Rabu, 11 September 2013

Ibu dalam Tragedi si Dul

Ibu dalam Tragedi si Dul
Sirikit Syah  ;    Pegiat Forum Perempuan Peduli, Dosen Stikosa AWS
JAWA POS, 11 September 2013


KECELAKAN mematikan di tol Jagorawi Minggu dini hari memicu pertanyaan: ke mana orang tua anak ketika anak berusia 13 tahun menyetir mobil, mengantar pacar, tengah malam, ngebut?

Pernyataan-pernyataan Ahmad Dhani dan Kak Seto menganggap bodoh nalar masyarakat: Si Dul jangan dilihat sebagai pelaku; dia juga korban; dia korban lingkungan. Paling mudah memang menyalahkan lingkungan. Namun, bagaimana kalau lingkungan anak juga adalah lingkungan bapaknya, sang komandan artis?

Ketidakhadiran sosok ibu dalam kehidupan si Dul bisa saja membuat masyarakat melemparkan kesalahan kepada Maia Estianty, ibu yang juga artis. Namun, Maia keluar dari rumah karena menghindari KDRT (yang tidak baik bagi psikologis anak), dan pengadilan membuktikan bahwa Maia benar dan memenangi perkara cerainya. Namun, sita rumah dan hak asuh anak dihalangi Dhani. Maia mengalah - dengan risiko dianggap kurang berjuang, kurang peduli, kurang bertanggung jawab.

Saya ingat, sastrawan Jerman Bertold Brecht pernah menulis drama yang dipentaskan oleh Basuki Rachmat (almarhum) berjudul Lingkaran Kapur Putih. Ketika dua orang perempuan memperebutkan seorang anak, raja menitahkan dua ibu menarik lengan anak dari dua sisi. Pemenangnya akan mendapat si anak. Ibu palsu sekuat tenaga menarik lengan anak. Tapi, ibu asli tidak tega, lalu melepaskan pegangannya. Saya melihat, itulah yang dilakukan Maia selama ini.

Memang mudah menyalahkan kaum perempuan. Termasuk, kaum perempuan menyalahkan kaum sendiri. Menjadi ibu memang pekerjaan berat. Bila anak sukses, pujian tertuju kepada ayahnya. Bila anak gagal atau amburadul hidupnya, yang salah ibunya. 

Kebetulan, semakin meningkat jumlah perempuan yang enggan menjadi ibu. Negara-negara Singapura, Jepang, Finlandia, Swedia, Israel mengalami angka kelahiran minim, bahkan nol -sebagian negara bahkan memiliki pertumbuhan populasi minus (angka kematian lebih tinggi daripada kelahiran). Kini Amerika Serikat mengalami angka kelahiran terendah dalam sejarah, 9 persen sejak 2007 (Time, September 2013). Di AS, 49 persen dari perempuan menikah yang tidak memiliki anak adalah childless by choice (sengaja tidak ingin punya anak). Pada 1976, hanya ada 1 di antara 10 perempuan yang tidak memiliki anak. Pada 2010, angkanya meningkat menjadi 1 di antara 5.

Ketidakinginan punya anak dilatarbelakangi banyak faktor, Namun, pada umumnya, mereka tidak mau repot mengurus anak, menekuni karir, takut tidak dapat bertanggung jawab, atau takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik. Bintang film Katharine Hepburn pernah berbicara kepada majalah People pada 1990: ''Saya dibesarkan dalam standar yang tinggi sehingga saya khawatir saya tidak bisa seperti ibu saya itu kalau saya punya anak, apalagi dengan menjadi bintang film.''

Oprah Winfrey juga berbicara kepada Barbara Walters pada 2010: ''Saya tidak pernah menyesal tidak punya anak. Mungkin memang itu yang terbaik bagi saya.'' Oprah juga menganggap anak-anak asuhnya di Afrika sebagai anak sendiri. Penyanyi Dolly Parton, yang memiliki sebelas saudara, memilih tidak punya anak karena menganggap ''Lagu-lagu saya adalah anak-anak saya. Merekalah yang akan membantu saya kalau saya tua kelak.''

Kebanyakan justru perempuan berdaya (secara ekonomi dan strata sosial) yang lebih tidak ingin punya anak. Di kalangan perempuan kelas atas dengan pendapatan tinggi, satu di antara delapan perempuan tidak ingin punya anak. Di kalangan perempuan kelas menengah, terdapat satu di antara 14 perempuan yang tidak ingin punya anak. Sedangkan di kalangan perempuan miskin, hanya satu di antara 20 perempuan yang tidak ingin punya anak. Besar kemungkinan kaum perempuan miskin bahkan tidak berdaya menghentikan laju kelahiran.

Di Israel bahwa angka homoseksualitas tinggi, juga di beberapa negara atau negara bagian yang melegalkan perkawinan sesama jenis, masa depan bangsa sungguh-sungguh dipertaruhkan. Bila manusia tidak menjalankan kodratnya untuk berketurunan, itu sama dengan membunuh masa depan bangsa.

Kembali kepada kasus si Doel anak Ahmad Dhani. Maia memang artis, pernah merokok dan dugem. Namun, itu tidak berarti dia ibu yang buruk. Dari silsilah keluarganya, dia keturunan pahlawan Tjokroaminoto dan ayahnya, Haryono Sigit, pernah menjadi rektor ITS. Kultur pendidikan dan atmosfer belajar kental dalam keluarganya. Ketika anak-anak masih kecil dan keluarga tersebut masih utuh, Maia rajin mendampingi anak-anaknya belajar dan mengerjakan PR.

Siapa yang mendampingi tiga anak lelaki Maia selama ini? Bagaimana si Dul bisa terlibat kecelakaan maut? Saya pikir, ini momentum bagi Maia untuk mendapatkan kembali hak asuhnya dan momentum bagi kita kaum perempuan untuk mendukung dia. Sentuhan lembut dan pelukan seorang ibu amat diperlukan oleh para anak laki-laki agar kelak mereka juga memperlakukan kaum perempuan selembut ibu mereka memperlakukan mereka.

Kita, kaum perempuan, juga perlu mendukung keluarga korban Dul agar mendapat keadilan, termasuk santunan yang pantas bagi para janda dan yatimnya. ●  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar