Sabtu, 21 September 2013

Menunggu Realisasi Piagam Palembang

Menunggu Realisasi Piagam Palembang
Husnun N Djuraid ;  Jurnalis Malang Post, Dosen Jurnalistik
di Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 20 September 2013



HARI ini dan besok (20 - 21 September), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar kongres wartawan di Banjarmasin. Seperti kebanyakan kongres, fokus utama adalah siapa yang akan memimpin PWI pada periode mendatang, bukan masalah fundamental seperti peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan wartawan. Sebagai organisasi profesi wartawan yang terbesar dan tertua, PWI memiliki kekuatan dan posisi strategis untuk meningkatkan profesionalisme melalui standar kompetensi wartawan (SKW). Kalau semua anggota PWI sudah memiliki SKW, itu sudah mencapai mayoritas wartawan di Indonesia. Inilah salah satu tugas utama pengurus PWI periode mendatang untuk memperjuangkan isu strategis: kesejahteraan wartawan.

Pada 9 Februari 2010, saat Hari Pers Nasional (HPN), 19 kelompok perusahaan pers menandatangani kesepakatan Piagam Palembang tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional untuk melaksanakan standar kompetensi wartawan di perusahaan masing-masing. Mereka siap melaksanakan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Kompetensi Wartawan (SKW), Standar Perusahaan Pers dan Standar Perlindungan Wartawan. Kesepakatan ini bertujuan untuk menciptakan pers yang profesional, tunduk kepada UU Pers, taat kepada KEJ dan didukung perusahaan pers yang sehat yang dapat menyejahterakan wartawannya. 

SKW sendiri mulai dilaksanakan melalui uji kompetensi wartawan yang dilakukan lembaga dan perusahaan yang sudah mendapat persetujuan dari Dewan Pers. Para wartawan dengan jenjang utama, madya, dan muda, harus bisa melewati berbagai ujian mengenai tugas-tugas kewartawanannya, baik teori maupun praktik dengan harapan mereka semakin profesional yang akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan. 

Meskipun kesepakatan itu sudah dibuat, belum semua penanda tangan Piagam Palembang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, terutama Standar Perusahaan Pers dan Standar Perlindungan Wartawan. Dewan Pers akan membentuk lembaga independen untuk memverifikasi standar yang sudah disepakati dalam Piagam Palembang. Setelah menjalankan tugasnya, lembaga independen itu memberikan logo khusus kepada perusahaan yang sudah tersertifikasi. Saat ini, tiga tahun lebih setelah ­Piagam Palembang diratifikasi oleh perusahaan pers nasional, tanda-tanda pelaksanaan belum tampak. Dengan kata lain, meski sudah ada wartawan yang tersertifikasi, hal itu belum berdampak pada kesejahteraannya.

Sebanyak 19 perusahaan pers nasional yang menandatangani Piagam Palembang adalah kelompok perusahaan yang bergerak di media cetak, elektronik, dan media online yang memiliki banyak anak perusahaan di seluruh Indonesia. Meski demikian, belum semua perusahaan pers masuk dalam Piagam Palembang.

Sembilan belas perusahaan itu sudah mapan dan bisa memberikan kesejahteraan kepada wartawannya meskipun sifatnya masih relatif. Sesuai kesepakatan, wartawan yang sudah tersertifikasi berhak mendapatkan gaji di atas upah minimum setempat. Tapi, hal ini belum bisa dipenuhi oleh perusahaan pers dengan berbagai alasan. 

Di antaranya, secara ekonomis perusahaan belum cukup kuat untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk komponen gaji karyawan. Fokus utama perusahaan adalah meningkatkan pendapatan yang berujung pada penambahan keuntungan. Perusahaan harus dibuat kuat dulu baru kemudian memberikan kesejahteraan kepada karyawan. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang mengalokasikan persentase yang kecil untuk komponen gaji karyawan, terutama untuk perusahaan baru dan kecil. Semakin kecil persentase komponen gaji, semakin sehat perusahaan tersebut. Dengan demikian, semua komponen dalam perusahaan harus bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan perusahaan agar gajinya bisa meningkat.

Meski persentasenya kecil, kalau pendapatannya besar tentu secara nominal yang diperoleh karyawan akan semakin besar. Inilah yang masih menjadi perdebatan, mana yang didahulukan, memberi gaji yang besar kepada karyawan atau membesarkan dulu perusahaan dengan mengabaikan -untuk sementara- kesejahteraan karyawan. Beberapa perusahaan memilih cara kedua, mengajak karyawan bekerja keras dan berkorban untuk membesarkan perusahaan. Setelah perusahaan besar mereka bisa mendapat gaji yang lebih besar. Meski demikian, ada juga perusahaan yang memilih cara pertama dengan memberi gaji yang besar sejak awal. Ini biasanya dilakukan perusahaan baru milik investor yang memiliki modal besar. 

Di luar kelompok 19 itu sebenarnya masih banyak perusahaan pers yang kondisinya memprihatinkan, hidup segan mati tak mau, di tengah persaingan ketat menjurus kanibalisme di era konglomerasi pers. Jangankan menggaji wartawan, untuk sekadar bertahan hidup saja sudah sangat berat. Tak heran bila banyak perusahaan pers yang tidak menggaji wartawannya. Mereka hanya dibekali kartu pers, dengan harapan bisa mencari hidup sendiri. Dari perusahaan pers seperti ini tentu tidak bisa diharapkan lahir wartawan yang taat pada kode etik. Bagaimana mereka bisa bekerja secara profesional kalau setiap hari terus disibukkan urusan perut. Layakkah memaksa diri menjadi wartawan dan bekerja di perusahaan seperti ini? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar