|
Harrison Ford datang ke Indonesia, melihat
langsung keadaan hutan di Sumatera dan Kalimantan. Aktor sekuel film Indiana
Jones ini memang sangat gencar berkampanye upaya perlindungan hutan. Dia juga
menjadi duta kampanye penyadaran publik tentang konservasi pada sebuah
organisasi konservasi lingkungan ternama di AS dan menjadi ikon penyadaran
pentingnya menjaga kestabilan iklim guna mendukung pelaksanaan konvensi PBB
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Harrison juga terlibat proyek film
dokumenter bertajuk Years of Living
Dangerously (Tahun-tahun Hidup dalam
Bahaya) karya produser James Cameron dan Arnold Schwarzenegger. Film ini
mengangkat tema tentang dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh manusia
serta akan membahayakan planet bumi dan mempunyai dampak pada generasi
mendatang.
Secara tidak langsung, negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Eropa, sesungguhnya ikut merasakan dampak
kehilangan hutan dan perubahan iklim. Selain dari sektor energi, 16 hingga 20
persen penyebab perubahan iklim adalah kebakaran hutan dan pembukaan kawasan
hutan. Negara-negara maju, sekarang ini merasakan anomali iklim yang tidak
terduga, frekuensi badai yang kian bertambah tinggi, musim kering yang panjang
dan curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan banjir yang
menenggelamkan bangunan dan membawa korban.
Bahkan, dalam soal kebakaran hutan, AS
juga mengalami nasib yang sama dengan Indonesia. Sejak Agustus hingga awal
September ini, Yosemite National Park, sebuah taman nasional yang sangat
dicintai oleh bangsa Amerika-menjadi role model taman nasional di dunia-telah
terbakar akibat api liar yang tidak diketahui pangkalnya. Laporan terakhir
menyatakan lebih dari 103,5 ribu hektare hutan terbakar-luasan ini sama dengan
dua setengah kali luas Taman Nasional Tesso Nilo-yang mengakibatkan kerugian
mencapai 108 juta dollar AS. Musim panas mengakibatkan api liar muncul, menurut
Kepala Pelayanan Kehutanan, AS Tomas Tidwell, diakibatkan panas lebih panjang
dalam dua bulan terakhir dan api liar memusnahkan dua kali lebih luas dari
kebakaran yang pernah terjadi 40 tahun sebelumnya.
Adapun hutan Indonesia telah menjadi
sorotan sejak awal 1990-an, ketika kajian ilmiah tentang kritisnya beberapa
kawasan di planet bumi yang mempunyai peran penting, terancam akibat
eksploitasi yang berlebihan. Indonesia (kecuali Papua) dalam kajian tersebut
disebut sebagai kawasan hotspot bersama puluhan negara lain yang ditelaah
mempunyai dua aspek luar biasa sehingga harus mendapat prioritas dan perhatian:
pertama, memiliki konsentrasi spesies flora dan fauna yang tinggi dan tingkat endemisme
yang luar biasa, dan, kedua, menghadapi ancaman kepunahan yang luar biasa pula.
Negara hotspot telah diprediksi Norman Mayers (1988) akan kehilangan 90 persen
tutupan hutan mereka di akhir abad 20 dan menjelang abad 21, yang akan
menyebabkan kepunahan hampir 7 persen spesies tumbuhan yang ada di bumi dan hal
yang sama akan terjadi pada spesies hewan.
Disebabkan adanya perubahan iklim,
masyarakat semakin menyadari, bahwa kondisi lingkungan di belahan bumi lain,
secara tidak langsung terhubungkan dengan kawasan lain di daerahnya. Ibarat
jantung hutan tropis di negara hotspot,
hanya meliputi 0.2 persen bagian planet bumi. Betapa ironinya, ternyata jantung
tersebut kini digerogoti oleh segelintir manusia rakus yang tidak memikirkan
kesehatan tubuh (planet bumi) di bagian lain. Padahal di kawasan hutan tropis
pula dijumpai 40 hingga 75 persen jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang ada di
planet ini.
Kelapa
sawit
Dua hari sebelum Harrison Ford tiba, saya
menyaksikan sendiri, betapa kompleksnya permasalahan Taman Nasional Tesso Nilo.
Hutan yang tersisa di sana merupakan kawasan konservasi yang paling kritis,
terancam menyempitatas perambahan dan tindakan yang dilakukan penuh
ketidakpastian. Taman nasional ini relatif baru menjadi kawasan konservasi
karena, setelah diteliti, masih mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang
sangat kaya. Tindakan perlindungan dilakukan karena masih ada harapan, untuk
menyelamatkan hutan serta isinya termasuk beberapa jenis endemik Sumatera,
seperti harimau, gajah dan lainnya dari kepunahan konversi lahan baik untuk
perkebunan maupun hutan tanaman.
Sejak berdirinya, Taman Nasional Tesso
Nilo pada tahun 2009, pada dasarnya belum mendapatkan fasilitas dari pemerintah
secara baik. Perkebunan kelapa sawit baik milik masyarakat maupun perusahaan,
telah merangsek ke dalam taman akibat belum ada tata batas yang jelas di mana
sebenarnya posisi taman nasional tersebut. Konflik terjadi dikarenakan kawasan
ini tadinya merupakan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak mendapatkan
perhatian ketat dan open access akibat adanya pembuatan jalan yang mendapatkan
izin dari Kementerian Kehutanan untuk kepentingan perusahaan tanaman industri.
Efek pembukaan ini menjadikan perambah sangat mudah masuk, bahkan sebelum
kawasan dijadikan taman nasional.
Kebutuhan penanaman kelapa sawit ini
adalah akibat permintaan akan minyak sawit yang sangat tinggi. 85 persen sawit
dunia diimpor dari Malaysia dan Indonesia. Siapakah pembeli sawit tersebut?
Tidak lain adalah negara-negara maju yang mengimpor sawit untuk kebutuhan
industri mereka termasuk konsumsi minyak goreng, pembuatan kosmetik hingga
kebutuhan bahan bakar. Mongabay (2013) mencatat bahwa konsumsi kelapa sawit di
27 negara Uni Eropa melonjak 41 persen dari 4,51 juta ton dari tahun 2006
menjadi 6,38 juta ton di tahun 2012. Sedangkan keperluan kelapa sawit untuk
bahan bakar minyak kendaraan bermotor naik pesat sekitar 365 persen dari 402
ribu ton menjadi 1,87 juta ton. Belanda, negara terbesar yang mengkonsumsi
kelapa sawit di Eropa, mengalami kenaikan pesat sebanyak 9.500 persen dari
5.000 ton menjadi 480 ribu ton sepanjang periode ini.
Jadi sesungguhnya antara negara maju dan
negara berkembang "setali tiga
uang". Maka sudah sepantasnya dalam upaya perlindungan hutan,
diperlukan kerja sama global – guna memenuhi kepentingan bersama dalam
pelestarian hutan Indonesia di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar