Minggu, 15 September 2013

Terorisme dan Deradikalisasi

Terorisme dan Deradikalisasi
Ali Rifan  ;   Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Program Sekolah Demokrasi (beasiswa dari Belanda)
SUARA KARYA, 14 September 2013


Aksi terorisme dengan target aparat kepolisian kembali menyembul di Indonesia. Pertanyaannya, kenapa kelompok teroris tak lekas lenyap dari bumi Pertiwi? Ada yang salah dalam pencegahan terorisme di negeri ini?

Program deradikalisasi yang telah berjalan saat ini agaknya belum maksimal dan belum tepat sasaran. Hal ini terbukti dari hasil riset Dr Carl Ungerer, peneliti dari Australian Strategic Policy Institute, yang mengatakan bahwa sekitar 30 persen narapidana teroris di Indonesia tidak mempan dilakukan deradikalisasi. Hasil penelitian Ungerer itu beralasan karena proses deradikalisasi yang berjalan saat ini masih dilakukan secara sporadis.

Menurutnya, deradikalisasi tak bisa dilakukan secara militeristik jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal. Deradikalisasi harus dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan semua pihak, khususnya dunia pendidikan. Sebab, melihat pelaku tindakan terorisme adalah anak-anak muda, maka model deradikalisasi yang menyentuh kelompok ini juga harus diperhatikan. Artinya, pemerintah harus mencari akar yang menyebabkan kenapa mereka mau menjadi teroris.

Jika permasalahannya ideologi, maka jalur yang ditempuh mestinya ada dua, yakni jalur militeristik dan persuasif. Jalur militeristik seperti yang telah berjalan saat ini, penyergapan. Sementara jalur persuasif atau jalur edukatif dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan ataupun penyadaran-penyadaran lewat dunia pendidikan. Sebab, jika yang ditempuh hanyalah jalur militeristik, bisa dipastikan teroris di negeri ini tak akan pernah musnah. Jalur ini biasanya hanya akan memunculkan teroris-teroris baru karena kelompok-kelompok mereka (yang lain) akan melakukan balas dendam.

Deradikalisasi secara terintergrasi penting dilakukan agar benih-benih terorisme tidak kembali muncul. Sebab, motif para kelompok teroris ini juga kerap mengatasnamakan agama. Kelompok ini menganggap apa yang mereka lakukan adalah jihad. Dalam konteks teologis, kelompok atau gerakan ini kerap disebut dengan gerakan fundamentalisme agama.

Kelompok macam ini, seperti dikatakan Bassam Tibi (1998), lahir dari gejala ideologi yang muncul sebagai respon atas masalah-masalah globalisasi dan benturan antarperadaban. Mereka adalah orang-orang yang anti dengan istilah-istilah asing seperti demokrasi, pluralisme, toleransi, liberalisasi, kapitalisme, dan sekularisasi. Kelompok ini memahami agama secara tekstual dan cenderung menganggap orang selain kelompok mereka adalah salah.

Pemahaman sempit seperti itulah yang membuat mereka gampang didoktrin untuk kemudian diajak berjihad dengan iming-iming surga. Sayangnya, jihad yang mereka pahami salah. Jihad dipahami dengan perang dan kekerasan serta memusuhi orang-orang di luar kelompok mereka. Karena itu, kelompok-kelompok seperti ini harus segera diselamatkan. Caranya adalah menggalakkan pendidikan toleransi dan wawasan kebangsaan di kelas-kelas. Sebab, jika mau jujur, bibit-bibit gerakan fundamentalisme itu ternyata juga bercokol di lembaga-lembaga setrategis seperti sekolahan. Fakta ini bisa kita saksikan pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) tahun lalu.

Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jabodetabek dan pada saat bersamaan juga melakukan survei terhadap 993 siswa beragama Islam di SMP dan SMA negeri/swasta, di tempat guru PAI tersebut mengajar. Hasil survei itu menyebutkan tingkat dukungan responden, baik guru PAI maupun siswa, terhadap aksi kekerasan cukup tinggi. Hampir 3 dari 10 responden guru PAI dan hampir 5 dari 10 responden siswa menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu agama. Bahkan beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan mengatasnamakan agama. (Ali Rif'an, "Guru dan Ancaman Intoleransi", Suara Karya, 28 November 2012).

Hasil penelitian itu diperkuat dengan hasil temuan Amin Abdullah dalam risetnya terhadap bacaan guru-guru agama di Indonesia. Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan bahwa jarang sekali guru agama membaca buku-buku tentang toleransi, apalagi pluralisme. Akibatnya, ketika mereka mengajarkan tentang materi agama di sekolah-sekolah, cenderung doktrinal dan satu arah. Nilai-nilai toleransi dalam beragama jarang didengungkan sementara memusuhi orang beda agama kerap santer disuarakan.

Atas dasar itulah kenapa upaya deradikalisasi ini tidak cukup dilakukan secara militeristik seperti yang dilakukan Densus 88. Jalur pendidikan - mau tidak mau - harus segera didisain untuk memangkas benih-benih radikalisme yang mulai bercokol itu. Sebab, jika benih-benih itu tidak segera diselamatkan, upaya yang dilakukan oleh Densus 88 saat ini akan menemui kesia-siaan belaka karena satu teroris mati masih ada seribu teroris lainnya yang siap muncul.

Untuk itu, kita berharap pada tahun 2013, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak hanya merealisasikan rencana deradikalisasi secara sepotong-potong, tapi secara holistik (menyeluruh) dan terintegrasi. Deradikalisasi tidak hanya dilakukan pada kalangan pesantren, namun juga di tempat-tempat beribadah, lembaga pendidikan agama, perguruan tinggi, bahkan sekolah-sekolah umum seperti SMA dan SMP. Sebab, seperti diungkapkan Petrus Reinhard Golosse dalam buku bagusnya, Deradikalisasi Terorisme, deradikalisasi sulit berhasil tanpa kerja kolektif atau didukung oleh banyak pihak.


Secara implisit, Petrus menyebut tiga elemen penting yang harus terlibat dalam "proyek" deradikalisasi, yakni kalangan pemerintah seperti BNPT atau Densus 88, kalangan sipil seperti organisasi NU dan Muhammadiyah, dan kalangan pendidik (akademisi) seperti lembaga-lembaga pendidikan sekolah dan penguruan tinggi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar