Rabu, 18 September 2013

Bantuan Sosial dan Kemiskinan

Bantuan Sosial dan Kemiskinan
Dina Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 18 September 2013


Apa yang ingin kau beli dengan uang Rp150.000? Ini pertanyaan buat rumah tangga miskin penerima BLSM (bantuan langsung sementara untuk masyarakat). Bulan ini akan turun dana tahap kedua untuk program BLSM. 

Sesuai kesepakatan DPR dengan pemerintah, besaran dana untuk BLSM disepakati Rp9,32 triliun untuk jangka waktu empat bulan dan ditujukan untuk 15,5 juta rumah tangga miskin di Indonesia. Penerima BLSM ditetapkan merupakan 25% penduduk termiskin di Indonesia. Buat rumah tangga miskin, tidak disangkal, dana berapapun pasti bermanfaat untuk menambah penghasilan. 

Ada yang menggunakannya untuk menyambung uang makan, untuk membeli pakaian, untuk membeli buku sekolah, untuk berobat, untuk transpor ke tempat kerja, atau bahkan diberitakan ada yang menggunakan dana tersebut untuk membeli kipas angin supaya bisa tidur nyenyak dengan tidak berkeringat dan terbebas dari gigitan nyamuk. Namun, apakah dana tersebut meningkatkan kebebasan dari orang miskin untuk punya kebebasan memilih dalam hidup? 

Amartya Sen, seorang ekonom terkenal dari India penerima hadiah Nobel Perdamaian bidang ekonomi, pernah bergumul dengan pertanyaan seputar solusi pengentasan kemiskinan. Latar belakang Sen di bidang ekonomi mengondisikan Sen untuk menghargai mekanisme ekonomi pasar sebagai bagian dari solusi pengentasan kemiskinan. Dia paham orang harus bekerja untuk bisa makan, dan karenanya ia bergulat dengan temuannya bahwa penyelesaian kemiskinan adalah kemakmuran, dan kemakmuran tecermin dari peningkatan pendapatan. 

Sungguh no brainer ya? Orang awam pun paham bahwa peningkatan pendapatan akan menghindarkan seseorang dari kemiskinan. Masalahnya, Amartya Sen dibesarkan dalam kultur India yang tersekat-sekat dalam kasta-kasta. Dalam praktik di masyarakat, kasta tidak cuma empat atau lima tingkat, tetapi ada ratusan. Di kalangan masyarakat menengah bawah, hak atas jenis-jenis pekerjaan ditentukan oleh kasta. 

Mereka yang merupakan kelompok minoritas, misalnya kelompok muslim di India, akan sangat tersingkir karena mereka boleh saja mau bekerja dan mau dibayar murah; tetapi kalau dengan bekerja di situ ia dianggap mengambil ”jatah” kelompok mayoritas dengan kasta tertentu, maka ia bisa dibunuh. Sen sudah menyaksikan sendiri aksi keji antarorang miskin ini. Dari sana Amartya Sen kemudian melihat esensi dari kemiskinan, yakni terbatasnya kebebasan untuk memilih dalam hidup. 

Dalam kemiskinan, seseorang tidak bisa pilah pilih pekerjaan, makanan, pakaian, atau apa pun. Hidup orang miskin didikte oleh penguasa di lingkar hidupnya. Orang miskin tak punya ruang untuk berkata tidak, ia semata objek dari kebijakan yang ada. Orang miskin juga sangat bergantung dari perilaku masyarakat sekitarnya. 

Di sinilah Sen tersentak karena kemiskinan ternyata bukan semata soal nominal uang di tangan. Kalaupun uang ada di tangan, seseorang tetaplah miskin bila tak punya pilihan untuk memanfaatkan uang di tangannya dan bila masyarakat tempatnya hidup tidak mengizinkannya untuk menjalani pilihan hidupnya. Jadi, kemakmuran tidak selalu berarti kelimpahan uang, tetapi juga kelimpahan peluang untuk menjalani hidup secara bebas sesuai pilihan pribadi. 

Refleksi Amartya Sen tersebut meneguhkan pandangan saya bahwa pengentasan kemiskinan tidak harus bertopang pada besaran dana yang luar biasa. Pengentasan kemiskinan adalah suatu proses, sesuatu yang bisa dikembangkan secara bertahap, bahkan dengan dana yang terbatas sekalipun. Prinsipnya adalah desain untuk berbagi; berbagi kebebasan tadi. Untuk konteks Indonesia, kita beruntung karena segmentasi dalam masyarakat kita tidak setajam dan sekejam di India. 

Namun, kita harus akui kemiskinan memang menciptakan ketidakberdayaan yang melumpuhkan. Ini yang harus kita perangi. Dasar filosofi ”memberi ruang gerak pada orang miskin” ala Amartya Sen dipakai pula oleh pemerintah Indonesia dalam konteks pemberian bantuan sosial. BLSM dipakai untuk mengurangi tekanan ekonomi dalam keluarga miskin karena kenaikan BBM. 

Ada pula bantuan sosial berupa Jamkesmas, Program Keluarga Harapan, Program Bantuan Operasional Sekolah, Beras untuk Keluarga Miskin, Bantuan Siswa Miskin, PNPM, KUR, dan tak sedikit lagi ragam bantuan sosial yang diusung dan dikelola oleh pemerintah daerah. Pertanyaannya, jika pemerintah memang menghayati cara pandang Amartya Sen, fokus pemberian dana bantuan sosial seharusnya dihitung betul dampak jangka panjangnya. 

Seharusnya ada evaluasi yang komprehensif tentang efek dari penggelontoran dana ke program-program tersebut ke titik-titik konsentrasi kemiskinan. Apa buktinya program bantuan sosial itu meningkatkan mutu hidup orang miskin? Lebih lanjut, apakah orang-orang yang hidup di sekitar orang miskin berubah sikap karena program tersebut, sehingga tunjangan dari pemerintah punya efek mengangkat harkat hidup orang miskin? 

Apakah ada sistem yang menjamin orang miskin tetap bisa memilih, misalnya mau sekolah di mana atau mau bekerja di mana? Pertanyaan ini yang sulit dijawab karena pemerintah tidak menggarap evaluasi tersebut. TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang mengelola dana BLSM justru hanya sibuk dengan penghantaran dana BLSM itu; bukan pada efeknya maupun desain besarnya sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. 

Seorang rekan yang aktif sebagai peneliti di TNP2K secara blak-blakan mengatakan bahwa TNP2K sebenarnya ”keberatan nama”, karena mandat mereka sebenarnya terbatas pada membantu koordinasi dan pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan yang tersebar di sejumlah kementerian. Bukankah ini runyam? Jelas-jelas problem kemiskinan di Indonesia bersifat struktural dan kronis. 

Ini bukan isu baru. Dari krisis ke krisis, kita memang bisa menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif; tetapi sebaran kemiskinan di Indonesia tidak berubah, bahkan semakin dalam di sejumlah propinsi dan daerah penyangga perkotaan. Kita juga bisa melihat dari koefisien ini yang semakin menunjukan kesenjangan pendapatan orang kaya dan miskin. Hari ini 38% penerima upah di Indonesia bekerja tanpa kontrak, sementara 54% dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor informal (yang umumnya dalam skala bisnis mikro atau kecil). 

Artinya setiap saat ada guncangan ekonomi, ada risiko gelombang pengangguran dan peningkatan jumlah orang miskin secara drastis. Risiko ini semakin besar dengan semakin terintegrasi ekonomi kita dalam pasar, baik di ASEAN maupun bilateral dengan negaranegara lain. Indonesia tak bisa menutup mata pada kenyataan program bantuan sosial perlu diselaraskan dengan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial. Ia tidak bisa diandalkan sendiri untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang struktural dan kronis. 

Pemerintah memiliki banyak badan pemantau birokrasi dalam upaya menanggulangi kemiskinan, seperti TNP2K dan UKP4. Namun, masalah utamanya bukan cuma di sisi efektifitas birokrasi, melainkan lemahnya visi dan misi strategis untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar