|
Kita barangkali (tak) seharusnya terkejut jika seorang
rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Dr Edy Yuwono, ditahan
sebagai koruptor pada Rabu (21 Agustus 2013), bersama Pembantu Rektor IV Budi
Rustomo, dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Percetakan Winarto Hadi. Rektor
Unsoed sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Februari 2013 dalam kasus
penyelewengan dana hibah terikat kerja sama Unsoed dengan PT Antam sebesar Rp
5,8 miliar dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2 miliar. Dana itu
seharusnya digunakan dalam program CSR (corporate
social responsibility) untuk melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang
pasir besi di Desa Munggangsari, Kecamatan Grabag, Purworejo.
Kasus ini menambah panjang daftar profesor dan doktor yang terjerat kasus korupsi, meski sebagian besar melakukannya di luar institusi pendidikan. Seperti kasus terbaru yang menjerat Prof Dr Rudi Rubiandini, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tertangkap tangan dalam kasus penyuapan. Kita bisa menyebut Prof Dr Rahardi Ramelan (ITS Surabaya) yang terjerat korupsi dalam kasus dana non-bujeter Bulog saat menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian; Prof Dr Nazaruddin Syamsuddin (UI) dalam kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU); Prof Dr Miranda Goeltom (UI) dalam kasus cek perjalanan kepada anggota DPR RI; serta Prof Dr Rokhmin Dahuri (IPB) dalam kasus dana non-bujeter di Kementerian Perikanan dan Kelautan yang dipimpinnya. Ini belum termasuk beberapa pejabat tinggi kampus di beberapa daerah yang belum atau tidak terekspos media massa nasional tapi bisa kita lacak di Internet, dan tentu saja kemungkinan besar masih akan ada di masa mendatang.
Sakralitas ilmu
Kalau kita mengingat fenomena manusia dan uang, kita
seharusnya tidak begitu terkejut oleh kasus profesor atau doktor yang terjerat
kasus korupsi, bahkan jika pun itu terjadi di lembaga pendidikan yang harus
paling awal dan garda paling depan dalam melawan korupsi. Kita mungkin sudah
biasa menganggap fungsi pendidikan, yang tampak saat anak-anak mulai masuk
sekolah menengah atas, apalagi perguruan tinggi, adalah untuk memudahkan
mendapatkan pekerjaan. Di sini biasanya paham tentang uang sudah mulai memasuki
kesadaran anak muda. Belajar untuk bisa mendapatkan kerja.
Yang tak disadari dalam kesadaran ini adalah bahwa, pada
akhirnya, kesakralan ilmu perlahan diperalat menjadi sekadar alat. Saat ilmu
tidak sakral lagi, saat itulah pengetahuan yang tak selamanya tentang yang suci
itu sering menjadi begitu enteng untuk digunakan dalam memanipulasi data,
memanipulasi informasi, dan sebagainya. Inilah modus operandi dalam semua kasus
korupsi. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang tahu dan paham tentang
berbagai mekanisme penyelewengan dan cara manipulasi berbagai data. Yang bodoh
hanya merampok dan merampas, yang pintar dan cerdas memanipulasi-mengkorupsi. "Ikan membusuk dimulai dari
kepalanya," kata orator ulung Italia, Marcus Tullius Cicero (106-43
SM). Apalagi jika hal ini ditopang hasrat untuk hidup berkelebihan yang
biasanya menjangkiti mereka yang berkuasa dan mereka yang berpendidikan tanpa
memiliki rasa sakralitas dan penghormatan terhadap ilmu. Yang sakral bukan lagi
ilmu, melainkan uang dan jabatan.
Kita hampir susah untuk membuat kesimpulan bahwa korupsi oleh profesor atau doktor dilakukan karena mereka tidak tahu apa itu korupsi, tidak paham mekanisme kerja birokrasi, atau karena mal-administrasi atau keteledoran. Kejahatan yang baik dan sempurna adalah yang seperti tanpa pelaku, tanpa motif, tanpa awalan bertindak. Dan ini biasanya hanya bisa dilakukan oleh yang terdidik dan cerdas. Tapi, untuk terpaksa atau berhasrat korupsi?
Moral manusia
Korupsi sering disebabkan oleh dua hal penting: buruknya
hukum dan buruknya manusia. Buruknya hukum sebenarnya masih bisa dihindari
dengan baiknya manusia, tapi buruknya manusia sering merusak hukum dan manusia,
terutama saat ada kesempatan menghampiri. Pembaharu besar Cina, Wang An Shih
(1021-1086), menggolongkan manusia ke dalam dua kelompok: mereka yang bermoral
sedang dan mereka yang bermoral tinggi. Tidak seperti yang pertama, yang
terakhir ini tidak akan mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan kesempatan
yang menghampirinya (Alatas, 1983).
Dalam kasus korupsi di dunia politik, buruknya hukum dan
manusia mungkin sedikit wajar. Dalam tataran tertentu, politik adalah
kriminalitas yang dilegalkan. Tapi, dalam dunia pendidikan, apalagi di
perguruan tinggi, hal ini sungguh sangat tidak wajar. Bukan hanya karena
lembaga pendidikan pasti dan harus punya kesadaran untuk memberantas korupsi,
tapi para profesor dan doktor tentu saja paham akibat sebuah korupsi bagi
masyarakat.
Yang paling buruk dari korupsi yang dilakukan oleh pemangku
lembaga pendidikan, seperti rektor perguruan tinggi, bukanlah sejumlah uang
yang akan merugikan administrasi publik dan merugikan keuangan masyarakat,
melainkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi. Jika
pejabat tertinggi lembaga pendidikan yang sudah sewajibnya sangat antikorupsi
melakukan tindak korupsi, masyarakat bisa dengan enteng melakukan korupsi. Dan
yang lebih parah adalah sifat permisif publik terhadap korupsi. Akibatnya, jika
terjadi korupsi atau benih-benih korupsi dalam kehidupan sehari-hari, rakyat
akan memakluminya dan membiarkannya, dan akhirnya, yang lebih parah, rakyat
akan merasa bahwa mereka harus ikut melakukan korupsi meski kecil-kecilan karena
takut tidak kebagian. "Yén tan mélu
anglakoni, boya kéduman mélik," kata sastrawan R.N. Ranggawarsita
dalam buku termasyhur yang ditulis 153 tahun yang silam, Kalatidha.
Lembaga pendidikan, atau lebih spesifik para guru, dosen,
atau profesor, memang tidak pernah mengajarkan untuk melakukan tindakan
korupsi. Dari dahulu sampai sekarang, tidak pernah ada niat dari institusi
pendidikan untuk mengajarkan dan mendidik siswa/mahasiswanya untuk melakukan
korupsi. Hal ini tampaknya tak terbantahkan, tapi hal yang tak disadari dari
lembaga pendidikan adalah bahwa lembaga pendidikan memberi kesempatan kepada
peserta didiknya untuk mengetahui berbagai (cara) kecurangan. Dalam hal ini,
mengetahui tentang kebenaran atau yang baik, biasanya juga didukung oleh pengetahuan
tentang kecurangan-kesalahan. Dan hal ini, ditopang oleh fakta yang tak
terbantahkan bahwa pendidikan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
kelak menjadi pejabat, baik di pemerintahan atau di lembaga non-pemerintah
(swasta), dan inilah kesempatan untuk korupsi itu. Contoh teladan yang bagus
untuk kasus ini adalah bahwa para pejabat di kehakiman sering adalah mereka
yang paling korup. Dan tentu saja ada data bahwa 80 persen koruptor yang
terjerat di Indonesia semuanya lulusan perguruan tinggi.
Tentu saja kita tidak mengatakan bahwa lembaga, karena
alasan tersebut, tidak boleh melakukan kegiatan pengajaran dan pendidikan. Yang
barangkali klise tapi penting adalah, moralitas harus menjadi laku. Dan untuk
itu, sakralitas ilmu harus menjadi kesadaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar