|
Menjadi petani di negeri ini identik dengan sejuta
kesialan. Saat hendak menanam, petani terbentur modal dan kesulitan mengakses
aneka sarana produksi pertanian. Kalaupun ada, harganya selangit. Dalam hal
modal, dengan alasan petani tidak bankable, perbankan ogah mengucurkan kredit.
Saat sudah tanam, anomali iklim membuat kekeringan dan banjir jadi ajek, dan
hama-penyakit meruyak. Didesak kebutuhan sehari-hari yang tak terelakkan,
selama hari-hari menunggu panen, petani terpaksa berhubungan dengan rentenir
atau pengijon.
Begitu panen, mereka tidak berdaya menghadapi tengkulak
yang memainkan harga seperti roller coaster. Serbuan pangan impor murah membuat
petani laksana di tubir jurang, lantaran pintu impor dibuka lebar tanpa
hambatan apa pun. Saat setelah panen merupakan hari mendebarkan, karena petani
menjadi konsumen dan harus membeli pangan berharga mahal. Ulah para pemburu
rente membuat harga pangan tak terbeli. Ujung dari lingkaran ini: petani tak
berdaya dan termarginalkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Logis
jika petani tak bangga disebut pak tani. Padahal, di negara lain, petani itu
profesi terhormat dan kaum kaya.
Hasil sementara Sensus Pertanian 2013, yang menunjukkan
penurunan jumlah rumah tangga tani, dari 31,17 juta orang pada 2003 menjadi
26,13 juta orang pada 2013, semestinya disyukuri. Penurunan terjadi karena ada
peralihan minat bekerja. Penduduk usia produktif lebih tertarik bekerja di
sektor nonpertanian, seperti industri, perdagangan, makanan, dan jasa (Koran
Tempo, 3 September 2013). Dalam transformasi struktural perekonomian yang
normal, perubahan ini lumrah. Benarkah ini gejala alamiah? Saya ragu. Saya
menduga, penduduk usia produktif bekerja di sektor nonpertanian karena
pertanian tak lagi menjanjikan secara ekonomi. Mereka bekerja di sektor
nonpertanian bukan karena tarikan alami, melainkan lantaran terpaksa.
Pemiskinan petani sebetulnya sudah lama diketahui.
Misalnya, survei Patanas (2000) menemukan, 80 persen pendapatan rumah tangga
petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek,
berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani
padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani merosot: dari 36,2 persen
pada 1980-an menjadi tinggal 13,6 persen. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi
"masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian
dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Punahnya masyarakat petani sudah lama diketahui. Kajian
pedesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemukan fakta getir: tenaga
kerja muda di pedesaan Jawa kian langka. Yang tersisa hanyalah pekerja
tua-renta dan tidak produktif, yang lambat responsnya terhadap perubahan dan
teknologi. Jika pun ada petani muda, mereka terpaksa bertani karena tak
terserap sektor formal. Jumlah petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen,
30-49 tahun 13 persen, sisanya 12 persen berusia kurang dari 30 tahun. Krisis
tenaga kerja pertanian tinggal menunggu waktu.
Akhirnya, pertanian identik dengan kemiskinan, gurem, dan
udik, serta tidak menarik tenaga terdidik. Ini terjadi karena sektor pertanian
mengalami dekstruksi sistemis di semua lini, baik di on-farm, off-farm, maupun
industri dan jasa pendukung. Di on-farm telah terjadi fragmentasi produksi dan
distribusi input pertanian; degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat
pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang; serta memburuknya daya
tampung dan distribusi DAS karena infrastruktur irigasi tidak pernah
dibenahi.
Di off-farm dan jasa pendukung ditandai nihilnya dukungan
bank, dicabutnya subsidi, tak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi
yang kebablasan, hingga tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan
petani. Konversi lahan-lahan pertanian produktif tanpa henti membuat investasi
irigasi, jalan, dan infrastruktur muspro. Akhirnya, investasi dan teknologi,
seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu menggenjot produksi secara
signifikan. Program revitalisasi, peningkatan daya saing, peningkatan produksi
petani, dan kesejahteraan petani tidak hanya membentur tembok, tapi juga
segalanya menjadi sia-sia. Apalagi, desentralisasi dan otonomi daerah membuat
Kementerian Pertanian tak selincah dulu, karena tidak punya "tangan dan
kaki" di daerah. Sektor pertanian betul-betul mengalami sakaratul maut.
Di bidang industri, pemerintah lebih mementingkan kegiatan
di sektor industri/jasa di perkotaan daripada di sektor primer (pertanian) yang
menjadi gantungan hidup mayoritas warga pedesaan. Pertanian dan industri, yang
semestinya bersinergi lewat konsep urban-rural linkages untuk mencapai
kesejahteraan bersama, tidak terjadi. Sebaliknya, justru tercipta kesenjangan
kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi pedesaan. Kota makin
perkasa, sedangkan desa justru makin merana. Indikatornya bisa dilihat dari
kemiskinan yang masih menumpuk di pedesaan. Setelah lebih dari 30 tahun usaha
menggenjot produksi pertanian, kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa.
Peningkatan produksi pangan tidak membuat petani sejahtera.
Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat dan
kebanggaan petani, harus ada pembalikan arah pembangunan: dari sektor
non-tradable (keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta
perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan;
ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga
kerja dan berbasis lokal. Tanpa perubahan pilihan strategi industrialisasi dan
pembangunan, mustahil kemiskinan dan pengangguran di pedesaan bisa
dihapuskan.
Untuk menghapus kemiskinan di pedesaan, harus dilakukan
pembangunan pedesaan. Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan
teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup redistribusi
tanah (land reform). Selain itu,
fokus pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau
pendalaman struktur industri, tapi juga membangun proses industrialisasi yang
mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah transformasi ekonomi yang
menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia di
masa datang. Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi
tidak hanya memiskinkan petani, tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar