Kamis, 19 September 2013

Tahun-tahun Hidup dalam Bahaya

Tahun-tahun Hidup dalam Bahaya
Fachruddin Mangunjaya  ;    Dosen Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta
TEMPO.CO, 17 September 2013


Harrison Ford datang ke Indonesia, melihat langsung keadaan hutan di Sumatera dan Kalimantan. Aktor sekuel film Indiana Jones ini memang sangat gencar berkampanye upaya perlindungan hutan. Dia juga menjadi duta kampanye penyadaran publik tentang konservasi pada sebuah organisasi konservasi lingkungan ternama di AS dan menjadi ikon penyadaran pentingnya menjaga kestabilan iklim guna mendukung pelaksanaan konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Harrison juga terlibat proyek film dokumenter bertajuk Years of Living Dangerously (Tahun-tahun Hidup dalam Bahaya) karya produser James Cameron dan Arnold Schwarzenegger. Film ini mengangkat tema tentang dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia serta akan membahayakan planet bumi dan mempunyai dampak pada generasi mendatang.

Secara tidak langsung, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, sesungguhnya ikut merasakan dampak kehilangan hutan dan perubahan iklim. Selain dari sektor energi, 16 hingga 20 persen penyebab perubahan iklim adalah kebakaran hutan dan pembukaan kawasan hutan. Negara-negara maju, sekarang ini merasakan anomali iklim yang tidak terduga, frekuensi badai yang kian bertambah tinggi, musim kering yang panjang dan curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan banjir yang menenggelamkan bangunan dan membawa korban.

Bahkan, dalam soal kebakaran hutan, AS juga mengalami nasib yang sama dengan Indonesia. Sejak Agustus hingga awal September ini, Yosemite National Park, sebuah taman nasional yang sangat dicintai oleh bangsa Amerika-menjadi role model taman nasional di dunia-telah terbakar akibat api liar yang tidak diketahui pangkalnya. Laporan terakhir menyatakan lebih dari 103,5 ribu hektare hutan terbakar-luasan ini sama dengan dua setengah kali luas Taman Nasional Tesso Nilo-yang mengakibatkan kerugian mencapai 108 juta dollar AS. Musim panas mengakibatkan api liar muncul, menurut Kepala Pelayanan Kehutanan, AS Tomas Tidwell, diakibatkan panas lebih panjang dalam dua bulan terakhir dan api liar memusnahkan dua kali lebih luas dari kebakaran yang pernah terjadi 40 tahun sebelumnya.

Adapun hutan Indonesia telah menjadi sorotan sejak awal 1990-an, ketika kajian ilmiah tentang kritisnya beberapa kawasan di planet bumi yang mempunyai peran penting, terancam akibat eksploitasi yang berlebihan. Indonesia (kecuali Papua) dalam kajian tersebut disebut sebagai kawasan hotspot bersama puluhan negara lain yang ditelaah mempunyai dua aspek luar biasa sehingga harus mendapat prioritas dan perhatian: pertama, memiliki konsentrasi spesies flora dan fauna yang tinggi dan tingkat endemisme yang luar biasa, dan, kedua, menghadapi ancaman kepunahan yang luar biasa pula. Negara hotspot telah diprediksi Norman Mayers (1988) akan kehilangan 90 persen tutupan hutan mereka di akhir abad 20 dan menjelang abad 21, yang akan menyebabkan kepunahan hampir 7 persen spesies tumbuhan yang ada di bumi dan hal yang sama akan terjadi pada spesies hewan.

Disebabkan adanya perubahan iklim, masyarakat semakin menyadari, bahwa kondisi lingkungan di belahan bumi lain, secara tidak langsung terhubungkan dengan kawasan lain di daerahnya. Ibarat jantung hutan tropis di negara hotspot, hanya meliputi 0.2 persen bagian planet bumi. Betapa ironinya, ternyata jantung tersebut kini digerogoti oleh segelintir manusia rakus yang tidak memikirkan kesehatan tubuh (planet bumi) di bagian lain. Padahal di kawasan hutan tropis pula dijumpai 40 hingga 75 persen jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang ada di planet ini.

Kelapa sawit

Dua hari sebelum Harrison Ford tiba, saya menyaksikan sendiri, betapa kompleksnya permasalahan Taman Nasional Tesso Nilo. Hutan yang tersisa di sana merupakan kawasan konservasi yang paling kritis, terancam menyempitatas perambahan dan tindakan yang dilakukan penuh ketidakpastian. Taman nasional ini relatif baru menjadi kawasan konservasi karena, setelah diteliti, masih mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Tindakan perlindungan dilakukan karena masih ada harapan, untuk menyelamatkan hutan serta isinya termasuk beberapa jenis endemik Sumatera, seperti harimau, gajah dan lainnya dari kepunahan konversi lahan baik untuk perkebunan maupun hutan tanaman.

Sejak berdirinya, Taman Nasional Tesso Nilo pada tahun 2009, pada dasarnya belum mendapatkan fasilitas dari pemerintah secara baik. Perkebunan kelapa sawit baik milik masyarakat maupun perusahaan, telah merangsek ke dalam taman akibat belum ada tata batas yang jelas di mana sebenarnya posisi taman nasional tersebut. Konflik terjadi dikarenakan kawasan ini tadinya merupakan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak mendapatkan perhatian ketat dan open access akibat adanya pembuatan jalan yang mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan untuk kepentingan perusahaan tanaman industri. Efek pembukaan ini menjadikan perambah sangat mudah masuk, bahkan sebelum kawasan dijadikan taman nasional.

Kebutuhan penanaman kelapa sawit ini adalah akibat permintaan akan minyak sawit yang sangat tinggi. 85 persen sawit dunia diimpor dari Malaysia dan Indonesia. Siapakah pembeli sawit tersebut? Tidak lain adalah negara-negara maju yang mengimpor sawit untuk kebutuhan industri mereka termasuk konsumsi minyak goreng, pembuatan kosmetik hingga kebutuhan bahan bakar. Mongabay (2013) mencatat bahwa konsumsi kelapa sawit di 27 negara Uni Eropa melonjak 41 persen dari 4,51 juta ton dari tahun 2006 menjadi 6,38 juta ton di tahun 2012. Sedangkan keperluan kelapa sawit untuk bahan bakar minyak kendaraan bermotor naik pesat sekitar 365 persen dari 402 ribu ton menjadi 1,87 juta ton. Belanda, negara terbesar yang mengkonsumsi kelapa sawit di Eropa, mengalami kenaikan pesat sebanyak 9.500 persen dari 5.000 ton menjadi 480 ribu ton sepanjang periode ini.


Jadi sesungguhnya antara negara maju dan negara berkembang "setali tiga uang". Maka sudah sepantasnya dalam upaya perlindungan hutan, diperlukan kerja sama global – guna memenuhi kepentingan bersama dalam pelestarian hutan Indonesia di masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar