|
Aksi terorisme dengan target
aparat kepolisian kembali menyembul di Indonesia. Pertanyaannya, kenapa
kelompok teroris tak lekas lenyap dari bumi Pertiwi? Ada yang salah dalam
pencegahan terorisme di negeri ini?
Program deradikalisasi yang telah
berjalan saat ini agaknya belum maksimal dan belum tepat sasaran. Hal ini
terbukti dari hasil riset Dr Carl Ungerer, peneliti dari Australian Strategic
Policy Institute, yang mengatakan bahwa sekitar 30 persen narapidana teroris di
Indonesia tidak mempan dilakukan deradikalisasi. Hasil penelitian Ungerer itu
beralasan karena proses deradikalisasi yang berjalan saat ini masih dilakukan
secara sporadis.
Menurutnya, deradikalisasi tak
bisa dilakukan secara militeristik jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal.
Deradikalisasi harus dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan semua
pihak, khususnya dunia pendidikan. Sebab, melihat pelaku tindakan terorisme
adalah anak-anak muda, maka model deradikalisasi yang menyentuh kelompok ini
juga harus diperhatikan. Artinya, pemerintah harus mencari akar yang
menyebabkan kenapa mereka mau menjadi teroris.
Jika permasalahannya ideologi,
maka jalur yang ditempuh mestinya ada dua, yakni jalur militeristik dan
persuasif. Jalur militeristik seperti yang telah berjalan saat ini, penyergapan.
Sementara jalur persuasif atau jalur edukatif dilakukan melalui
penyuluhan-penyuluhan ataupun penyadaran-penyadaran lewat dunia pendidikan.
Sebab, jika yang ditempuh hanyalah jalur militeristik, bisa dipastikan teroris
di negeri ini tak akan pernah musnah. Jalur ini biasanya hanya akan memunculkan
teroris-teroris baru karena kelompok-kelompok mereka (yang lain) akan melakukan
balas dendam.
Deradikalisasi secara
terintergrasi penting dilakukan agar benih-benih terorisme tidak kembali
muncul. Sebab, motif para kelompok teroris ini juga kerap mengatasnamakan
agama. Kelompok ini menganggap apa yang mereka lakukan adalah jihad. Dalam
konteks teologis, kelompok atau gerakan ini kerap disebut dengan gerakan
fundamentalisme agama.
Kelompok macam ini, seperti
dikatakan Bassam Tibi (1998), lahir dari gejala ideologi yang muncul sebagai
respon atas masalah-masalah globalisasi dan benturan antarperadaban. Mereka
adalah orang-orang yang anti dengan istilah-istilah asing seperti demokrasi,
pluralisme, toleransi, liberalisasi, kapitalisme, dan sekularisasi. Kelompok
ini memahami agama secara tekstual dan cenderung menganggap orang selain
kelompok mereka adalah salah.
Pemahaman sempit seperti itulah
yang membuat mereka gampang didoktrin untuk kemudian diajak berjihad dengan
iming-iming surga. Sayangnya, jihad yang mereka pahami salah. Jihad dipahami
dengan perang dan kekerasan serta memusuhi orang-orang di luar kelompok mereka.
Karena itu, kelompok-kelompok seperti ini harus segera diselamatkan. Caranya
adalah menggalakkan pendidikan toleransi dan wawasan kebangsaan di kelas-kelas.
Sebab, jika mau jujur, bibit-bibit gerakan fundamentalisme itu ternyata juga
bercokol di lembaga-lembaga setrategis seperti sekolahan. Fakta ini bisa kita
saksikan pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) tahun lalu.
Lakip menyurvei 590 guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jabodetabek dan pada saat bersamaan
juga melakukan survei terhadap 993 siswa beragama Islam di SMP dan SMA
negeri/swasta, di tempat guru PAI tersebut mengajar. Hasil survei itu
menyebutkan tingkat dukungan responden, baik guru PAI maupun siswa, terhadap
aksi kekerasan cukup tinggi. Hampir 3 dari 10 responden guru PAI dan hampir 5
dari 10 responden siswa menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang
memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu
agama. Bahkan beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan
mengatasnamakan agama. (Ali Rif'an, "Guru dan Ancaman Intoleransi",
Suara Karya, 28 November 2012).
Hasil penelitian itu diperkuat
dengan hasil temuan Amin Abdullah dalam risetnya terhadap bacaan guru-guru
agama di Indonesia. Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan
bahwa jarang sekali guru agama membaca buku-buku tentang toleransi, apalagi pluralisme.
Akibatnya, ketika mereka mengajarkan tentang materi agama di sekolah-sekolah,
cenderung doktrinal dan satu arah. Nilai-nilai toleransi dalam beragama jarang
didengungkan sementara memusuhi orang beda agama kerap santer disuarakan.
Atas dasar itulah kenapa upaya
deradikalisasi ini tidak cukup dilakukan secara militeristik seperti yang
dilakukan Densus 88. Jalur pendidikan - mau tidak mau - harus segera didisain
untuk memangkas benih-benih radikalisme yang mulai bercokol itu. Sebab, jika
benih-benih itu tidak segera diselamatkan, upaya yang dilakukan oleh Densus 88
saat ini akan menemui kesia-siaan belaka karena satu teroris mati masih ada
seribu teroris lainnya yang siap muncul.
Untuk itu, kita berharap pada
tahun 2013, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak hanya
merealisasikan rencana deradikalisasi secara sepotong-potong, tapi secara
holistik (menyeluruh) dan terintegrasi. Deradikalisasi tidak hanya dilakukan
pada kalangan pesantren, namun juga di tempat-tempat beribadah, lembaga
pendidikan agama, perguruan tinggi, bahkan sekolah-sekolah umum seperti SMA dan
SMP. Sebab, seperti diungkapkan Petrus Reinhard Golosse dalam buku bagusnya,
Deradikalisasi Terorisme, deradikalisasi sulit berhasil tanpa kerja kolektif
atau didukung oleh banyak pihak.
Secara implisit, Petrus menyebut
tiga elemen penting yang harus terlibat dalam "proyek"
deradikalisasi, yakni kalangan pemerintah seperti BNPT atau Densus 88, kalangan
sipil seperti organisasi NU dan Muhammadiyah, dan kalangan pendidik (akademisi)
seperti lembaga-lembaga pendidikan sekolah dan penguruan tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar