|
Keseimbangan dan keharmonisan hidup hanya akan tercipta bila
kewajiban lebih diutamakan dan didahulukan oleh semua pihak daripada hak.
Pembersihan dan penertiban waduk Pluit-yang de facto dipakai
sebagai hunian masyarakat-yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sempat menuai perlawanan sengit dari para penghuni kawasan itu. De jure, lahan itu adalah milik negara
dengan peruntukan sebagai penampungan air. Mediasi dilakukan oleh Komnas HAM.
Fenomena itu-semacam kasus Waduk Pluit-sungguh sangat
mengkhawatirkan. Ini adalah fakta brutal, fakta yang ada dan sungguh
membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Jim Collins,
dalam buku best seller-nya, Good To Great, memberi istilah the
brutal facts bagi fenomena semacam ini; suatu fakta yang negatif yang sangat
membahayakan keberlangsungan (sustainability)
suatu kehidupan komunitas.
Dalam konteks itu, the brutal facts di Indonesia adalah:
sebagian besar masyarakat bangsa ini hanya memahami dan menuntut hak-haknya.
Supremasi hak atas kewajiban sudah menjadi pola pikir dan perilaku masyarakat
kita. Watak egois, mementingkan diri sendiri, kabur antara hak dan kewajiban,
kabur antara mana yang milik dan mana yang bukan milik, menjadi salah satu
watak yang amat menonjol saat ini. Secara umum, kita bisa melihat indikator
yang kasatmata, hampir semua lini masyarakat pernah dan menggunakan sarana ini:
demo atau unjuk rasa untuk menuntut hak-hak (atau tepatnya kemauan atau
keinginan mereka, yang belum tentu merupakan hak mereka). Sebut saja, adakah
suatu kelompok dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak pernah berunjuk
rasa?
Selain demo atau unjuk rasa-yang pada umumnya dilakukan
berkelompok (massa) dan terbuka di jalanan-kebiasaan tuntut-menuntut hak ini
juga terjadi dalam wahana yang lebih elegan: seminar, diskusi (talk show), dan rapat-rapat pelbagai
lapisan, sesuai dengan topik masing-masing. Yang muncul dari wahana-wahana itu
adalah suara-suara mengenai hak dan hak (kemauan dan keinginan) para pembicara
belaka. Sementara kewajiban dan kewajiban adalah hal yang harus dilakukan oleh
orang-orang lain, yang bukan pembicara.
Dan indikator utama yang lain, yang secara konstitusi pun
diakui, adalah adanya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM); juga Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Sedangkan institusi yang khusus mengelola kewajiban
atau tanggung jawab asasi manusia tak pernah selintas pun menjadi pembicaraan
atau bahkan wacana dari para pemuka masyarakat.
Semua orang hanya meneriakkan hak, hak, dan hak
(kemauan-keinginan). Sedangkan kewajiban adalah hal berikutnya yang dipandang
tak sederajat dengan hak. Pertanyaan pertama, dan mendasar untuk itu, adalah:
benar demikiankah seharusnya? Benarkah kewajiban adalah hal sekunder, sedangkan
hak adalah soal primer?
Hukum alam
Menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat yang
seharusnya terjadi, yang secara hukum alam harus berlangsung. Secara prinsip,
dalam segala bidang kehidupan, hak akan timbul hanya bila kewajiban telah
dilunasi. Sebagai contoh: para karyawan atau pegawai, mereka harus bekerja
dahulu (menunaikan kewajiban), baru kemudian mereka mendapatkan gaji atau
penghasilan (sebagai hak) di akhir bulan.
Para investor-di mana pun dan dalam bisnis apa pun di
dunia-hanya akan mendapatkan return atau hasil usaha (hak mereka) setelah
mereka lebih dulu menunaikan kewajibannya menyetorkan modal. Kata suatu
jargon-yang menurut saya, tepat sekali-yang pernah saya baca di Singapura, "Tolonglah kami agar kami dapat
menolong Anda." Memberi dahulu, dan mengambil kemudian (give first and then take). Itu adalah
hukum alam. Itu adalah kondisi yang seharusnya terjadi. Keseimbangan dan
keharmonisan hidup hanya akan tercipta bila kewajiban lebih diutamakan dan
didahulukan oleh semua pihak daripada hak.
Dalam tatanan kenegaraan dan kemasyarakatan, John F. Kennedy
menuturkan prinsip kehidupan itu dalam kalimat kenegarawanannya yang sangat
terkenal: "Jangan tanyakan apa yang
negara dapat lakukan bagi Anda, tapi tanyakan apa yang dapat Anda lakukan bagi
negara.' Barangkali, pada masa itu, Kennedy (1917-1963) mendapati bahwa
masyarakat Amerika-sama dengan masyarakat kita saat ini-demikian gigih
memperjuangkan segenap hak-haknya, sementara itu semua dilakukan dengan
mengabaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya sebagai warga negara. Barangkali.
Dalam perspektif spiritual, memberi adalah hal utama yang
dianjurkan. Memberi adalah panduan wajib-secara spiritual-alasan keberadaan
manusia di dunia. "Cintailah yang di
bumi agar dicintai yang di langit" adalah suatu kaidah universal yang
sangat membumi. Mencintai sesama agar dicintai oleh Yang Maha Kuasa, dan
mewujudkannya dalam bentuk memberi, adalah hal yang secara spiritual sangat
terpuji. "Untuk apa kita hidup jika
tidak untuk membuat dunia menjadi lebih mudah bagi sesama?" kata
George Eliot, penulis kondang era Victoria asal Inggris. "Kudapati bahwa hidup adalah bisnis yang menggairahkan, dan paling
menggairahkan ketika dijalani untuk orang lain," kata Hellen Keller,
politikus dan pengarang Amerika.
Pertanyaan kedua yang mendasar, mengapa terjadi supremasi hak
atas kewajiban dalam masyarakat saat ini? Mengapa orang berperilaku
bertentangan dengan hukum alam, hak dulu baru kewajiban?
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap supremasi yang
keliru itu adalah tiadanya kepercayaan masyarakat akan tatanan hukum. Tiadanya
kepercayaan itu menumbuhkan rasa ketidakpastian hukum. Kita sudah susah payah
antre untuk mendapatkan tiket kereta. Ternyata, tanpa harus antre, ada calo
yang melenggang ke loket dan memborong habis tiket. Orang bekerja jujur dan
keras dan mendapatkan penghasilan sekadarnya, sementara para koruptor-yang
nyaman saja menabrak segala tatanan hukum-meraih harta berlimpah secara tidak
sah dan dihukum sekadarnya.
Hukum adalah alat untuk meraih salah satu tujuan elementer
berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan. Bila hukum dan segenap perangkatnya,
termasuk para aparatnya, sudah tak dipercaya oleh masyarakat, sudah bisa
dipastikan keadilan tak akan terjadi. Kehidupan akan semrawut, kacau. Setiap
orang akan merasakan "kegamangan"
hukum. Sebagai akibat lebih lanjut kegamangan hukum ini, salah satu bentuknya
adalah pola main hakim sendiri yang mewabah dalam pelbagai lapisan masyarakat.
Akibat lanjut yang lain adalah semua berlomba meraih dan
mendapatkan hak apa pun yang mungkin, meskipun itu belum tentu haknya. Semua
akan mencoba-coba untuk melanggar, untuk mengklaim segala sesuatu sebagai
haknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar