Sabtu, 21 September 2013

Urgensi Pendidikan Perdamaian

Urgensi Pendidikan Perdamaian
Amalia Sustikarini ;  Mahasiswa Program Doktor di University of Canterbury, Selandia Baru, Dosen FISIP UI
KORAN JAKARTA, 20 September 2013



Sistem pendidikan Indonesia secara tidak langsung mengadopsi konsep PE ke dalam kurikulum lewat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Konsepsi tolong-menolong, toleransi, saling menghormati dan menghargai antarsesama, tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin menjadi bottom line pembelajaran. 

Tanggal 21 September diperingati sebagai Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace/IDP). Pada tahun 1981, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi No 36/37 tentang 

Hari Perdamaian Internasional. Tahun 2002, Majelis Umum PBB secara resmi mendeklarasikan tanggal 21 September sebagai IDP. Setiap tahun dunia memperingati IDP dengan tema berbeda-beda. Tema tahun 2013 ini "Pendidikan Perdamaian (Peace Education/PE)." 

PE sendiri telah menjadi gerakan global. Pada tahun 1999, ribuan orang yang mewakili ratusan organisasi hadir dalam acara International Peace Conference di The Hague, Belanda. Dalam acara tersebut dicetuskan The Hague Appeal for Peace, yang menyerukan penghentian segala peperangan dan penyebarluasan budaya perdamaian. Salah satu hasil The Hague Appeal, pembentukan Global Peace Education Network guna mendukung aplikasi PE seluruh dunia. 

Dalam level nasional, PE menjadi sangat urgen dan kontekstual diaplikasikan. Sebab di mana-mana terjadi konflik antargolongan dan antarkelompok pascareformasi 1998. PE penting, agar makin tersosialisasi. Pendidikan dapat menjadi piranti lunak yang akan membentuk generasi masa depan guna mendukung nilai-nilai perdamaian dan menyebarluaskannya ke dalam komunitas terdekat di lingkungannya ataupun global. 

Namun di lain pihak, pendidikan dan institusi di dalamnya juga memiliki potensi besar untuk memupuk prinsip-prinsip kekerasan, fanatisme kelompok dan golongan, serta keinginan membalas dendam terhadap perlakuan salah yang diterima di masa lampau. 

Dalam lima tahun terakhir, diskursus seputar PE di Indonesia diramaikan subyek multikulturalisme dan pluralisme menyusul maraknya kejadian kekerasan berlatar belakang agama, baik antaragama maupun sesama pemeluk agama yang sama, serta isu-isu terorisme dan radikalisme. 

Pengaturan institusi pendidikan di Indonesia dengan konsep Sekolah Berstandard Internasional (SBI), ataupun semakin maraknya sekolah berdasarkan agama menjadikan Indonesia tempat yang rawan karena terkotak-kotak dalam pendidikan berdasarkan kelas sosial ataupun sentimen golongan. 

Belum lagi masalah perkelahian antarpelajar yang telah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, sejak tahun 2011 korban tawuran pelajar mencapai 82 tewas. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan, tawuran pelajar dipicu faktor-faktor seperti tekanan beban pendidikan di sekolah, disparitas sosial ekonomi, kurangnya sarana penyaluran aktivitas, pengaruh lingkungan dan lemahnya ketahanan keluarga. 

Sistem pendidikan Indonesia secara tidak langsung mengadopsi konsep PE ke dalam kurikulum lewat pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Konsepsi tolong-menolong, toleransi, saling menghormati dan menghargai antarsesama, tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin menjadi bottom line pembelajaran. 
Namun metode pembelajaran tersebut sering dikritik karena tidak menyentuh persoalan utama. Selain itu, belajar diberikan dengan metode menghafal tanpa contoh-contoh kasus atau aplikasi secara langsung. 

Di lain pihak, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terlihat masih belum siap mengadopsi beragam masukan muatan kurikulum, termasuk peace education, multikulturalisme dan pluralisme. Untuk konsep pluralisme, yang terjadi justru perdebatan kontraproduktif yang sarat dengan muatan politis. Program PE tidak prioritas karena harus mengalah dengan isu-isu lain seperti ujian nasional, sertifikasi guru-dosen ataupun penyusunan kurikulum berbasis kompetensi.

Kurikulum 

Bulan Juli yang lalu pemerintah baru saja menerapkan kurikum baru 2013. Berbeda dari sebelumya yang menitikberatkan pada kompetensi, kurikulum ini memberi perhatian lebih pada pembentukan karakter dan moral, selain penyederhanaan mata pelajaran. 

Terlepas dari kontroversi seputar kesiapan tenaga pengajar dan sekolah untuk menerapkannya, kurikulum 2013 menjadi kesempatan juga mengaplikasikan PE. Character building merupakan aspek unggulan kurikulum ini yang bila dirancang dan dilaksanakan secara cermat akan membawa hasil positif bagi dunia pendidikan. 

Seperti dikatakan Alan Tidwell dan Pamela Aal dari United States Institute of Peace (USIP) tentang PE dalam buku berjudul Peacemaking in International Conflict (Zartman, 2008), PE sendiri dapat dikategorikan dalam dua bagian besar: pengajaran keterampilan (skill) seperti negosiasi dan mediasi, serta pendidikan nilai-nilai perdamaian. Nilai-nilai yang termasuk di sini di antaranya penghormatan hak asasi manusia, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, tanggung jawab sosial, serta kepekaan jender. Semua tersebut dapat diintegrasikan ke dalam tujuan pembelajaran dalam kurikulum 2013 yang berorientasi pada pembangunan karakter. 

Masalahnya, mencari formulasi tepat bagi pembangunan karakter dalam kurikulum 2013 ini, sulit. Salah satu solusi yang diambil, memasukkan pembangunan karakter ke dalam pelajaran agama, tapi ditambah durasinya. Hal yang kemudian harus dicermati desain pelajaran agama itu sendiri. 

Apabila pelajaran agama masih diberikan dalam bentuk konvensional dengan menitikberatkan pada praktik ibadah, sejarah, hafalan doa, maka pembentukan karakter kurang maksimal. Pelajaran agama yang bersifat eksklusif justru akan membahayakan semangat toleransi dan perhargaan terhadap perbedaan. 

Para siswa akan terfokus pada konsep "kami dan kalian" pada perbedaan yang memisahkan dan bukan pada nilai-nilai kebaikan universal yang menyatukan. Fenomena ini terjadi di beberapa kampus di Indonesia yang menjadi lahan subur tumbuhnya ekstremis dalam beragama. 

Ini harus dicegah di tingkat pendidikan dasar dan menengah, yang merupakan pondasi pembentukan nilai tahapan kehidupan berikutnya. Diperlukan sebuah rekonstruksi pendidikan agama yang menunjang bagi pembentukan karakter, tanpa mengesampingkan dasar ajaran dari tiap-tiap agama itu sendiri. 

Di level praktis, PE dapat dibuat sebagai ekstrakurikuler keterampilan mediasi. Para siswa dilatih mampu memediasi konflik di antara teman sebaya. Program ini telah dilaksanakan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dan disebut sebagai peer mediation. Untuk kasus-kasus tawuran pelajar atau bullying, terkadang siswa segan menceritakan kepada guru sehingga peran teman sebaya untuk jembatan komunikasi dan mediasi sangat bermanfaat. 

Para siswa ini bekerja sama dengan guru bimbingan dan konselling agar terjadi penanganan yang komprehensif terhadap konflik-konflik yang melibatkan pelajar di sekolah. Seperti dikatakan praktisi pendidikan, Maria Montessori: Politik hanya dapat menghindarkan kita dari perang. Penciptaan perdamaian adalah tugas pendidikan. 

PE merupakan sebuah intagible, tidak terlihat wujudnya secara kasat mata. Seperti menanam pohon, baru akan terlihat hasilnya beberapa tahun kemudian. Penyemaian bibitnya harus dilakukan sekarang. Semoga semangat pendidikan berbasis pembangunan karakter di Indonesia akan dapat sejalan dengan usaha penyebarluasan PE di tingkat global guna memperoleh pohon-pohon kokoh agen perdamaian di masa datang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar