Kamis, 19 September 2013

Toleransi Palsu, Kebebasan Beragama Semu

Toleransi Palsu, Kebebasan Beragama Semu
Achmad Munjid  ;    Dosen Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Pascasarjana UGM
TEMPO.CO, 16 September 2013


Agama adalah urusan pribadi yang wajib dijamin oleh negara. Tapi pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang positif maupun negatif, harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum.

Entah untuk mengubur rasa bersalah atau karena "kurang gaul", sebagian pejabat kita suka sekali membangga-banggakan diri dalam perkara toleransi dan kebebasan beragama. Berkebalikan dengan laporan-laporan tahunan yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Setara Institute, Wahid Institute, dan berbagai lembaga kredibel internasional mengenai kehidupan beragama di Indonesia yang bertabur noda. Baru-baru ini, misalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa hubungan antar-umat beragama di negara kita adalah yang terbaik di dunia. Dengan menengok sejarah sebentar saja, seharusnya kita paham. Sejak 1967, toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia lebih banyak ditafsir dan dipraktekkan menurut perspektif mayoritas.

Interpelasi Simorangkir bisa disebut sebagai peristiwa terbuka pertama menyangkut isu toleransi dan kebebasan beragama setelah kemerdekaan. Persis pada awal Orde Baru, interpelasi Simorangkir diajukan kalangan Kristen dalam suatu sidang parlemen DPR GR 1967 guna menggugat pelarangan pendirian gereja Metodis di Meulaboh, Aceh. Menurut mereka, tindakan pelarangan itu menghancurkan semangat toleransi beragama, tidak sesuai dengan Pancasila, melanggar HAM, dan mengancam persatuan nasional.

Sebaliknya, kalangan muslim yang dimotori oleh tokoh seperti HM. Rasjidi dan M. Natsir menuduh bahwa, dengan mendirikan gereja dan melakukan kegiatan misi di lingkungan muslim seperti Aceh yang pada zaman Belanda pun dilarang di bawah peraturan "double mission" golongan Kristen-lah yang tidak punya toleransi dan tak menghargai kebebasan beragama, membahayakan Pancasila, serta mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa.

Beberapa bulan kemudian, meletus pula "Peristiwa Makassar" yang dipicu oleh kombinasi antara tindakan pelecehan oleh seorang guru beragama Kristen terhadap Nabi Muhammad dan rencana penyelenggaraan Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) VI di kota itu. Belasan gereja, sekolah, asrama, dan bangunan Kristen dirusak massa muslim. Bagi kalangan Kristen, ini merupakan bukti lain betapa umat Islam tidak memiliki toleransi dan tak peduli kebebasan beragama, sebagaimana yang telah mereka khawatirkan sejak perdebatan perumusan Konstitusi 1945. Sebaliknya, bagi warga muslim, tindakan pelecehan dan penyelenggaraan SR DGI di kota berpenduduk mayoritas muslim itu dipandang sebagai ekspansi terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip toleransi serta kebebasan beragama.

Musyawarah Antarumat Beragama yang diselenggarakan pemerintah pada akhir 1967 memang bisa menghentikan perdebatan terbuka yang potensial mengguncang tahun-tahun awal Orde Baru, tapi ia gagal menyelesaikan masalah. Berbagai peristiwa pada 1967 dan periode formatif Orde Baru serta solusinya telah membentuk watak hubungan antar-umat beragama di Indonesia, sampai sekarang. Di bawah otoritarianisme Soeharto, ketegangan dan saling curiga antarumat beragama terus mengendap, kadang pecah, seperti dalam kasus pembunuhan seorang pendeta Kristen Australia pada 1974 yang berbuntut pembatalan rencana SR Dewan Gereja-gereja Dunia 1975 di Jakarta, perdebatan RUU Perkawinan 1973, UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas 1989, dan lain-lain.

Dengan menggunakan dalil kerukunan, Pancasila, kesatuan nasional, dan HAM, khususnya Islam dan Kristen sebagai dua kelompok terbesar terus berebut tafsir dan berupaya untuk mempergunakan kekuatan negara dalam mendesakkan kepentingan masing-masing sembari saling tuding mengenai siapa yang membela dan siapa yang melanggar prinsip toleransi dan kebebasan beragama.

Dari Isaiah Berlin (2002), kita belajar tentang dua wajah kebebasan. Kebebasan positif atau "kebebasan untuk" (freedom for) dan kebebasan negatif atau "kebebasan dari" (freedom from). Keduanya bukan cuma merupakan dua ragam yang berbeda, tapi juga rival dan dua tafsir yang tak saling bersesuaian tentang kebebasan. Apa yang terjadi dalam hubungan antar-umat beragama di Indonesia adalah contohnya.

Akibat sejarah yang kompleks, khususnya dalam hubungannya dengan kelompok Kristen, sebagian muslim di Indonesia cenderung memahami kebebasan beragama sebagai "kebebasan dari" pengaruh dan "gangguan" agama lain. Peraturan izin pendirian rumah ibadah dan pelarangan penyebaran agama terhadap orang yang "sudah beragama" yang dibuat Orde Baru setelah peristiwa 1967 atas desakan kalangan muslim adalah contoh yang populer. Bagi umat Islam, toleransi dan kebebasan beragama terutama adalah "jangan ganggu iman kami".

Sedangkan kalangan Kristen cenderung menekankan aspek "kebebasan untuk", termasuk kebebasan untuk menyebarkan agamanya kepada siapa saja, baik yang "sudah beragama" maupun "belum". Dalam perdebatan pada 1950-an, selain Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, Konstitusi RIS 1949 yang secara eksplisit mencantumkan hak bebas berganti agama kerap mereka rujuk.

Sedangkan kelompok muslim dan Hindu sama-sama sepakat agar umat yang "sudah beragama" tidak boleh dijadikan sasaran penyebaran agama. Ini memang merupakan isu genting, terutama sejak 1965, ketika Orde Baru mendorong arus konversi ke dalam agama-agama resmi sebagai suatu cara untuk menghabisi golongan komunis. Agama-agama yang diakui pun saling berebut penumpang. Akibatnya, kelompok mayoritas takut kehilangan, kelompok minoritas takut tidak mendapat bagian.

Sebagaimana kebebasan secara umum, sebenarnya kebebasan beragama selalu hadir dalam dua wajah, yang "positif" dan "negatif", dan tidak ada yang berdiri sendiri secara mutlak. Karenanya, negara semestinya tidak perlu repot harus berpihak ke mana, kecuali kepada prinsip keadilan dan kesederajatan setiap kelompok dan warga. Agama adalah urusan pribadi yang wajib dijamin oleh negara. Tapi pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang positif maupun negatif, harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum. FPI karena itu tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang menghalang-halangi usaha pembangunan rumah ibadah umat non-muslim atau menghabisi kelompok-kelompok Islam yang mereka anggap sesat.

Pada masa lalu, Orde Baru dan banyak produk hukumnya, seperti peraturan pendirian tempat ibadah, pengawasan terhadap aliran kepercayaan warga negara, dan pewajiban pelajaran agama di sekolah umum, telah membuat masalah toleransi dan kebebasan beragama justru kian runyam. Sebab, Orde Baru memang tidak menjamin penegakan prinsip toleransi dan kebebasan beragama itu sendiri, melainkan memihak kepada tafsir keduanya menurut kelompok yang menguntungkan kepentingan politiknya. Sampai sekarang, warisan kebijakan dan paradigma itu rupanya masih terus dipertahankan.
Penganiayaan dan kesewenang-wenangan terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti yang tecermin dalam kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah, dan GKI Yasmin, jelas menunjukkan bahwa posisi kita masih belum jauh bergeser dari situasi 1967, lama setelah Orde Baru runtuh.


Mungkinkah yang kita bangga-banggakan selama ini cuma toleransi palsu dan kebebasan beragama semu? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar