Rabu, 18 September 2013

Etika Mengemudi : Cermin Kegagalan Pendidikan

Etika Mengemudi : Cermin Kegagalan Pendidikan
Bambang Irianto  ;   Pendidik
KORAN SINDO, 18 September 2013


Dua pekan lalu kita dikejutkan dengan peristiwa kecelakaan lalu lintas di jalan bebas hambatan yang disebabkan oleh seorang pengemudi bocah berusia di bawah umur, dan menelan korban jiwa. 

Tulisan ini mencoba mengulas tentang hubungan antara substansi pendidikan dan perilaku sekelompok masyarakat atau kalau dalam ukuran negara disebut bangsa. Dalam tulisan saya berjudul “2030: Mampukah Memimpin di Negeri Sendiri” (KORAN SINDO, 27 Agustus 2013), telah menengarai salah satu tantangan pendidikan di Tanah Air adalah masih ada ketidaksesuaian (irrelevancy) antara sebagian substansi pendidikan dan apa yang diperlukan murid agar dapat mengarungi kehidupannya di kemudian hari. 

Dalam tulisan ini, saya mengulas hal tersebut lebih dalam untuk melihat apakah setiap anak dan orang tuanya mendapatkan cukup bekal di sekolah untuk mengantarkan dirinya maupun keturunannya menjadi warga negara dewasa yang bertanggung jawab dan tidak merugikan pihak lain. Bekal yang dimaksudkan bukan berarti hanya pengetahuan, melainkan juga keterampilan; danyanglebihpenting lagi adalah perilaku yang di-bentuk melalui pembiasaan sehingga menjadi kultur kehidupan pribadi, kelompok, dan bangsa. 

Kebanggaan Semu 

Kebanggaan semu saat ini sudah merasuki masyarakat kita. Kebanggaan semu biasanya diukur didasarkan pada selera publik atau gengsi, dan sering mengabaikan dasar yang digunakan itu benar atau salah, etis atau tidak, halal atau tidak, membahayakan/ merugikan pihak lain atau tidak. Pendapat tersebut dapat mudah dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa berikut. 

Contoh peristiwa pertama adalah orang tua yang memaksakan anaknya yang masih di bangku TK A bisa membaca dan menulis, sehingga dia bisa dipakai bahan pamer kebanggaan orang tuanya pada kenalannya. Padahal, suatu keterampilan tertentu yang diberikan pada usia dan anak yang tidak tepat dapat kontra produktif. 

Contoh lain, orang tua yang memaksa anaknya atau siswa yang memaksakan dirinya masuk jurusan IPA dengan dalih bahwa publik menilai jurusan non- IPA, gudangnya anak tidak pintar, kurang bergengsi, dan tidak prospektif, walaupun yang bersangkutan potensi keberhasilannya lebih besar jika masuk jurusan IPS atau Bahasa. Contoh lain adalah mahasiswa “membeli” skripsi agar gengsi menyandang gelar sarjana dapat diraihnya. 

Contoh terakhir adalah banyak orang tua yang dengan bangga menceritakan kepada koleganya bahwa anaknya pergi sekolah dengan nyetir sepeda motor atau kendaraan roda empat walaupun usianya masih di bawah umur. Bahkan dengan bangga pula, bercerita bahwa anaknya mendapatkan SIM dengan cara “tidak wajar” termasuk memanipulasi usia. 

Mengapa fenomena ini terjadi begitu masif di tengah seluruh lapisan masyarakat? Hal ini tidak dapat terlepas dari hasil pendidikan masa lalu. Masyarakat tidak menyadari bahwa kultur sekolah memiliki kekuatan dalam pembentukan kultur masyarakat bahkan kultur suatu bangsa. Jika kita meyakini tesis ini, selanjutnya kita harus menanyakan apakah ada kesenjangan antarakultursekolahkitasaat ini dengan yang diharapkan. 

Makna Surat Izin 

Sebelum melanjutkan telaah tentang kultur sekolah, sebaiknya kita menyimak ulasan yang terkait dengan peristiwa kecelakaan tersebut pada awal tulisan ini. Karena didasari rasa penasaran, pada tahun 2001 penulis sengaja mengurus perpanjangan surat izin mengemudi (SIM) tanpa melalui perantara. Banyak peristiwa yang membuat penulis mengelus dada. Kesan formalitas dan diagungkannya jalan pintas sangat terasa. 

Mungkin hanya sedikit orang yang mengelus dada, sedangkan lainnya tidak mengingat peristiwa tersebut di bawah ini dianggap sudah menjadi “jamak lumrah” kebiasaan yang harus terjadi. Berbagai kejadian aneh saat mengurus SIM yang mungkin pernah dialami para pembaca KORAN SINDO mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa baik aparat dan masyarakat sama-sama memaknai SIM hanya secarik kertas yang harus ada di dalam dompet seseorang agar boleh mengemudi. 

Kita belum memaknai bahwa SIM sebagai suatu bukti bahwa pemegang SIM memang benar cukup umur, sehat jasmani dan rohani, mengetahui regulasi dan etika berlalu lintas. Pemahaman inilah yang menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk mendapatkan SIM dengan menghalalkan segala cara. Pemahaman tersebut sudah menjadi kultur masyarakat yang tentunya tidak lepas dari kualitas kultur sekolah. 

Cerminan Kultur di Sekolah 

Perilaku masyarakat yang tampak saat ini tidak lepas dari substansi pendidikan dan bagaimana substansi tersebut “diwariskan” kepada anggota masyarakat muda selama duduk di bangku sekolah. Setiap warga negara Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan formal, tentu masih ingat adanya mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kemudian menjelma menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), dan saat ini Pendidikan Pancasiladan Kewarganegaraan (PPKn). 

Kita paham bahwa para petinggi bangsa ini memasukkan kedua mata pelajaran tersebut bertujuan ingin membentuk karakter bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional, di mana pembangunan karakter menjadi salah satu sasaran. Namun pertanyaannya, setelah 68 tahun merdeka, mampukah kedua mata pelajaran tersebut membentuk karakter bangsa sesuai yang dikehendaki? Sebaiknya kita berani mengatakan jujur bahwa jawabnya adalah “belum maksimal”. 

Boleh saja para pemuka dari agama apa pun dan ahli PMP/ PKn/PPKn berkilah bahwa belum maksimalnya hasil kedua mata pelajaran tersebut karena pengaruh lingkungan masyarakat, sehingga siswa yang telah ditanamkan tata nilai tidak mampu melawan arus negatif di luar sekolah. Namun, jangan lupa siapa sebenarnya masyarakat itu (termasuk di dalamnya aparat negara)? Masyarakat tidak lain adalah kumpulan individu-individu yang pada masa mudanya mengenyam pendidikan di sekolah yang sama sistemnya dan relatif sama kulturnya. 

Oleh arena itu, kita wajib mengkaji ulang dan terbuka untuk melihat apakah substansi terutama Pendidikan Agama dan PMP/PKn/PPKn serta strategi penyampaiannya sudah mampu membangun individu manusia seutuhnya. Belajar di sekolah jangan hanya diartikan agar anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan, tetapi juga agar dilatih dengan keterampilan tertentu, ditanamkan nilai-nilai kehidupan agar berperilaku positif, sehingga mereka dapat dikatakan memiliki kecakapan hidup (life skills). 

Oleh arena itu, pembelajaran yang hanya mengandalkan strategi ‘dicekoki’ pengetahuan melalui “diberi tahu” tidaklah cukup. Peserta didik selama di sekolah perlu adanya contoh konkret dari orang dewasa sebagai model yang dapat ditiru dan pembiasaan terus menerus atas perilaku positif kepada peserta didik sehingga menjadi suatu kultur positif di sekolah. Inilah yang harus diakui oleh semua pihak, bahwa selama ini upaya kita belum maksimal dalam membangun perilaku bangsa yang positif pembangunan kultur sekolah yang kondusif sehingga mampu membentuk kultur bangsa yang kondusif pula. 

Namun, kita tidak perlu terlalu cemas. Telah ada seberkas cahaya terang datang dari Kemendikbud. Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dilaksanakan di sebagian sekolah akan menjawab tantangan tersebut. Kekuatan Kurikulum 2013 dibandingkan sebelumnya terletak pada adanya penekanan bahwa pembelajaran mencakup perbekalan ilmu pengetahuan, pelatihan keterampilan, dan pembentukan sikap dan perilaku yang dilaksanakan di dalam kultur sekolah yang kondusif. 

Pelatihan keterampilan dasar yang diperlukan anak didik mengarungi kehidupan, telah dikemas dalam pembelajaran dengan pendekatan scientific. Pendekatan ini menuntut guru memberi kesempatan peserta didik untuk mengasah keterampilan di antaranya merumuskan masalah, menggali informasi, mengolah informasi, dan mendorong peserta didik berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. 

Hal ini bisa terjadi jika guru mengajar melalui metode yang variatif, sehingga ada kesempatan bagi guru membangun sikap dan perilaku positif. Misalnya saat melakukan diskusi kelompok, nilai-nilai yang ditanamkan di antaranya menghargai hak orang lain sepertihakberbicara, hakdidengar pendapatnya, dan lain-lain. Melalui metode yang variatif, guru mendapat kesempatan lebih banyak untuk menanamkan nilai-nilai, membentuk sikap dan perilaku lainnya. 

Kalau hal ini dilakukan semua guru di Tanah Air selama sembilan tahun di sekolah, alangkah “cantiknya” kultur kelas, kultur sekolah, dan kultur bangsa yang diwujudkan. Seberkas cahaya terang tersebut juga menyadarkan kita bahwa kita harus benar-benar menyiapkan guru sehingga tidak hanya mampu mengajar, namun juga melatih keterampilan serta sanggup menjadi model bagi muridnya. 

Sudah saatnya para pengambil kebijakan bergandengan tangan dengan para pemangku kepentingan sebagai pengguna produk pendidikan termasuk kalangan swasta untuk menghadapi tantangan ini bersama sehingga mampu diatasi. 

Banyak institusi, non-government organization (NGO), yayasan, atau organisasi lainnya yang memiliki resep atau konsep bagaimana menyiapkan guru sehingga mampu membangun kultur bangsa yang lebih baik melalui pendidikan.  ●

1 komentar: