|
SEUSAI Lebaran Pemprov DKI Jakarta selalu menggelar Operasi
Yustisi Kependudukan (OYK) seperti dilaksanakan mulai awal September 2013.
Upaya itu tidak pernah efektif membendung pendatang baru ke Ibu Kota. Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta memprediksi 52 ribu pendatang baru
usai Lebaran 2013. Mengingat OYK tidak efektif menekan laju urbanisasi,
Gubernur Joko Widodo berniat menggantinya dengan kegiatan Pembinaan
Kependudukan.
Sebagai tradisi generik bangsa Indonesia, ritual mudik
Lebaran merupakan keajaiban budaya. Beberapa hari menjelang Idul Fitri, warga
bergerak dalam jumlah sangat menakjubkan dari kota ke desa, sebagaimana makna
harfiah kata mudik. Setelah merayakan Lebaran di kampung halaman, secara
bergelombang kaum urban kembali ke kota tempat mereka mengais rezeki. Jumlah
arus balik tersebut lebih banyak dibanding arus mudik karena terkandung
fenomena sosial migrasi berantai.
Migrasi jenis ini mengandalkan hubungan kekerabatan. Mereka
yang lebih dulu berhasil merantau ke kota akan mengajak dan menanggung
kehidupan para kerabatnya. Akan banyak dijumpai wajah baru membanjiri kota
bersama arus balik. Kemenakertrans memprediksi jumlah urbanisasi pasca-Lebaran
2013 ini mencapai 1 juta orang.
Kota-kota besar di Indonesia selama ini identik dengan
pusat pertumbuhan dan pusat peredaran uang. Selagi predikat tersebut belum
dapat disebar merata ke daerah-daerah pedesaan, disparitas pembangunan masih
mewarnai negeri ini dan kota-kota besar akan tetap jadi magnet bagi kaum
urban. Penduduk desa usia produktif akan terus menyerbu kota-kota besar
untuk menyemaikan mimpi memperbaiki taraf hidup.
Dari kacamata ilmu sosial, fenomena seperti ini selain
mengindikasikan bahwa sektor pedesaan makin tidak kompetitif, juga
negara/pemerintah tak mampu lagi mempertahankan konsistensi sebagai negara
agraris. Pemuda dan penduduk usia produktif tak tertarik lagi tinggal di desa
karena sektor pertanian dan sektor pedesaan tidak lagi menjanjikan.
Fenomena gerontokrasi pada sektor pedesaan dan pertanian
makin menghantui. Gerontokrasi merupakan istilah sosiologis yang merujuk pada
kondisi timpang dari perbandingan antara penduduk usia produktif dan lanjut
usia. Gerontokrasi pedesaan dan pertanian ditandai oleh dominasi kaum tua tidak
produktif, anak-anak, serta kaum wanita lanjut usia dalam struktur
ketenagakerjaan.
Tingginya angka urbanisasi merupakan tantangan berat bagi
kota besar di Indonesia karena tingginya angka urbanisasi ini akan berjalan
seiring dengan kemeningkatan tindak kriminalitas dan pengangguran. Hal itu
dapat terjadi karena urbanisasi di Indonesia lebih bersifat urban
involution. Analog dengan istilah Agriculture Involution yang
dipopulerkan Clifford Geertz, istilah urban involution ini menggambarkan
kondisi kemunduran kota akibat sektor informal mengalami pertumbuhan lebih
cepat dibanding sektor industri.
Kepesatan pertumbuhan sektor informal di kota-kota besar
menjadi daya tarik bagi tenaga kerja produktif di desa. Mereka
berbondong-bondong ke kota berbekal pendidikan dan keterampilan seadanya.
Kota-kota besar kemudian menjadi komunitas imajiner yang penuh simbol maya.
Gemerlap kota ditransformasikan oleh gencarnya pemberitaan
media elektronik ke rumah pemirsa televisi di seluruh penjuru Tanah Air, sejak
bangun tidur hari ini hingga bangun tidur hari berikutnya. Efek pamer
dari informasi tersebut membius kaum muda produktif desa untuk mencoba mengadu
keberuntungan di kota meski hanya bandha
nekad.
Pendekatan Aset
Disparitas pertumbuhan kota dan desa makin lebar karena
terjadi ketimpangan pelaksanaan pembangunan. Urbanisasi merupakan fenomena
sosial yang tidak bisa dibendung, tetapi pembukaan sebanyak-banyaknya lapangan
kerja di daerah dapat mengurangi fenomena itu. Jika pembangunan di daerah
berjalan baik, pertumbuhan ekonomi juga membaik dan banyak lapangan kerja
tercipta.
Lipton dan Vyas (1981) menyatakan bahwa sektor pedesaan dan
pertanian merupakan pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dibanding
perkotaan. Karena sektor pertanian dan pedesaan merupakan potensi terbesar
bangsa ini, sepantasnya negara lebih mengarahkan kegiatan investasi ke sumber
daya utama bangsa, yaitu pertanian padat karya.
Teori pengembangan wilayah menyatakan bahwa pendekatan aset
memiliki daya ungkit lebih besar dalam membangun pedesaan. Kurangnya aset
produktif yang dimiliki warga miskin merupakan penyebab utama kesulitan mereka
keluar dari kubangan kemiskinan. Pendekatan aset ini ditawarkan untuk
menstimulasi secara maksimal warga miskin dari utilisasi aset produktif.
Ekonom Hernando de Soto (2001) dalam buku The Mystery of Capital menegaskan
pentingnya aset bagi pengentasan kemiskinan. Kelemahan negara-negara berkembang
selama ini adalah hak atas pemilikan sumber daya tidak terdokumentasi dengan
baik sehingga menjadi ìmodal matiî yang tak dapat dikonversi menjadi modal. Di
negara-negara maju, aset dapat dikonversi menjadi modal untuk meningkatkan
produktivitas karena legalitas pemilikan aset terjamin.
Ketimpangan pertumbuhan kota dan desa harus diatasi secara
komprehensif, tak cukup dengan membuat perda tentang ketertiban umum yang akan
memenjarakan kaum urban ilegal. Sangat naif rasanya mengatasnamakan ketertiban,
kemudian memerankan diri sebagai penjajah bagi bangsanya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar