Senin, 09 September 2013

Ketika Aturan Hukum Dilanggar

Ketika Aturan Hukum Dilanggar
Royhan N Wahab  ;   Pengamat Hukum di Indonesia
DETIKNEWS, 08 September 2013


“Sungguh ironis bahwa hukum dipermainkan oleh orang-orang tertentu di Indonesia. Bagaimana hukum mau jadi panglima? Sebagian masyarakatnya saja sudah tidak peduli dengan hukum. Membiarkan seorang anak di bawah umur mengemudikan kendaraan tanpa SIM adalah bukti ketidakpedulian terhadap hukum.”

Kecelakaan maut yang terjadi pagi dini hari tadi (8/9) di Tol Jagorawi yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani (13) menjadi sebuah bukti konkrit bahwa hukum tidak dipedulikan. Memang benar bahwa prinsip presumption of innocencemasih harus dipegang hingga pengadilan yang berwenang membuktikan bahwa seseorang benar-benar terbukti bersalah atau tidak.

Namun demikian, ada beberapa fakta hukum yang tidak dapat dipungkiri.

Fakta pertama adalah bahwa Abdul Qodir Jaelani (AQJ) yang masih berumur 13 tahun berada di belakang kemudi dari kendaraan yang dikendarainya. Kalau kita melihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (UU 22/2009), disebutkan dengan jelas dalam Pasal 77 ayat (1) bahwa “setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan Jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.” Selanjutnya dalam Pasal 81 ayat (1) disebutkan dengan jelas bahwa “untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan dan lulus ujian.”

Menyimak informasi yang beredar di media massa bahwa jenis kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan adalah jenis sedan, maka seharusnya pengemudi tersebut berusia 17 tahun atau lebih. Apabila AQJ yang mengemudikan sedan tersebut masih berusia 13 tahun, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 77 UU 22/2009. Pelanggaran yang dimaksud disini merupakan sebuah pelanggaran pidana yang berdasarkan Pasal 281 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Hal ini belum termasuk apabila ternyata AQJ memiliki Surat Izin Mengemudi padahal belum berusia 17 tahun. Walaupun hal ini masih harus lebih dulu diperiksa oleh pihak kepolisian serta dibuktikan, namun demikian apabila ternyata memang benar yang bersangkutan memiliki SIM, permasalahan hukum bisa melebar ke arah perbuatan pidana lainnya berupa pemalsuan identitas dan lain sebagainya yang seyogyanya tidak akan meringankan yang bersangkutan.

Fakta kedua adalah bahwa kecelakaan tersebut menyebabkan kematian. Dari aspek hukum perdata, AQJ termasuk golongan orang yang belum dewasa (di bawah umur) dikarenakan belum mencapai usia 21 tahun. Hal ini menyebabkan orang tua bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukan AQJ. Sesuai Pasal 1365 BW, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Selanjutnya dalam Pasal 1366 BW disebutkan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesombronoannya.”

Orang tua dari AQJ dalam hal ini tidak bisa lepas dari tanggung jawab keperdataannya, sehingga orang tua dalam hal ini juga dapat dituntut pertanggungjawaban perdatanya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1367 BW yang menyebutkan bahwa “…Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali…”

Tanggung jawab AQJ maupun orang tua dari AQJ secara perdata tidak menghentikan proses perbuatan pidana yang dilakukan.

Kecelakaan pagi dini hari tadi yang melibatkan AQJ dapat dikategorikan sebagai sebuah delik pidana. Hal ini dikarenakan bahwa “kecelakaan maut” tersebut mengakibatkan tewasnya 5 orang. Apakah yang bersangkutan benar-benar bersalah atau tidak, sekali lagi pengadilanlah yang akan memutuskan. Namun demikian berdasarkan WvS, kecelakaan ini termasuk dalam kategori delik pidana yang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan.

Sesuai Pasal 359 WvS, “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Hakim akan memiliki tugas berat untuk benar-benar membuktikan apakah yang bersangkutan bersalah atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak kepolisian dan tuntutan Jaksa. Namun bagi keluarga korban, nyawa sanak saudara yang hilang akibat kecelakaan ini tidak akan pernah kembali.

Secara psikologis dan sosiologis, keluarga yang ditinggalkan akan sangat terpukul dengan kondisi ini. Seorang suami yang biasanya menjadi tulang punggung keluarga, ketidakhadirannya akan sangat memengaruhi nasib kehidupan keluarganya ke depan. Seorang anak yang kehilangan ayahnya, akan hidup sebagai seorang anak yatim dan kehilangan figur seorang Bapak. Ungkapan berbelasungkawa atau berduka tidak akan menghapus kesedihan yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, sudah sewajarnya hukum harus ditegakkan. Hukum harus menjadi panglima. Pengadilan harus benar-benar dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Polisi, Jaksa, dan Hakim tidak boleh pro-orang tenar, tidak boleh pro-orang kaya, dan tidak boleh pro-status sosial yang tinggi. Mereka harus bisa secara tegas memenuhi rasa keadilan masyarakat tersebut sesuai dengan prinsip “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan “ex aequo et bono” (by principles of what is fair and just).

Hal ini penting untuk memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat mengenai arti pentingnya menaati hukum. Selain itu, hal ini akan memberikan dorongan dan tekanan kepada para orang tua untuk tidak dengan mudahnya memanjakan anak dengan harta dan kekayaan dengan mengabaikan aturan hukum yang berlaku. Namun demikian, yang paling penting adalah agar yang bersangkutan (AQJ) menyadari kesalahannya dan jera akibat hukuman yang diterimanya.

Semoga keadilan ditegakkan. ●  

1 komentar: