Sabtu, 07 September 2013

Suara Azan Menjelang Shalat

Suara Azan Menjelang Shalat
Muhammad Ali Murtadlo ;  Akademisi di Fakultas Syariah dan
Mantan Sekretaris IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 06 September 2013


Menteri Agama Surya Dharma Ali (SDA) yang langsung menutup pidatonya ketika suara azan berkumandang di Masjid Baitur Rahman, Tasikmalaya, Senin awal bulan ini, masih ramai diperbincangkan publik di daerah itu. Bahkan, sang muadzin pun dituding menghentikan "paksa" pidato menteri. Ternyata, menteri tidak melanjutkan pidatonya dengan terburu-buru meninggalkan masjid begitu azan selesai. Padahal rencananya, setelah pidato untuk penyerahan bantuan kepada mantan jama'ah Ahmadiyah itu, SDA diminta untuk meletakkan batu pertama pembangunan Islamic Center Tasikmalaya.

Sebelumnya, sekitar satu tahun lalu suara azan pernah menjadi perdebatan panjang. Ketika itu Wakil Presiden Boediono melontarkan gagasan untuk tidak menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan azan di masjid. Gagasan itupun menuai kontroversi, banyak yang kontra dan tak sedikit juga yang menanggapi positif.

Azan tampaknya menjadi perkara sensitif yang jika disinggung akan menuai kontroversi di masyarakat, terutama bagi umat Islam. Bahkan Direktur Jenderal Bimas Islam mengeluarkan Intruksi Nomor KEP/D/101/1978 tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, terutama untuk mengatur azan. Said Aqil Siradj dalam, "Azan dan Kepedulian Masyarakat" yang dimuat Jawa Pos, 16 Mei 2012 menjelaskan bahwa azan bagi umat Islam diyakini sebagai "perintah syariat". Secara bahasa - mencuplik kitab Lisan Al-Arab susunan Ibnu Al-Mandzur - bermakna pemberitahuan (al-i'lam). Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-sunnah mengungkapkan bahwa kata-kata yang terurai dalam azan mengandung seruan aqidah, pengagungan kepada Allah, pemantapan risalah kenabian, ajakan beribadah, dan kemenangan.

Menjawab azan dianjurkan dan dihukumi juga sebagai zikir. Bahkan diperintahkan untuk segera bergegas meninggalkan segala aktivitas. Dalam Al-Qur'an surat Al-Jumuah ayat 9 disebutkan, ketika azan berkumandang maka bergegaslah untuk mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah). Kalau tidak bergegas, setidaknya dalam hati terbesit niat untuk menjalankan shalat. Istilah fikihnya li tahrim al-shalat untuk menghormati waktu shalat.

Asal Usul Azan

Azan disyariatkan pada awal-awal tahun hijriah. Suatu waktu, Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khathab dalam tidurnya bermimpi melihat Malaikat Jibril tengah mengajari Rasulullah perihal azan. Esoknya, keduanya menghadap Rasulullah dan menceritakan mimpinya. Rasulullah berkata, "Itu adalah mimpi yang benar (ru'yan haqqun)" dan berkata kepada Bilal, "Berdirilah dan kumandangkan azan".

Hukum azan, menurut ahli fikih Ahmad bin Hambal, Syafi'i, Imam Malik, dan Abu Hanifah, masuk status wajib kifayah, sunah, dan sunah kifayah. Hukum itu bergantung pada situasi shalat, entah sendirian ataupun berjamaah. Kalau kita cermat dan teliti, azan ternyata selalu berkumandang setiap saat tanpa henti. Mengingat waktu shalat antara daerah satu dengan yang lain berbeda dan jumlah masjid tidak terbilang banyaknya.

Suara azan bahkan pernah diteliti oleh Shin Nakagawa, etnomusikolog asal Jepang, lewat bukunya yang berjudul, "Musik dan Kosmos" (1999). Penelitian itu terkait tentang suara azan dan juga bunyi lingkungan di Indonesia (Jawa pada khususnya). Nakagawa mencoba memilah dan menginformasikan suara-suara dalam kategori yang mengganggu dan merusak kesehatan, terutama telinga. Hasilnya, azan bukanlah suara yang merusak, azan bahkan bernilai positif untuk pendengeran. Buku tersebut menarik sebagai bahan pertimbangan untuk "asupan" bunyi yang masuk ke indera pendengaran kita.

Dahulu kaum muslimin membangun menara yang cukup tinggi sebagai tempat muazin mengumandangkan azan dengan suara yang indah dan keras. Seiring perkembangan teknologi, lalu menjadi jamak di negeri-negeri mayoritas muslim menggunakan pengeras suara untuk azan. Dalam fikih, azan dengan speaker hukumnya boleh-boleh saja, bergantung pada kemaslahatan yang ada (mashlahah mursalah).

Masalah pengeras suara saat adzan, tampaknya layak dibedakan antara perintah azan (nash) dan penggunaan alat pengeras suara (turats). Semula azan dilakukan secara "manual" lewat suara "mentahan" muazin, namun kemudian disuarakan lewat alat teknologi pengeras suara (speaker). Suara azan pun semakin bergema lantang. Bahkan, konon manusia pertama yang berhasil mendarat di Bulan, Neil Armstrong, memeluk Islam lantaran mendengar seruan azan di ruang angkasa.

Menurut Said Aqil Siradj, turats merupakan hasil pemahaman manusia yang kebenarannya tidak mutlak (zhanny). Selayak ungkapan Hassan Hanafi dalam Al-Turats Wa al-Tajdid, turats bisa bermakna warisan kejiwaan dan adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Kesempurnaan agama (ikmaluddin) dan pembaruan (tajdid), kendati terasa tidak sinkron, sesungguhnya adalah dua hal yang integral dan mencerminkan kelenturan Islam (murinat al-Islam). Kesempurnaan Islam hanya berhenti pada wilayah pokok-pokok keagamaan (ushul).

Terkait azan yang "memaksa" SDA menghentikan pidatonya di tengah jalan, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitab al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, mengungkapkan tentang perbedaan keutamaan amal karena perbedaan kondisinya serta tenggang rasa dengan orang-orang di sekitarnya. Seorang muslim kadang mesti meninggalkan sesuatu yang dianjurkan manakala dikerjakan akan menimbulkan kerusakan dan tidak mendatangkan kemaslahatan.


Beda dengan azan yang berkumandang saat menteri berpidato di masjid. Banyak yang menyayangkan sikap SDA yang berubah raut mukanya ketika merasa pidatonya dipotong oleh suara azan, padahal Menteri bisa menghentikan pidatonya lalu melanjutkan setelah azan selesai dan mengajak hadirin bergegas melaksanakan shalat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar