|
Agama adalah
urusan pribadi yang wajib dijamin oleh negara. Tapi pelaksanaan kebebasan
beragama, baik yang positif maupun negatif, harus ditindak jika terbukti
melanggar aturan hukum.
Entah untuk
mengubur rasa bersalah atau karena "kurang gaul", sebagian pejabat
kita suka sekali membangga-banggakan diri dalam perkara toleransi dan kebebasan
beragama. Berkebalikan dengan laporan-laporan tahunan yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural
Studies (CRCS) UGM, Setara Institute, Wahid Institute, dan berbagai lembaga
kredibel internasional mengenai kehidupan beragama di Indonesia yang bertabur
noda. Baru-baru ini, misalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa
hubungan antar-umat beragama di negara kita adalah yang terbaik di dunia.
Dengan menengok sejarah sebentar saja, seharusnya kita paham. Sejak 1967,
toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia lebih banyak ditafsir dan
dipraktekkan menurut perspektif mayoritas.
Interpelasi
Simorangkir bisa disebut sebagai peristiwa terbuka pertama menyangkut isu
toleransi dan kebebasan beragama setelah kemerdekaan. Persis pada awal Orde
Baru, interpelasi Simorangkir diajukan kalangan Kristen dalam suatu sidang parlemen
DPR GR 1967 guna menggugat pelarangan pendirian gereja Metodis di Meulaboh,
Aceh. Menurut mereka, tindakan pelarangan itu menghancurkan semangat toleransi
beragama, tidak sesuai dengan Pancasila, melanggar HAM, dan mengancam persatuan
nasional.
Sebaliknya,
kalangan muslim yang dimotori oleh tokoh seperti HM. Rasjidi dan M. Natsir
menuduh bahwa, dengan mendirikan gereja dan melakukan kegiatan misi di
lingkungan muslim seperti Aceh yang pada zaman Belanda pun dilarang di bawah
peraturan "double mission" golongan
Kristen-lah yang tidak punya toleransi dan tak menghargai kebebasan beragama,
membahayakan Pancasila, serta mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa.
Beberapa bulan
kemudian, meletus pula "Peristiwa Makassar" yang dipicu oleh
kombinasi antara tindakan pelecehan oleh seorang guru beragama Kristen terhadap
Nabi Muhammad dan rencana penyelenggaraan Sidang Raya Dewan Gereja-gereja
Indonesia (DGI) VI di kota itu. Belasan gereja, sekolah, asrama, dan bangunan
Kristen dirusak massa muslim. Bagi kalangan Kristen, ini merupakan bukti lain
betapa umat Islam tidak memiliki toleransi dan tak peduli kebebasan beragama,
sebagaimana yang telah mereka khawatirkan sejak perdebatan perumusan Konstitusi
1945. Sebaliknya, bagi warga muslim, tindakan pelecehan dan penyelenggaraan SR
DGI di kota berpenduduk mayoritas muslim itu dipandang sebagai ekspansi
terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip toleransi serta kebebasan
beragama.
Musyawarah
Antarumat Beragama yang diselenggarakan pemerintah pada akhir 1967 memang bisa
menghentikan perdebatan terbuka yang potensial mengguncang tahun-tahun awal
Orde Baru, tapi ia gagal menyelesaikan masalah. Berbagai peristiwa pada 1967
dan periode formatif Orde Baru serta solusinya telah membentuk watak hubungan
antar-umat beragama di Indonesia, sampai sekarang. Di bawah otoritarianisme
Soeharto, ketegangan dan saling curiga antarumat beragama terus mengendap,
kadang pecah, seperti dalam kasus pembunuhan seorang pendeta Kristen Australia
pada 1974 yang berbuntut pembatalan rencana SR Dewan Gereja-gereja Dunia 1975
di Jakarta, perdebatan RUU Perkawinan 1973, UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas
1989, dan lain-lain.
Dengan menggunakan
dalil kerukunan, Pancasila, kesatuan nasional, dan HAM, khususnya Islam dan
Kristen sebagai dua kelompok terbesar terus berebut tafsir dan berupaya untuk
mempergunakan kekuatan negara dalam mendesakkan kepentingan masing-masing
sembari saling tuding mengenai siapa yang membela dan siapa yang melanggar
prinsip toleransi dan kebebasan beragama.
Dari Isaiah Berlin
(2002), kita belajar tentang dua wajah kebebasan. Kebebasan positif atau
"kebebasan untuk" (freedom for)
dan kebebasan negatif atau "kebebasan dari" (freedom from). Keduanya bukan cuma merupakan dua ragam yang
berbeda, tapi juga rival dan dua tafsir yang tak saling bersesuaian tentang
kebebasan. Apa yang terjadi dalam hubungan antar-umat beragama di Indonesia
adalah contohnya.
Akibat sejarah
yang kompleks, khususnya dalam hubungannya dengan kelompok Kristen, sebagian
muslim di Indonesia cenderung memahami kebebasan beragama sebagai
"kebebasan dari" pengaruh dan "gangguan" agama lain.
Peraturan izin pendirian rumah ibadah dan pelarangan penyebaran agama terhadap
orang yang "sudah beragama" yang dibuat Orde Baru setelah peristiwa
1967 atas desakan kalangan muslim adalah contoh yang populer. Bagi umat Islam,
toleransi dan kebebasan beragama terutama adalah "jangan ganggu iman
kami".
Sedangkan kalangan
Kristen cenderung menekankan aspek "kebebasan untuk", termasuk
kebebasan untuk menyebarkan agamanya kepada siapa saja, baik yang "sudah
beragama" maupun "belum". Dalam perdebatan pada 1950-an, selain
Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, Konstitusi RIS 1949 yang secara eksplisit
mencantumkan hak bebas berganti agama kerap mereka rujuk.
Sedangkan kelompok
muslim dan Hindu sama-sama sepakat agar umat yang "sudah beragama"
tidak boleh dijadikan sasaran penyebaran agama. Ini memang merupakan isu
genting, terutama sejak 1965, ketika Orde Baru mendorong arus konversi ke dalam
agama-agama resmi sebagai suatu cara untuk menghabisi golongan komunis.
Agama-agama yang diakui pun saling berebut penumpang. Akibatnya, kelompok
mayoritas takut kehilangan, kelompok minoritas takut tidak mendapat bagian.
Sebagaimana
kebebasan secara umum, sebenarnya kebebasan beragama selalu hadir dalam dua
wajah, yang "positif" dan "negatif", dan tidak ada yang
berdiri sendiri secara mutlak. Karenanya, negara semestinya tidak perlu repot
harus berpihak ke mana, kecuali kepada prinsip keadilan dan kesederajatan
setiap kelompok dan warga. Agama adalah urusan pribadi yang wajib dijamin oleh
negara. Tapi pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang positif maupun negatif,
harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum. FPI karena itu tidak boleh
dibiarkan sewenang-wenang menghalang-halangi usaha pembangunan rumah ibadah
umat non-muslim atau menghabisi kelompok-kelompok Islam yang mereka anggap
sesat.
Pada masa lalu,
Orde Baru dan banyak produk hukumnya, seperti peraturan pendirian tempat
ibadah, pengawasan terhadap aliran kepercayaan warga negara, dan pewajiban
pelajaran agama di sekolah umum, telah membuat masalah toleransi dan kebebasan
beragama justru kian runyam. Sebab, Orde Baru memang tidak menjamin penegakan
prinsip toleransi dan kebebasan beragama itu sendiri, melainkan memihak kepada
tafsir keduanya menurut kelompok yang menguntungkan kepentingan politiknya.
Sampai sekarang, warisan kebijakan dan paradigma itu rupanya masih terus
dipertahankan.
Penganiayaan dan
kesewenang-wenangan terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti yang tecermin
dalam kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah, dan GKI Yasmin, jelas menunjukkan
bahwa posisi kita masih belum jauh bergeser dari situasi 1967, lama setelah
Orde Baru runtuh.
Mungkinkah yang
kita bangga-banggakan selama ini cuma toleransi palsu dan kebebasan beragama
semu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar