Rabu, 11 September 2013

Tragedi Pertanian Indonesia

Tragedi Pertanian Indonesia
Khudori  ;    Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 11 September 2013


Menjadi petani di negeri ini identik dengan sejuta kesialan. Saat hendak menanam, petani terbentur modal dan kesulitan mengakses aneka sarana produksi pertanian. Kalaupun ada, harganya selangit. Dalam hal modal, dengan alasan petani tidak bankable, perbankan ogah mengucurkan kredit. Saat sudah tanam, anomali iklim membuat kekeringan dan banjir jadi ajek, dan hama-penyakit meruyak. Didesak kebutuhan sehari-hari yang tak terelakkan, selama hari-hari menunggu panen, petani terpaksa berhubungan dengan rentenir atau pengijon. 
Begitu panen, mereka tidak berdaya menghadapi tengkulak yang memainkan harga seperti roller coaster. Serbuan pangan impor murah membuat petani laksana di tubir jurang, lantaran pintu impor dibuka lebar tanpa hambatan apa pun. Saat setelah panen merupakan hari mendebarkan, karena petani menjadi konsumen dan harus membeli pangan berharga mahal. Ulah para pemburu rente membuat harga pangan tak terbeli. Ujung dari lingkaran ini: petani tak berdaya dan termarginalkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Logis jika petani tak bangga disebut pak tani. Padahal, di negara lain, petani itu profesi terhormat dan kaum kaya.
Hasil sementara Sensus Pertanian 2013, yang menunjukkan penurunan jumlah rumah tangga tani, dari 31,17 juta orang pada 2003 menjadi 26,13 juta orang pada 2013, semestinya disyukuri. Penurunan terjadi karena ada peralihan minat bekerja. Penduduk usia produktif lebih tertarik bekerja di sektor nonpertanian, seperti industri, perdagangan, makanan, dan jasa (Koran Tempo, 3 September 2013). Dalam transformasi struktural perekonomian yang normal, perubahan ini lumrah. Benarkah ini gejala alamiah? Saya ragu. Saya menduga, penduduk usia produktif bekerja di sektor nonpertanian karena pertanian tak lagi menjanjikan secara ekonomi. Mereka bekerja di sektor nonpertanian bukan karena tarikan alami, melainkan lantaran terpaksa. 
Pemiskinan petani sebetulnya sudah lama diketahui. Misalnya, survei Patanas (2000) menemukan, 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an menjadi tinggal 13,6 persen. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Punahnya masyarakat petani sudah lama diketahui. Kajian pedesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemukan fakta getir: tenaga kerja muda di pedesaan Jawa kian langka. Yang tersisa hanyalah pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Jika pun ada petani muda, mereka terpaksa bertani karena tak terserap sektor formal. Jumlah petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen, 30-49 tahun 13 persen, sisanya 12 persen berusia kurang dari 30 tahun. Krisis tenaga kerja pertanian tinggal menunggu waktu. 
Akhirnya, pertanian identik dengan kemiskinan, gurem, dan udik, serta tidak menarik tenaga terdidik. Ini terjadi karena sektor pertanian mengalami dekstruksi sistemis di semua lini, baik di on-farm, off-farm, maupun industri dan jasa pendukung. Di on-farm telah terjadi fragmentasi produksi dan distribusi input pertanian; degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang; serta memburuknya daya tampung dan distribusi DAS karena infrastruktur irigasi tidak pernah dibenahi. 
Di off-farm dan jasa pendukung ditandai nihilnya dukungan bank, dicabutnya subsidi, tak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi yang kebablasan, hingga tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani. Konversi lahan-lahan pertanian produktif tanpa henti membuat investasi irigasi, jalan, dan infrastruktur muspro. Akhirnya, investasi dan teknologi, seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu menggenjot produksi secara signifikan. Program revitalisasi, peningkatan daya saing, peningkatan produksi petani, dan kesejahteraan petani tidak hanya membentur tembok, tapi juga segalanya menjadi sia-sia. Apalagi, desentralisasi dan otonomi daerah membuat Kementerian Pertanian tak selincah dulu, karena tidak punya "tangan dan kaki" di daerah. Sektor pertanian betul-betul mengalami sakaratul maut.
Di bidang industri, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa di perkotaan daripada di sektor primer (pertanian) yang menjadi gantungan hidup mayoritas warga pedesaan. Pertanian dan industri, yang semestinya bersinergi lewat konsep urban-rural linkages untuk mencapai kesejahteraan bersama, tidak terjadi. Sebaliknya, justru tercipta kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi pedesaan. Kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana. Indikatornya bisa dilihat dari kemiskinan yang masih menumpuk di pedesaan. Setelah lebih dari 30 tahun usaha menggenjot produksi pertanian, kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa. Peningkatan produksi pangan tidak membuat petani sejahtera.
Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat dan kebanggaan petani, harus ada pembalikan arah pembangunan: dari sektor non-tradable (keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan; ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Tanpa perubahan pilihan strategi industrialisasi dan pembangunan, mustahil kemiskinan dan pengangguran di pedesaan bisa dihapuskan. 
Untuk menghapus kemiskinan di pedesaan, harus dilakukan pembangunan pedesaan. Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup redistribusi tanah (land reform). Selain itu, fokus pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau pendalaman struktur industri, tapi juga membangun proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah transformasi ekonomi yang menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia di masa datang. Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak hanya memiskinkan petani, tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar