. 

Dalam bingkai pergunjingan, perhelatan ratu kecantikan sejagat, yang pro dan kontra mengaku memunyai kebenaran. Itu tidak soal! Sampai di situ perbedaan pendapat, klaim kebenaran masih sangat lumrah. Debat, diskusi, dan perbedaan pendapat lumrah dalam dunia demokratis yang bermartabat. Hanya debat harus positif dan konstruktif. Maka, diperlukan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat dan argumentasi yang sehat dan masuk akal. 

Argumentasi yang kontra, perhelatan tidak sesuai dengan budaya keTimuran Indonesia dan moralitas agama yang kebanyakan dianut rakyat. Di sini muncul persoalan metanarasi yang perlu dikritisi dan dikaji. Metanarasinya memperlawankan "budaya Timur versus budaya Barat" dan moralitas atas nama agama.

Yang kontra dapat dimengerti. Akan tetapi, perlu dikritisi apakah argumentasinya berdasar pada penalaran yang jernih atau jangan-jangan hanya dilatarbelakangi suatu metanarasi yang manipulatif. Demikian juga menghadapkan "budaya Timur versus budaya Barat." Memang di satu sisi, ada budaya Barat dan budaya Timur. Di sisi lain, tidak gampang lagi menggariskan mana masuk budaya Barat dan Timur. Budaya bukanlah sesuatu yang statis yang lepas dari ruang dan waktu. 

Metanarasi "budaya Timur versus budaya Barat" atau "dunia utara dan dunia selatan" semakin dikaburkan dengan interaksi sosial lewat sarana komunikasi yang menyatukan. Interaksi sosial membuat budaya saling memengaruhi sehingga makin terintegrasi, tak ada lagi dikotomi. Selain itu, tak ada yang dapat mendefinisikan dengan terang-benderang budaya Timur, apalagi budaya Indonesia. 

Metanarasi sering berangkat dari sesuatu yang seolah-olah sudah jelas atau dibuat seakan-akan sudah jelas. Inilah "budaya Timur" yang berbeda dari "budaya Barat". Metanarasi sering juga terselubung dalam pembangunan ideologi yang tak terungkap secara eksplisit. Budaya Timur, budaya Indonesia disamakan dengan budaya Jawa. Hal ini tidak diungkapkan secara eksplisit, namun tertanam mungkin secara tidak sadar. Padahal, budaya Indonesia bukan budaya Batak, Jawa, Islam, Hindu atau Kristiani. Dia adalah budaya Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Metanarasi yang berikut "moralitas atas nama agama." Inilah senjata yang amat ampuh untuk menolak sesuatu yang asing (baca: Barat) dan melumpuhkan argumentasi kritis rasional. Bila agama berbicara, selesailah masalah!

Salah satu alasan penolakan penyelenggaraan kontes ratu kecantikan sejagat dianggap sebagai mengumbar organ-organ wanita yang seharusnya ditutup. Semua termentahkan ketika pembukaan dimulai dan malahan peserta dari luar negeri mengenakan pakaian Bali. Tak ada yang ditakutkan: mengumbar sesuatu yang seharusnya tertutup.

Hampir boleh dipastikan bahwa di setiap budaya suku bangsa Indonesia tidak menerima ketelanjangan di tempat umum. Hanya, tetap saja ada tradisi di mana kaum hawa atau wanita dalam berpakaian tidak menutup seluruh anggota badan. Di Jawa ada wanita mengenakan kemben yang dadanya terbuka. Bahkan hingga kini, di abad ke-21, saudara-saudara di Papua, sebagian suku di pedalaman negeri ini, kebudayaan seperti itu masih ada. 

Secara halus dan tak disadari, metanarasi akhirnya cenderung tereduksi pada urusan sekitar perkara seksual dan hal-hal sensual. Ketika orang berbicara mengenai degradasi moral kaum muda, pikiran yang langsung muncul ialah soal pergaulan bebas dan seks bebas. Padahal nilai-nilai moralitas jauh lebih luas, seperti kehalusan budi pekerti, bertepa selira, jujur, tolong-menolong, kesanggupan menerima perbedaan, hormat terhadap orang dan milik orang lain.

Metanarasi adalah bingkai pikir yang dibentuk dan bernilai buruk ketika dipakai secara manipulatif. Metanarasi manipulatif mengingatkan cara-cara rezim Orde Baru. Misalnya, tahun delapan puluhan banyak mahasiswa mogok makan dicap sebagai bentuk protes gaya Barat dan tidak cocok dengan adat dan budaya keTimuran, budaya Indonesia dan Pancasila. 

Semua orang bungkam dan diam, seolah-olah pernyataan itu benar, padahal orang diam hanya karena takut! Sesungguhnya ungkapan tadi contoh penalaran manipulatif. Semua orang tahu bahwa mogok makan adalah budaya universal yang dikenal di mana-mana. Mogok makan adalah senjata paling ampuh yang digunakan anak-anak ketika mereka tidak senang akan sesuatu atau ketika mereka marah. 

Ketika hak-hak demokratis rakyat Indonesia dipertanyakan pada waktu itu, maka rezim Orde Baru langsung mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang berbeda dari demokrasi Barat. Kebebasan dalam demokrasi Barat berbeda dengan kebebasan demokrasi Pancasila. Dikotomi antagonistis Timur dan Barat ditanamkan, dipupuk, dibudayakan dan dilestarikan. 

Demikianlah rezim Orde Baru membangun sebuah metanarasi yang seolah-olah telah menjadi kebenaran sah bahkan menjadi mutlak. Selekas perbedaan dan pembuatan kutub Timur dan Barat diajukan, persoalan menjadi jelas. Masalah jadi selesai.

Pada masa reformasi, metanarasi manipulatif secara politis dari rezim Orde Baru tampaknya diperkuat secara agamis. Reformasi yang dimaksudkan memulihkan hakikat demokrasi justru dilihat sebagai bukti bobroknya sistem demokrasi. 

Demokrasi berarti bebas-sebebasnya (demonstrasi menuntut hak dengan kekerasan: merusak, menghancurkan), bebas menguras harta kekayaan negara demi keuntungan kelompok atau pribadi (korupsi), merdeka dari tatanan moral (sekularistis, liberalistis, promiskuistis bahkan ateistis). Metanarasi Orde Baru, Timur versus Barat, kembali digunakan: nah, itulah demokrasi dari Barat yang merusak nilai-nilai budaya kita sendiri.

Membongkar metanarasi tidak berarti membiarkan hilangnya identitas religius dan kultur bangsa. Membongkar metanarasi juga tidak menyangkal hakikat syiar kebenaran, kebaikan dan keindahan. Membongkar metanarasi hanya hendak mengingatkan kewajiban manusia untuk berpikir kritis, menjauhkan nalar tumpul yang bisa dibius secara manipulatif. 

Identitas tetaplah bukan sesuatu yang terbungkus, terisolasi dalam benteng. Dia muncul dalam pertemuan dan perjumpaan. Meminjam rumusan filsafat eksistensial Martin Buber, Ich und Du menyadari identitas ketika aku berjumpa engkau, sama-sama sebagai subjek. 

Sungguh, kebenaran, kebaikan dan keindahan secara kultural, religius patut diwartakan, disebarkan. Akan tetapi pewartaan dan penyebarluasan tetaplah bersifat tawaran dan undangan untuk dipilih (diterima atau tidak). Syiar yang menyangkal dan meniadakan ciri tawaran dan undangan menjadi sebuah pemaksaan, pemerkosaan, dan penjajahan yang melanggar hak asasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar