Sabtu, 07 September 2013

Disparitas Pembangunan

Disparitas Pembangunan
Toto Subandriyo ;  Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed,
Asisten Administrasi Pembangunan Setda Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 06 September 2013


SEUSAI Lebaran Pemprov DKI Jakarta selalu menggelar Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) seperti dilaksanakan mulai awal September 2013. Upaya itu tidak pernah efektif membendung pendatang baru ke Ibu Kota. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta memprediksi 52 ribu pendatang baru usai Lebaran 2013. Mengingat OYK tidak efektif menekan laju urbanisasi, Gubernur Joko Widodo berniat menggantinya dengan kegiatan Pembinaan Kependudukan.

Sebagai tradisi generik bangsa Indonesia, ritual mudik Lebaran merupakan keajaiban budaya. Beberapa hari menjelang Idul Fitri, warga bergerak dalam jumlah sangat menakjubkan dari kota ke desa, sebagaimana makna harfiah kata mudik. Setelah merayakan Lebaran di kampung halaman, secara bergelombang kaum urban kembali ke kota tempat mereka mengais rezeki. Jumlah arus balik tersebut lebih banyak dibanding arus mudik karena terkandung fenomena sosial migrasi berantai.

Migrasi jenis ini mengandalkan hubungan kekerabatan. Mereka yang lebih dulu berhasil merantau ke kota akan mengajak dan menanggung kehidupan para kerabatnya. Akan banyak dijumpai wajah baru membanjiri kota bersama arus balik. Kemenakertrans memprediksi jumlah urbanisasi pasca-Lebaran 2013 ini mencapai 1 juta orang.

Kota-kota besar di Indonesia selama ini identik dengan pusat pertumbuhan dan pusat peredaran uang. Selagi predikat tersebut belum dapat disebar merata ke daerah-daerah pedesaan, disparitas pembangunan masih mewarnai negeri ini dan kota-kota besar akan tetap jadi magnet bagi kaum urban.  Penduduk desa usia produktif akan terus menyerbu kota-kota besar untuk menyemaikan mimpi memperbaiki taraf hidup.

Dari kacamata ilmu sosial, fenomena seperti ini selain mengindikasikan bahwa sektor pedesaan makin tidak kompetitif, juga negara/pemerintah tak mampu lagi mempertahankan konsistensi sebagai negara agraris. Pemuda dan penduduk usia produktif tak tertarik lagi tinggal di desa karena sektor pertanian dan sektor pedesaan tidak lagi menjanjikan.

Fenomena gerontokrasi pada sektor pedesaan dan pertanian makin menghantui. Gerontokrasi merupakan istilah sosiologis yang merujuk pada kondisi timpang dari perbandingan antara penduduk usia produktif dan lanjut usia. Gerontokrasi pedesaan dan pertanian ditandai oleh dominasi kaum tua tidak produktif, anak-anak, serta kaum wanita lanjut usia dalam  struktur ketenagakerjaan.

Tingginya angka urbanisasi merupakan tantangan berat bagi kota besar di Indonesia karena tingginya angka urbanisasi ini akan berjalan seiring dengan kemeningkatan tindak kriminalitas dan pengangguran. Hal itu dapat terjadi karena urbanisasi di Indonesia lebih bersifat urban involution.  Analog dengan istilah Agriculture Involution yang dipopulerkan Clifford Geertz, istilah urban involution ini menggambarkan kondisi kemunduran kota akibat sektor informal mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding sektor industri.

Kepesatan pertumbuhan sektor informal di kota-kota besar menjadi daya tarik bagi tenaga kerja produktif di desa. Mereka berbondong-bondong ke kota berbekal pendidikan dan keterampilan seadanya. Kota-kota besar kemudian menjadi komunitas imajiner yang penuh simbol maya.

Gemerlap kota ditransformasikan oleh gencarnya pemberitaan media elektronik ke rumah pemirsa televisi di seluruh penjuru Tanah Air, sejak bangun tidur hari ini hingga bangun tidur hari berikutnya.  Efek pamer dari informasi tersebut membius kaum muda produktif desa untuk mencoba mengadu keberuntungan di kota meski hanya bandha nekad.

Pendekatan Aset

Disparitas pertumbuhan kota dan desa makin lebar karena terjadi ketimpangan pelaksanaan pembangunan. Urbanisasi merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dibendung, tetapi pembukaan sebanyak-banyaknya lapangan kerja di daerah dapat mengurangi fenomena itu. Jika pembangunan di daerah berjalan baik, pertumbuhan ekonomi juga membaik dan banyak lapangan kerja tercipta.

Lipton dan Vyas (1981) menyatakan bahwa sektor pedesaan dan pertanian merupakan pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dibanding perkotaan. Karena sektor pertanian dan pedesaan merupakan potensi terbesar bangsa ini, sepantasnya negara lebih mengarahkan kegiatan investasi ke sumber daya utama bangsa, yaitu pertanian padat karya.

Teori pengembangan wilayah menyatakan bahwa pendekatan aset memiliki daya ungkit lebih besar dalam membangun pedesaan. Kurangnya aset produktif yang dimiliki warga miskin merupakan penyebab utama kesulitan mereka keluar dari kubangan kemiskinan. Pendekatan aset ini ditawarkan untuk menstimulasi secara maksimal warga miskin dari utilisasi aset produktif.

Ekonom Hernando de Soto (2001) dalam buku The Mystery of Capital menegaskan pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang selama ini adalah hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga menjadi ìmodal matiî yang tak dapat dikonversi menjadi modal. Di negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan produktivitas karena legalitas pemilikan aset terjamin.


Ketimpangan pertumbuhan kota dan desa harus diatasi secara komprehensif, tak cukup dengan membuat perda tentang ketertiban umum yang akan memenjarakan kaum urban ilegal. Sangat naif rasanya mengatasnamakan ketertiban, kemudian memerankan diri sebagai penjajah bagi bangsanya sendiri. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar