|
Sejarah memang
selalu berulang, begitu pun krisis ekonomi. Seperti semboyan Olimpiade, krisis
cenderung datang lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat (citius, altius, fortius). Ibarat
penyakit, krisis datang dengan imunitas lebih tinggi sehingga dosis obat harus
lebih kuat untuk menjinakkannya.
Meskipun
menunjukkan gejala serupa, gejolak hari ini memiliki karakteristik berbeda
dengan gejolak 2008 dan 1998. Gejalanya bisa jadi sama, seperti pelemahan nilai
tukar, kemerosotan indeks pasar, dan kepanikan para pelaku ekonomi. Namun,
setiap krisis memiliki akar dan kompleksitas masalah berbeda-beda. Nostalgia
bisa saja menghampiri sebagian kalangan dengan munculnya harapan terjadi
perubahan besar menyusul gejolak perekonomian, seperti peristiwa 1998. Namun,
sejatinya kompleksitas gejolak hari ini jauh lebih ringan daripada 1998. Dan,
justru karena itu, gejolak tidak ditangani dengan baik sehingga berkepanjangan.
Dilihat dari
karakteristiknya, gejolak kali ini mirip dengan 2008. Jika dibandingkan,
tekanan yang ditimbulkan dari gejolak sejauh ini juga masih lebih ringan. Pada
2008, rupiah melemah sepanjang tahun sebesar 16 persen, sementara Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) tergerus 50,90 persen. Hingga hari ini, tekanan terhadap
rupiah sekitar 14 persen, sementara pasar modal tergerus 8 persen dari awal
tahun. Memang jika dibandingkan dengan kinerja terbaik pada Mei 2013 pada level
5.200-an, koreksi pasar sekitar 23 persen.
Dilihat dari
sumber tekanannya, episentrum krisis 1998 berasal pada sisi domestik kita,
seperti kebangkrutan perbankan akibat kredit macet begitu besar di sektor
korporasi. Pada 2008, episentrum persoalan pada sisi global seiring runtuhnya
perekonomian negara maju, khususnya Amerika Serikat, ditandai kebangkrutan
Lehman Brothers. Sementara, gejolak hari ini bersumber pada pertautan sisi
domestik dan global yang diiringi migrasi likuiditas dari negara berkembang ke
negara maju.
Pelajaran
paling penting bagi kita, selama ini kita terlalu bergantung pada aliran deras
likuiditas global serta terbuai oleh kenaikan harga komoditas di pasar dunia.
Ketika keduanya mulai menyusut, perekonomian kita pun terkoreksi. Selama ini
kita lupa untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur kita. Defisit neraca
perdagangan Juli sebesar 2,3 miliar dollar AS membuktikan, pendapatan ekspor
kita bergantung pada sektor komoditas, sementara daya saing produk nonmigas
masih lemah.
Di luar
perhitungan, melemahnya harga komoditas di pasar global terjadi seiring dengan
mengetatnya likuiditas di negara berkembang. Akibatnya, selain penurunan
penerimaan ekspor, investasi juga makin terkendala dengan meningkatnya biaya
dana. Cadangan devisa juga terus tergerus. Meskipun BI berhasil menambah
besaran cadangan devisa Agustus sekitar 400 juta dollar AS menjadi 63 miliar
dollar AS, persoalan utamanya belum diselesaikan.
Besarnya
defisit transaksi berjalan akan terus menekan nilai tukar, sementara instrumen
kebijakan yang tersedia juga semakin terbatas. Jika sentimen terus memburuk, BI
Rate terpaksa dinaikkan kembali. Hingga akhir tahun masih terbuka kemungkinan
kenaikan BI Rate sebesar 50 basis poin. Semakin tinggi suku bunga, investasi
semakin merosot, dan pertumbuhan akan terus terkoreksi. Jika gejolak nilai
tukar dan pasar modal terus terjadi, ditambah dengan kompleksitas situasi,
pertumbuhan tahun ini dikhawatirkan hanya akan mencapai 5,5-5,8 persen.
Sementara tahun depan tetap di bawah 6 persen.
Memang
perekonomian kita sekitar 60 persen masih ditopang oleh permintaan domestik,
tetapi dengan inflasi yang diperkirakan tahun ini sebesar 9,2 persen, tentu
kemampuannya menghela perekonomian juga merosot. Inflasi Agustus 1,12 persen
menunjukkan tekanan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memang mulai
mereda. Namun, depresiasi rupiah mengakibatkan naiknya semua harga bahan baku
berbasis impor (imported inflation).
Persoalan lain, sektor produksi kita begitu bergantung pada bahan baku impor.
Kita tidak pernah mengembangkan industri pemasok bahan baku dan bahan penolong.
Menghadapi
situasi yang terus tidak pasti dengan kecenderungan memburuk ini, diperlukan
upaya konkret menyelamatkan ekonomi kita, baik dalam jangka pendek, menengah,
maupun panjang. Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu sangat
positif menjawab persoalan fundamentalnya. Namun, tanpa implementasi progresif,
kita akan kehilangan momentum mempertahankan perekonomian kita. Justru, tanpa
tindak lanjut yang komprehensif di semua lini, bisa jadi tingkat kepercayaan
makin menyusut sehingga sentimen bisa datang begitu cepat memorakporandakan
bangunan ekonomi kita.
Menurunkan
impor guna menekan defisit transaksi berjalan pada triwulan III menjadi sekitar
3,3 persen terhadap produk domestik bruto harus menjadi prioritas. Mengingat
impor minyak masih sangat tinggi, tidak ada pilihan untuk secara progresif
melakukan konversi energi di dalam negeri. Migrasi ke gas, menambah komponen
nabati pada diesel, dan terobosan-terobosan lain harus dilakukan dengan sangat
konsisten. Jika tidak, defisit perdagangan bisa terus menganga. Tentu saja, di
sisi lain memperbaiki daya saing produk nonminyak dan gas bumi kita di pasar
global agar pendapatan ekspor kita tidak bergantung pada fluktuasi harga
komoditas.
Selain itu,
menghadapi pelambatan dari sisi ekspor dan investasi, sementara permintaan
domestik didera inflasi tinggi, belanja pemerintah menjadi satu-satunya yang
masih bisa diekspansi. Memang ada kendala budget, selain kapasitas birokrasi
melakukan penyerapan anggaran dengan efektif.
Pendeknya, kita
tak punya banyak waktu untuk terus berwacana. Situasinya bisa menjadi tak
terkendali apabila pertautan faktor fundamental domestik global memicu sentimen
negatif yang meluas. Selain soal defisit neraca perdagangan dan transaksi
berjalan, masalah yang lebih serius adalah defisit kepercayaan kepada
pemerintah yang bisa memicu perilaku brutal, tidak hanya di pasar modal, tetapi
juga di jalanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar