Kamis, 19 September 2013

Supremasi Hak atas Kewajiban Asasi Manusia

Supremasi Hak atas Kewajiban Asasi Manusia
Pongki Pamungkas  ;    Presiden Direktur PT Serasi Autoraya
TEMPO.CO, 14 September 2013


Keseimbangan dan keharmonisan hidup hanya akan tercipta bila kewajiban lebih diutamakan dan didahulukan oleh semua pihak daripada hak. 

Pembersihan dan penertiban waduk Pluit-yang de facto dipakai sebagai hunian masyarakat-yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat menuai perlawanan sengit dari para penghuni kawasan itu. De jure, lahan itu adalah milik negara dengan peruntukan sebagai penampungan air. Mediasi dilakukan oleh Komnas HAM.

Fenomena itu-semacam kasus Waduk Pluit-sungguh sangat mengkhawatirkan. Ini adalah fakta brutal, fakta yang ada dan sungguh membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Jim Collins, dalam buku best seller-nya, Good To Great, memberi istilah the brutal facts bagi fenomena semacam ini; suatu fakta yang negatif yang sangat membahayakan keberlangsungan (sustainability) suatu kehidupan komunitas.

Dalam konteks itu, the brutal facts di Indonesia adalah: sebagian besar masyarakat bangsa ini hanya memahami dan menuntut hak-haknya. Supremasi hak atas kewajiban sudah menjadi pola pikir dan perilaku masyarakat kita. Watak egois, mementingkan diri sendiri, kabur antara hak dan kewajiban, kabur antara mana yang milik dan mana yang bukan milik, menjadi salah satu watak yang amat menonjol saat ini. Secara umum, kita bisa melihat indikator yang kasatmata, hampir semua lini masyarakat pernah dan menggunakan sarana ini: demo atau unjuk rasa untuk menuntut hak-hak (atau tepatnya kemauan atau keinginan mereka, yang belum tentu merupakan hak mereka). Sebut saja, adakah suatu kelompok dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak pernah berunjuk rasa? 

Selain demo atau unjuk rasa-yang pada umumnya dilakukan berkelompok (massa) dan terbuka di jalanan-kebiasaan tuntut-menuntut hak ini juga terjadi dalam wahana yang lebih elegan: seminar, diskusi (talk show), dan rapat-rapat pelbagai lapisan, sesuai dengan topik masing-masing. Yang muncul dari wahana-wahana itu adalah suara-suara mengenai hak dan hak (kemauan dan keinginan) para pembicara belaka. Sementara kewajiban dan kewajiban adalah hal yang harus dilakukan oleh orang-orang lain, yang bukan pembicara. 

Dan indikator utama yang lain, yang secara konstitusi pun diakui, adalah adanya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM); juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sedangkan institusi yang khusus mengelola kewajiban atau tanggung jawab asasi manusia tak pernah selintas pun menjadi pembicaraan atau bahkan wacana dari para pemuka masyarakat. 

Semua orang hanya meneriakkan hak, hak, dan hak (kemauan-keinginan). Sedangkan kewajiban adalah hal berikutnya yang dipandang tak sederajat dengan hak. Pertanyaan pertama, dan mendasar untuk itu, adalah: benar demikiankah seharusnya? Benarkah kewajiban adalah hal sekunder, sedangkan hak adalah soal primer? 

Hukum alam

Menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat yang seharusnya terjadi, yang secara hukum alam harus berlangsung. Secara prinsip, dalam segala bidang kehidupan, hak akan timbul hanya bila kewajiban telah dilunasi. Sebagai contoh: para karyawan atau pegawai, mereka harus bekerja dahulu (menunaikan kewajiban), baru kemudian mereka mendapatkan gaji atau penghasilan (sebagai hak) di akhir bulan. 

Para investor-di mana pun dan dalam bisnis apa pun di dunia-hanya akan mendapatkan return atau hasil usaha (hak mereka) setelah mereka lebih dulu menunaikan kewajibannya menyetorkan modal. Kata suatu jargon-yang menurut saya, tepat sekali-yang pernah saya baca di Singapura, "Tolonglah kami agar kami dapat menolong Anda." Memberi dahulu, dan mengambil kemudian (give first and then take). Itu adalah hukum alam. Itu adalah kondisi yang seharusnya terjadi. Keseimbangan dan keharmonisan hidup hanya akan tercipta bila kewajiban lebih diutamakan dan didahulukan oleh semua pihak daripada hak. 

Dalam tatanan kenegaraan dan kemasyarakatan, John F. Kennedy menuturkan prinsip kehidupan itu dalam kalimat kenegarawanannya yang sangat terkenal: "Jangan tanyakan apa yang negara dapat lakukan bagi Anda, tapi tanyakan apa yang dapat Anda lakukan bagi negara.' Barangkali, pada masa itu, Kennedy (1917-1963) mendapati bahwa masyarakat Amerika-sama dengan masyarakat kita saat ini-demikian gigih memperjuangkan segenap hak-haknya, sementara itu semua dilakukan dengan mengabaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya sebagai warga negara. Barangkali.

Dalam perspektif spiritual, memberi adalah hal utama yang dianjurkan. Memberi adalah panduan wajib-secara spiritual-alasan keberadaan manusia di dunia. "Cintailah yang di bumi agar dicintai yang di langit" adalah suatu kaidah universal yang sangat membumi. Mencintai sesama agar dicintai oleh Yang Maha Kuasa, dan mewujudkannya dalam bentuk memberi, adalah hal yang secara spiritual sangat terpuji. "Untuk apa kita hidup jika tidak untuk membuat dunia menjadi lebih mudah bagi sesama?" kata George Eliot, penulis kondang era Victoria asal Inggris. "Kudapati bahwa hidup adalah bisnis yang menggairahkan, dan paling menggairahkan ketika dijalani untuk orang lain," kata Hellen Keller, politikus dan pengarang Amerika. 

Pertanyaan kedua yang mendasar, mengapa terjadi supremasi hak atas kewajiban dalam masyarakat saat ini? Mengapa orang berperilaku bertentangan dengan hukum alam, hak dulu baru kewajiban?
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap supremasi yang keliru itu adalah tiadanya kepercayaan masyarakat akan tatanan hukum. Tiadanya kepercayaan itu menumbuhkan rasa ketidakpastian hukum. Kita sudah susah payah antre untuk mendapatkan tiket kereta. Ternyata, tanpa harus antre, ada calo yang melenggang ke loket dan memborong habis tiket. Orang bekerja jujur dan keras dan mendapatkan penghasilan sekadarnya, sementara para koruptor-yang nyaman saja menabrak segala tatanan hukum-meraih harta berlimpah secara tidak sah dan dihukum sekadarnya. 

Hukum adalah alat untuk meraih salah satu tujuan elementer berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan. Bila hukum dan segenap perangkatnya, termasuk para aparatnya, sudah tak dipercaya oleh masyarakat, sudah bisa dipastikan keadilan tak akan terjadi. Kehidupan akan semrawut, kacau. Setiap orang akan merasakan "kegamangan" hukum. Sebagai akibat lebih lanjut kegamangan hukum ini, salah satu bentuknya adalah pola main hakim sendiri yang mewabah dalam pelbagai lapisan masyarakat. 

Akibat lanjut yang lain adalah semua berlomba meraih dan mendapatkan hak apa pun yang mungkin, meskipun itu belum tentu haknya. Semua akan mencoba-coba untuk melanggar, untuk mengklaim segala sesuatu sebagai haknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar