Rabu, 18 September 2013

Tempe Terancam Diimpor

Tempe Terancam Diimpor
Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
KORAN SINDO, 18 September 2013


Belakangan ini kedelai kembali menjadi topik diskusi aktual di tengah publik terkait kian mahalnya harga bahan baku tempe ini. Pemerintah dinilai gagal mengantisipasi kelangkaan komoditas kedelai yang dipicu kian melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS. 

Dampaknya para perajin tahu dan tempe sempat mogok produksi selama tiga hari ini. Kelangkaan kedelai di pasar disebabkan beberapa alasan yaitu rendahnya produksi kedelai nasional sehingga tidak mampu mencukupi permintaan masyarakat. Rata-rata kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 2,4 juta ton per tahun atau ratarata 200.000 ton kedelai setiap bulan. Namun, setiap tahun Indonesia hanya bisa memproduksi 30–40% dari kebutuhan nasional, sisanya dari impor. 

Saat ini sekitar 60% produksi kedelai dunia dihasilkan oleh AS dan Brasil. Dari jumlah itu, produk AS berkontribusi hingga hampir 40%. Namun, makin masifnya dampak perubahan iklim terhadap produksi kedelai Amerika Serikat dan Brasil mengakibatkan lonjakan harga kedelai impor tidak bisa lagi terbendung. Kenaikan harga kedelai dunia berkisar antara 20–30% dalam setahun terakhir. 

Sumber Antioksidan 

Peningkatan konsumsi kedelai di Indonesia seiring bertambahnya jumlah penduduk tidak diimbangi produksi dalam negeri. Kedelai yang saat ini tak hanya dikonsumsi sebagai komoditas pangan, tetapi juga telah dijadikan campuran pangan bagi ternak dan sumber bioenergi semakin memperburuk pasokan kedelai untuk bahan baku tahu dan tempe. Ini sudah pasti merugikan konsumen yang mengandalkan pangan nabati ini untuk sumber protein. Masyarakat penggemar tempe kini galau dan kelimpungan. 

Tempe diyakini sebagai makanan fungsional yang sarat gizi, sumber antioksidan, dan serat yang sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Bangsa Indonesia patut berbangga karena nenek moyang kita mewariskan makanan tradisional fermentatif ini. Tempe dikenal mengandung zat gizi tinggi seperti sumber protein, vitamin B12, dan serat makanan sehingga sangat baik untuk kesehatan. 

Makanan tradisional yang harganya relatif murah ini, juga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat fungsional yang sangat baik mencegah penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, dan kanker. Tempe dapat mencegah proses penuaan sebab mengandung senyawa antioksidan. Tempe ibarat obat dewa (panasea) yang mampu menyembuhkan dan mencegah berbagai penyakit. Masyarakat menengah ke atas di perkotaan kini acap menderita penyakit menular baru (new communicable dissease). 

Penyakit menular baru ini berjangkit karena meniru pola hidup keliru lewat gaya hidup dan pola makan yang salah. Ketika masyarakat Indonesia makin banyak mengonsumsi fast food ala Barat, prevalensi penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung, stroke, diabetes, dan kanker makin tinggi di Tanah Air. Kisah Indonesia sebagai asal mula tempe sudah dikenal dunia. Tetapi, bagaimana memberdayakan makanan tradisional berbasis kedelai ini di tengah kian maraknya makanan fast food ala Barat masuk ke Indonesia menjadi persoalan pelik. 

Ini menjadi paradoks, ketika masyarakat di negaranegara Barat sudah menggelar back to nature sebagai gaya hidup sehat sebab menyadari menu yang sarat kolesterol, garam, berakibat buruk bagi kesehatan. Masyarakat Indonesia justru sebaliknya menjadikan fast food ala Barat sebagai gaya hidup yang lagi trendi. 

Makanan Masa Depan 

Berbagai penelitian dilakukan guna mengungkap dan menggali khasiat tempe. Makanan asli Indonesia ini banyak mendapat perhatian dari peneliti negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Jerman. Mereka menyebut tempe sebagai makanan masa depan karena selain mengandung protein tinggi dan nonkolesterol, juga sumber antioksidan yang baik. Selama ini produk fermentasi kedelai rebus ini dianggap sebagai makanan lokal murahan dan kampungan. 

Kini digemari oleh masyarakat di negara maju dan dijuluki sebagai food of tomorrowkarena mempunyai senyawa fungsional yang menyehatkan. Sayangnya, tempe belum bisa menjadi tuan di negeri sendiri karena acap kehilangan bahan baku. Selama fermentasi protein kedelai diubah menjadi senyawa- senyawa yang lebih sederhana dan larut air. Hal yang sama terjadi pada kandungan lemak. Jumlah asam bebas meningkat dari 1% menjadi 30%. Paling banyak diproduksi adalah asam linoleat dan linoleat. 

Keduanya sangat penting karena merupakan asam lemak tidak jenuh esensial. Sifat hipokolesterolemik (menurunkan kadar lipid darah) pada tempe terbukti sangat ampuh. Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa konsumsi tempe dapat menurunkan kadar lemak darah atau kadar kolesterol total LDL (low density lipoprotein) dan trigliresida dalam darah yang naik akibat konsumsi lemak hewani. 

Sukarelawan yang menderita hiperlipidemia ternyata setelah dua minggu mengonsumsi tempe secara teratur mengalami penurunan total kolesterol LDL (jahat) rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL. Tetapi, dapat meningkatkan kolesterol HDL (baik) secara bermakna dari 37,95 mg/dl menjadi 47,14 mg/dl (Arsiniati, 1994 dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia). Dari segi gizinya, tempe tidak kalah dengan daging. 

Susu kedelai kandungan gizinya bahkan sebanding dengan susu sapi. Namun, tempe yang ada saat ini sebagian besar masih dihasilkan dari home industryyang diproduksi secara sederhana (tradisional). Pada masa datang pemerintah patut mendorong pelaku UMKM untuk memproduksi tempe yang berkualitas ekspor yang dikemas dengan baik, menarik, dan indah. 

Kandungan gizi dan nongizi tempe yang sangat baik untuk kesehatan memosisikan tempe berpotensi menjadi sumber devisa negara dan menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah. Namun, dengan kondisi gonjang-ganjing kedelai seperti sekarang yang kerap berulang, tanpa proteksi dan subsidi yang memadai dari pemerintah kepada petani kedelai lokal, tidak menutup kemungkinan tempe suatu saat menjadi makanan yang sangat mahal karena berpotensi menjadi makanan impor. 

Untuk itu, pemerintah patut memperbaiki sistem budi daya kedelai secara radikal di tingkat on farm untuk memasok bahan baku kedelai ke perajin tempe. Jika tidak, dengan harga bahan baku yang makin mahal karena harus impor, perajin tempe tidak akan sanggup lagi mengeluarkan biaya produksi dan gulung tikar. 

Lantas, guna memasok kebutuhan pangan rakyat ini, pemerintah suatu saat akan membuka kran impor tempe. Quo vadis kedaulatan pangan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar