Rabu, 04 September 2013

Mengukur Kekuatan dari Pilgub Jatim

Mengukur Kekuatan dari Pilgub Jatim
Redi Panuju Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi
Pascasarjana Unitomo Surabaya
KORAN SINDO, 04 September 2013


Meski pun angka resmi hasil Pilgub Jatim 2013 baru ditentukan perhitungan manual di KPU Jatim, 7 September 2013, namun berdasarkan perhitungan cepat beberapa lembaga Survei, peta kekuatannya sudah dapat diterka. Incumbent (KarSa) masih terlalu perkasa dibanding peserta lain. 

Perolehan KarSa dibanding rival bebuyutannya (Berkah) terpaut sekitar 10%, sedangkan dengan jago dari PDIP (Bambang-Said) senjangnya semakin lebar (lebih dari 20%), dan lebih senjang lagi dibanding dengan calon Independen (Eggi-M Sihat) ibarat langit dengan bumi. Meski pun kalah suara, PDIP dan PKB sesungguhnya pihak yang paling mampu membaca peta internal dengan lebih jernih dibanding lainnya. 

Bila Bambang DH dan Said Abdullah mengasosiasikan entitas PDIP, maka dapat dibaca secara utuh, itulah dukungan riil masyarakat terhadap PDIP. Mungkin itulah angka loyalis tradisional yang murni. Angka itu tak begitu jauh dengan perolehan jago PDIP pada Pilgub lima tahun silam ketika Ir Sutjipto (almarhum) berpasangan dengan Ridwan Hisjam (kader Golkar). 

Bila fenomena ini hendak dijadikan bahan evaluasi untuk menyusun strategi lima tahun mendatang, tak ada alternatif lain PDIP harus keluar dari sangkar madunya, dalam arti harus mengembangkan dan menggali sumber sumber baru bagi dukungannya. Untuk bisa keluar dari sangkar madu maka PDIP perlu mengubah pencitraannya.

Misal, kesan bahwa PDIP sebagai partai yang relatif jujur, bersahaja, merakyat, minimal mencontoh prototipenya Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta), perlu ditambah dengan fitur baru misal kesan cerdas (meski belum bisa masuk katagori intelektual). Ada banyak fitur-fitur citra seperti itu di DPP PDIP, misal munculnya Dr Pramono Anung, Maruarar Sirait, Ganjar Pranowo, dan lainnya. 

Fitur-fitur seperti itu perlu dikembangkan di daerah (provinsi dan kabupaten/ kota). Mereka perlu diberi forum untuk aktualisasi ide-ide kerakyatan dan kebangsaan. Kemudian juga kesan stagnasi kader, yang menyebabkan bibit baru (new comer) kurang terakomodasi. Organisasi sayap yang sempat menggeliat tahun 2001, nampaknya perlu didorong lagi. Ibaratnya, PDIP itu sebuah perguruan tinggi, maka lebih berkesinambungan bila punya TK,SD, SMP, dan SMA. 

Pilgub memang tidak sama dengan pemilihan legislatif (pileg). Pilgub cenderung bersifat personal, sehingga ketokohan menjadi penting. Perolehan jago PDIP pada Pilgub ini menginformasikan bahwa lima tahun mendatang harus sudah disiapkan tokoh tokoh yang popular, merakyat, dan track record yang bagus. Kemenangan PDIP di Jawa Tengah dan DKI Jakarta mestinya menjadi model. Andai yang turun gunung tokoh sekaliber Pramoho Anung, mungkin masih bisa bersaing ketat. 

Banyak analisis bila Bambang DH diduetkan dengan Khofifah hasilnya bisa luar biasa, tetapi ego partai dan kepentingan lain, menyebabkan kekuatan itu terbelah. Hikmah lainnya, dalam Pilgub lebih elok bila berkoalisi dengan partai lain ketimbang maju dengan dukungan satu partai saja. 

Begitu pun dengan PKB mendapat berkah dari Pilgub ini, melalui personifikasi Khofifah Indar Parawansa, nyaris 40% pemilih menjatuhkan pilihannya. Meski angka ini lebih merepresentasikan fitur pribadi Khofifah, ke depan PKB bisa memanfaatkan figur Khofifah sebagai pendulang suara. Pernyataan Muhaimin Iskandar setelah hasil hitung cepat diumumkan, menjanjikan Khofifah dinominasikan minimal sebagai Wakil Presiden (oleh PKB tentunya). 

Itu statement yang sangat cerdas dalam rangka menjaga lem perekat dukungan Khofifah ke PKB. Setidaknya, PKB belajar banyak bagaimana memanfaatkan fitur gender, empaty, dan ketulusan untuk meraup dukungan. Justru partai-partai pengusung KarSa dalam posisi yang gelap. Tidak diketahui berapa banyak kontribusi masing masing partai. Ada 10 (sepuluh) partai parlemen (total 70 kursi) di belakangnya (PD, P Golkar, PKS, PAN, Partai Gerindra, PPP, Hanura, PKNU, PDS, dan PBR). 

Bila perolehan suara KarSa pada putaran pertama ini maksimal 50%, maka rata rata partai hanya menyumbang 5% suara saja. Namun demikian, masing masing partai sudah mengklaim memberi kontribusi yang signifikan. Analisis lain dari dua besar memperlihatkan bahwa Soekarwo dan Khofifah masih merupakan magnet suara. Keduanya memiliki ketokohan yang kuat. 

Karena itu, suara Partai Demokrat di Jatim pada Pileg mendatang tidak terpengaruh oleh gonjang ganjing yang melanda tokoh-tokoh PD di Jakarta. Tinggal bagaimana kemampuan inovatif PD dalam mentransformasikan ketokohan Pakde Karwo sebagai pesan politik. Karena itu, bila PDIP ingin kondusif dalam pileg ada baiknya memanfaatkan figure-figur yang bersifat magnetis. 

Selama ini figure-figur PDIP tidak teraktualisasi ke publik. PDIP punya L Soepomo, Sirmadji, Kusnadi, Saleh Ismail Mukadar, Djarot Saiful Hidayat. Mereka itu ibarat mutiara dalam laut, cobalah diangkat ke permukaan dan dihidangkan di meja publik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar