|
Menteri Agama Surya Dharma Ali
(SDA) yang langsung menutup pidatonya ketika suara azan berkumandang di Masjid
Baitur Rahman, Tasikmalaya, Senin awal bulan ini, masih ramai diperbincangkan
publik di daerah itu. Bahkan, sang muadzin
pun dituding menghentikan "paksa" pidato menteri. Ternyata, menteri
tidak melanjutkan pidatonya dengan terburu-buru meninggalkan masjid begitu azan
selesai. Padahal rencananya, setelah pidato untuk penyerahan bantuan kepada
mantan jama'ah Ahmadiyah itu, SDA diminta untuk meletakkan batu pertama
pembangunan Islamic Center
Tasikmalaya.
Sebelumnya, sekitar satu tahun
lalu suara azan pernah menjadi perdebatan panjang. Ketika itu Wakil Presiden
Boediono melontarkan gagasan untuk tidak menggunakan pengeras suara untuk
mengumandangkan azan di masjid. Gagasan itupun menuai kontroversi, banyak yang
kontra dan tak sedikit juga yang menanggapi positif.
Azan tampaknya menjadi perkara
sensitif yang jika disinggung akan menuai kontroversi di masyarakat, terutama
bagi umat Islam. Bahkan Direktur Jenderal Bimas Islam mengeluarkan Intruksi
Nomor KEP/D/101/1978 tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid,
terutama untuk mengatur azan. Said Aqil Siradj dalam, "Azan dan Kepedulian
Masyarakat" yang dimuat Jawa Pos, 16 Mei 2012 menjelaskan bahwa azan bagi
umat Islam diyakini sebagai "perintah syariat". Secara bahasa -
mencuplik kitab Lisan Al-Arab susunan Ibnu Al-Mandzur - bermakna pemberitahuan
(al-i'lam). Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-sunnah mengungkapkan bahwa
kata-kata yang terurai dalam azan mengandung seruan aqidah, pengagungan kepada
Allah, pemantapan risalah kenabian, ajakan beribadah, dan kemenangan.
Menjawab azan dianjurkan dan
dihukumi juga sebagai zikir. Bahkan diperintahkan untuk segera bergegas
meninggalkan segala aktivitas. Dalam Al-Qur'an surat Al-Jumuah ayat 9
disebutkan, ketika azan berkumandang maka bergegaslah untuk mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah). Kalau tidak
bergegas, setidaknya dalam hati terbesit niat untuk menjalankan shalat. Istilah
fikihnya li tahrim al-shalat untuk
menghormati waktu shalat.
Asal Usul Azan
Azan disyariatkan pada awal-awal
tahun hijriah. Suatu waktu, Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khathab dalam
tidurnya bermimpi melihat Malaikat Jibril tengah mengajari Rasulullah perihal
azan. Esoknya, keduanya menghadap Rasulullah dan menceritakan mimpinya.
Rasulullah berkata, "Itu adalah mimpi yang benar (ru'yan haqqun)" dan berkata kepada Bilal, "Berdirilah dan
kumandangkan azan".
Hukum azan, menurut ahli fikih
Ahmad bin Hambal, Syafi'i, Imam Malik, dan Abu Hanifah, masuk status wajib
kifayah, sunah, dan sunah kifayah. Hukum itu bergantung pada situasi shalat,
entah sendirian ataupun berjamaah. Kalau kita cermat dan teliti, azan ternyata
selalu berkumandang setiap saat tanpa henti. Mengingat waktu shalat antara
daerah satu dengan yang lain berbeda dan jumlah masjid tidak terbilang
banyaknya.
Suara azan bahkan pernah diteliti
oleh Shin Nakagawa, etnomusikolog asal Jepang, lewat bukunya yang berjudul,
"Musik dan Kosmos" (1999). Penelitian itu terkait tentang suara azan
dan juga bunyi lingkungan di Indonesia (Jawa pada khususnya). Nakagawa mencoba
memilah dan menginformasikan suara-suara dalam kategori yang mengganggu dan
merusak kesehatan, terutama telinga. Hasilnya, azan bukanlah suara yang
merusak, azan bahkan bernilai positif untuk pendengeran. Buku tersebut menarik
sebagai bahan pertimbangan untuk "asupan" bunyi yang masuk ke indera
pendengaran kita.
Dahulu kaum muslimin membangun
menara yang cukup tinggi sebagai tempat muazin mengumandangkan azan dengan
suara yang indah dan keras. Seiring perkembangan teknologi, lalu menjadi jamak
di negeri-negeri mayoritas muslim menggunakan pengeras suara untuk azan. Dalam
fikih, azan dengan speaker hukumnya boleh-boleh saja, bergantung pada
kemaslahatan yang ada (mashlahah mursalah).
Masalah pengeras suara saat adzan,
tampaknya layak dibedakan antara perintah azan (nash) dan penggunaan alat pengeras suara (turats). Semula azan dilakukan secara "manual" lewat
suara "mentahan" muazin, namun kemudian disuarakan lewat alat teknologi
pengeras suara (speaker). Suara azan
pun semakin bergema lantang. Bahkan, konon manusia pertama yang berhasil
mendarat di Bulan, Neil Armstrong, memeluk Islam lantaran mendengar seruan azan
di ruang angkasa.
Menurut Said Aqil Siradj, turats merupakan hasil pemahaman manusia
yang kebenarannya tidak mutlak (zhanny).
Selayak ungkapan Hassan Hanafi dalam Al-Turats Wa al-Tajdid, turats bisa bermakna warisan kejiwaan
dan adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Kesempurnaan agama
(ikmaluddin) dan pembaruan (tajdid), kendati terasa tidak sinkron,
sesungguhnya adalah dua hal yang integral dan mencerminkan kelenturan Islam (murinat al-Islam). Kesempurnaan Islam
hanya berhenti pada wilayah pokok-pokok keagamaan (ushul).
Terkait azan yang "memaksa"
SDA menghentikan pidatonya di tengah jalan, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitab al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa
al-Tatharruf, mengungkapkan tentang perbedaan keutamaan amal karena
perbedaan kondisinya serta tenggang rasa dengan orang-orang di sekitarnya.
Seorang muslim kadang mesti meninggalkan sesuatu yang dianjurkan manakala
dikerjakan akan menimbulkan kerusakan dan tidak mendatangkan kemaslahatan.
Beda dengan azan yang berkumandang
saat menteri berpidato di masjid. Banyak yang menyayangkan sikap SDA yang
berubah raut mukanya ketika merasa pidatonya dipotong oleh suara azan, padahal
Menteri bisa menghentikan pidatonya lalu melanjutkan setelah azan selesai dan
mengajak hadirin bergegas melaksanakan shalat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar